TANAH di samping kiri kepala Boma terbongkar. Satu lobang besar terlihat di tempat itu. Boma turunkan ke dua tangannya. Menoleh ke samping dan gemetar lemas sekujur tubuhnya melihat lobang di samping kepala.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi kalau tadi orang tua itu benar-benar memukul kepalanya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Boma.
Pak Broto alias si Muka Bangkai tertawa mengekeh."Bocah, kau rupanya takut mati juga! Ayo lekas bicara! Aku sudah tidak sabaran"
"Biar saya berdiri dulu. Saya akan bicara. Saya akan beri tahu."
Pak Broto cekal leher baju kaos Boma. Sekali disentakkan anak lelaki itu telah berdiri di hadapannya.
"Kau sudah berdiri! Ayo mana batu itu!"
"Kita kembali ke Wisma. Batu itu saya tinggalkan di sana. Di dalam tas"
Pak Broto menyeringai dan geleng-gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata.
"Saat ini aku bisa saja membunuh bocah menyebalkan ini. Secepat aku membalikkan telapak tangan. Tapi aku ingin membiarkan dia hidup. Persetan dengan tugas Kunti Api keparat itu. Persetan bahwa anak ini bakal menjadi Pendekar tahun dua ribu! Yang akan menyusahkan orang-orang rimba persilatan golongan hitam! Aku bisa balas dendam pada Kunti Api melalui anak ini!"
"Jangan menipu! Jangan membuat aku benar-benar hilang sabar!"
Sekali tangan kirinya bergerak. Jari-jari Pak Broto sudah mencengkram mencekik leher Boma hingga lidah anak ini terjulur dan mata mendelik, nafas megap-megap, tenggorokan turun naik.
"Kau mau mati sekarang atau mau bicara?!"
Boma angguk-anggukkan kepala.
"Heh! Sampeyan mau mati betulan?!" bentak Si Muka Bangkai melihat anggukan Boma.
"Ti... Tidak..." Boma cepat geleng-gelengkan kepala.
"Bat... Batu sakti itu saya simpan di sini..." ucap Boma seraya menunjuk dengan tangan kiri ke arah bawah perutnya.
Kening Pak Broto mengerenyit. Sepasang matanya bergerak berputar lalu mengarah ke bagian bawah perut Boma.
"Bocah, aku merasa kau mau menipuku kembali."
"Tidak Pak, saya tidak bohong... " kata Boma.
Pak Broto melirik lagi ke bagian bawah perut anak lelaki itu. Lalu anggukkan kepala.
"Itu memang tempat yang paling aman," kata Pak Broto sambil menyeringai.
"Kalau begitu buka celanamu. Ambil batu itu. Serahkan padaku. Tapi awas! Kalau kau dusta, biji kemaluanmu yang akan aku ambil sebagai gantinya!"
Pak Broto lepaskan cekikan di leher Boma.
Boma menelan ludah dan usap lehernya. Lalu tangannya bergerak membuka ikat pinggang celana blujins. Ketika dia hendak membuka kancing besi celana itu dia memandang pada Pak Broto.
"Ada apa? Ayo terus buka celanamu!"
"Malu Pak" jawab Boma sambil senyum-senyum.
"Batunya saya sembunyikan di samping anu... Dalam celana..."
"Malu, malu! Tai kucing! Memangnya aku perempuan?! Kita sama laki-laki. Apa yang kau malukan? Anumu jelek? Burik barangkali?!"
Boma menggigit bibir, menyengir menahan tawa.
"Tolong Pak. Berbalik dulu. Kalau batunya sudah saya pegang dan siap saya serahkan, akan saya beritahu. Baru nanti Pak Broto berbalik"
"Rasa-rasanya kau mau menipuku!" Pak Broto tidak percaya
KAMU SEDANG MEMBACA
BARA DENDAM CANDI KALASAN
ActionBara Dendam Candi Kalasan adalah episode kedelapan serial Boma Gendenk karya Bastian Tito yang mengisahkan tentang upaya Boma untuk menemukan dan menyelamatkan Ibu Renata, guru Bahasa Inggris SMA Nusantara III yang diculik oleh Pangeran Matahari dan...