7. IBU RENATA TIDAK ADA DI CANDI SEWU

603 5 0
                                    

BOMA terkesiap kaget. Benar ucapan Pak Broto. Ada orang hendak membunuhnya. Mata memandang liar berputar. Hidung diusap. Lalu anak ini mendengar suara kesiuran angin beberapa kali. Dua diantaranya mengarah ke tempat dia berada.

Boma cepat merunduk sambil palangkan dua tangan di depan kepala, berjaga-jaga.

Saat itu ada tiga sosok mendekam dalam kegelapan di kawasan percandian. Tiba-tiba, muncul satu sosok lagi. Hampir serentak tiga sosok terdahulu bergerak cepat laksana setan berkelebat.

Sosok pertama yang melesat di dalam gelap adalah sosok orang bermantel hitam. Orang ini berkelebat dari reruntuhan salah satu atap candi perwara, tepat di samping kiri candi induk, melesat ke arah Boma Tri Sumitro yang berada di depan pintu timur Candi Sewu. Sementara tubuhnya melayang di udara orang ini hantamkan tangah kanan kearah Boma.

Boma keluarkan seruan tertahan. Terkejut ketika melihat dari tangan orang bermantel menyambar keluar tiga larik cahaya mengerikan.

Boma ingat orang bermantel itu adalah orang yang sama dengan orang yang hendak membunuh Dwita sewaktu masih terkurung di dalam stupa Candi Borobudur. Pukulan sakti yang dilancarkannya juga sama.

Boma tidak pernah melupakan tampang manusia satu ini. Orang ini juga yang dulu pernah muncul di SMU Nusantara III hendak membunuhnya! Kini dia muncul kembali dengan maksud sama. Membunuh dirinya!

Pangeran Matahari!

(baca Episode sebelumnya berjudul "TOPAN DI BOROBUDUR")

Tiga cahaya maut menyambar ke arah Boma Tri Sumitro. Kuning, merah dan hitam! Sebelum tiga larik sinar sampai, hamparan hawa luar biasa panas menyambar lebih dulu.

Boma menjerit keras. Tangan kiri dihantamkan ke depan. Di tangan itu tersimpan satu kekuatan hebat isian nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede.

Namun menghadapi pukulan sakti Pangeran Matahari, Boma tidak berdaya. Tubuhnya terasa seperti leleh.

Anak ini menjerit sekali lagi! Lalu roboh ke lantai candi. Bersamaan dengan itu tiga cahaya maut datang menyapu!

Di saat tiga cahaya maut dengan kekuatan hawa panas ratusan derajat siap memanggang tubuh Boma Tri Sumitro, dari balik salah satu candi perwara tiba-tiba berkelebat satu bayangan tinggi hitam. Mulut berteriak nyaring.

"Oo ladalah! Kalau tadi aku tidak beser, tidak kencing dulu dibalik candi sana pasti tidak akan terlambat! Seharusnya aku kencing sambil lari! Kencing sialan! Terlambat! Terlambat! Anak Gendeng itu tak mungkin kutolong! Gusti Allah!
Cuma kau yang bisa menyelamatkan nya!"

Hampir bersamaan dengan menyambarnya tiga larik cahaya kuning, sekonyong-konyong dari arah belakang Boma, dari reruntuhan atap sebuah candi perwara melesat turun satu sosok berambut putih. Inilah sosok Pak Broto alias Si Muka Bangkai, murid Kunti api, guru Pangeran Matahari.

Begitu melihat Pangeran Matahari menggerakkan tangan, Si Muka Bangkai segera maklum kalau muridnya itu hendak membunuh Boma dengan pukulan Gerhana Matahari.

Di rimba persilatan tanah Jawa, di alam asalnya sulit dicari tokoh persilatan yang sanggup menghadapi atau selamatkan diri dari pukulan maut itu. Apalagi hanya seorang anak lelaki seperti Boma!

"Pangeran Matahari dan Kunti Api benar-benar ingin menyingkirkan bocah itu! Aku masih punya kepentingan!" Si Muka Bangkai kertakkan rahang.

Tangan kanan diputar seperti orang mengayun bola. Ketika tangan itu didorongkan ke depan, terdengar suara mendesis.

Bersamaan dengan itu satu gelombang angin luar biasa derasnya dan juga mengandung hawa panas menyambar ke arah candi induk.
Itulah Pukulan Telapak Matahari.

BARA DENDAM CANDI KALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang