6. MENGANTAR NYAWA KE CANDI SEWU

647 4 0
                                    

MALAM membentang gelap. Rembulan di langit tak mampu menerangi bumi karena tertutup awan tebal. Sesekali angin bertiup kencang. Udara terasa dingin. Mungkin tak selang berapa lama akan turun hujan.

Dipanggul dan dibawa lari luar biasa cepatnya membuat Boma merasa ngeri. Pohon-pohon yang dilewati seolah hendak menghantam dirinya. Kalau sudah begitu anak ini pejamkan mata dan tekap kepala.

Selain itu, sengitnya aroma minyak wangi yang menempel di tubuh dan pakaian Pak Broto membuat rongga hidung Boma laksana tersekat, susah bernafas dan ada rasa mau muntah.

"Pak Broto. Bapak mau bawa saya kemana?" Boma bertanya.

"Anak geblek! Tolol amat pertanyaanmu! Kau yang membuat perjanjian! Kau yang minta diantar ke Candi Sewu!"

Boma diam saja. Hatinya merasa was-was. Lari Pak Broto semakin cepat. Sambaran angin membuat telinga Boma mengiang dingin. Anak ini kembali pejamkan mata.

Ketika dia merasa si orang tua memperlambat lari, perlahan-lahan Boma buka kedua matanya. Pandangannya langsung tertumbuk pada satu tembok batu.

Di belakang tembok ini terdapat puluhan candi kecil yang sebagian besar dalam keadaan rusak. Di belakang deretan candi kecil ada satu candi besar. Seluruh bangunan candi menghitam angker dalam kegelapan.

"Kita sudah sampai," ucap Pak Broto lalu hentikan lari dan turunkan Boma dari panggulan bahu kanan.

Untuk beberapa lama Boma berdiri agak sempoyongan. Kepalanya terasa pusing. Dia bingung melihat tembok yang runtuh, puluhan candi rusak serta beberapa candi besar dan tinggi di bagian tengah yang juga tidak dalam keadaan utuh.

"Yang mana Candi Sewu?" tanya Boma bingung.

Siapa yang tidak bingung. Candi Sewu terdiri dari sebuah candi induk dikelilingi puluhan Candi kecil, ada yang masih utuh, banyak yang sudah rusak. Candi-candi kecil itu disebut candi perwara.

Hamparan candi dikelilingi tembok batu. Ada tiga jalan masuk ke dalam kawasan candi tersebut. Sebelah barat, utara dan timur. Pada setiap pintu masuk terdapat dua patung raksasa bersenjata gada.

"Ikuti aku!" Pak Broto berkata sambil tangannya memberi isyarat.

Dengan gerakan cepat orang tua ini memasuki kawasan candi melalui pintu sebelah timur. Beberapa belas langkah menjelang candi induk Pak Broto berhenti. Kepala mendongak ke langit gelap. Sepasang telinga dipentang sedang mata dipejamkan.

"Anak geblek. Kau mendengar sesuatu?" Tiba-tiba Pak Broto bertanya. Suaranya perlahan, hampir berbisik.

Boma jadi kecut. Sambil mengusap hidung dia memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa, kecuali puluhan bangunan candi dan stupa. Semua menghitam dalam gelapnya malam.

"Saya nggak mendengar apa-apa. Saya tidak melihat apa-apa." jawab Boma.

Pak Broto menyeringai.

"Aku mendengar suara tarikan nafas...."

"Mungkin itu suara tarikan nafas Ibu Renata," bisik Boma.

Pak Broto menggeleng. Kepalanya yang mendongak diturunkan. Mata yang tadi terpejam kini dibuka dan memandang tajam ke arah candi induk.

"Bukan tarikan nafas perempuan...." ucap Pak Broto.

"Ada dua orang mendekam di tempat ini. Keduanya laki-laki. Sulit aku menduga di sebelah mana mereka berada."

Sesaat Pak Broto alias Si Muka Bangkai merenung. Hatinya membatin.

"Aku kini baru bisa menduga, semua ini cuma siasat tipu daya..."

BARA DENDAM CANDI KALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang