BOMA tidak tahu berapa lama dia pingsan. Ketika sadar, dalam keadaan mata masih terpejam dia merasa sekujur tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala mendenyut sakit.
Malam gelap, bangunan candi yang menghitam, terbayang di pelupuk mata Boma. Ada lagi larik cahaya menyambar kearahnya. Ada hawa panas luar biasa. Dia menjerit keras lalu terkapar di lantai batu, di depan pintu ruangan gelap.
Tangan Boma meraba. Dia tidak merasakan kerasnya batu candi. Ada hamparan empuk, lapisan lain. Lalu telinganya mendengar suara tarikan nafas. Boma maklum, dia tidak sendirian di tempat itu.
Perlahan-lahan anak ini buka kedua matanya. Pertama sekali dilihatnya adalah langit-langit ruangan, eternit Putih. Kepalanya dimiringkan ke kanan. Dinding. Suara orang menarik nafas kembali terdengar. Di arah kakinya.
Boma bersitahan dengan dua siku lalu angkat kepala. Untuk membuat gerakan ini sekujur tubuhnya seperti mau bertanggalan walau hawa panas mulai berkurang.
Memandang berkeliling anak ini dapatkan dirinya berada di atas sebuah tempat tidur, masih memakai sepatu kets. Dalam sebuah kamar apik diterangi lampu neon bulat.
Di ujung kakinya, di tepi tempat tidur duduk orang tua itu. Punggung dan kepala tersandar ke dinding. Lengan kemeja tangan panjang gombrong biru belang-belang yang dikenakannya kelihatan hitam hangus.
Beberapa bagian lengan kemeja ini tampak robek-robek. Dua tangan si orang tua terkulai lemas di atas pangkuan. Di atas pangkuan itu pula terletak sehelai sapu tangan basah penuh noda darah.
Sesekali kelihatan orang tua ini menarik nafas dalam dan Panjang. Setiap menarik nafas tampangnya yang pucat mengerenyit seperti menahan sakit. Tubuhnya terasa panas. Dua tangannya bergerak.
Brett Breeet!
Kemeja dirobek lalu ditanggalkan hingga kini si orang tua terduduk setengah telanjang. Dadanya yang tipis dengan tulang-tulang iga menyembul bergerak turun naik.
Boma memperhatikan tangan kiri orang
tua itu. Mulai dari siku ke bawah kulit lengannya berwarna lain dibanding dengan bagian tangan di atas siku. Lalu bentuk tangan kiri itu sedikit lebih besar jika dibanding dengan tangan kanan."Pak Broto, kita dimana? Ini rumah siapa?" tanya Boma.
Yang ditanya tidak bergerak, tapi mulutnya berucap.
"Pak...."
"Diam, jangan bicara! Aku tengah mengatur hawa sakti, jalan pernafasan, aliran darah, tenaga dalam. Sekujur tubuhku sakit, panas!"
"Sama, saya juga..." Boma masih menyahuti lalu diam.
Boma lalu beringsut, duduk di ujung tempat tidur, mata terus memperhatikan ke arah si orang tua. Di luar terdengar suara tiang listrik dipukul orang.
"Tiang listrik dipukul dua kali. Pukul dua malam... " Pikir Boma. Hatinya tergerak hendak keluar dari kamar. Dia beringsut ke tepi tempat tidur.
Belum sempat kedua sepatunya menyentuh Iantai kamar, dari ujung tempat tidur Pak Broto alias Si Muka Bangkai keluarkan suara.
"Jangan berani turun dari tempat tidur. Jangan berani keluar kamar. Apa lagi sampai meninggalkan rumah ini."
"Pak Broto kita ini dimana? Ini rumah siapa?" tanya Boma.
Yang ditanya tak menjawab. Pak Broto membuat beberapa kali tarikan nafas, batuk-batuk Ialu menyeka lelehan darah di mulutnya dengan sapu tangan.
Sesaat kemudian orang tua ini memperbaiki duduknya. Mata yang sejak tadi dipejamkan perlahan-lahan dibuka.
"Pak Broto, sudah selesai mengatur hawa sakti dan aliran darah?"
Yang ditanya masih belum menjawab. Hanya sepasang matanya yang angker dingin menatap ke arah Boma. Sesaat kemudian baru dia berucap.
"Rasa tubuhku agak mendingan sekarang."
Pak Broto lalu ulurkan tangan kanan, memegang bahu Boma.
Anak ini merasa ada satu hawa aneh memasuki tubuhnya. Lalu sakit dan panas yang sejak tadi dirasakannya kini jauh berkurang.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Lumayan, rasa sakit, juga panas, mulai hilang." Jawab Boma.
Dia maklum kalau Pak Broto barusan melakukan cara pengobatan aneh atas dirinya.
"Pak Broto, sebelumnya kita di candi. Sekarang kok tau-tau ada di sini...."
Untuk kesekian kalinya Boma kembali bertanya.
"Ini rumah Sumi Primbon."
"Sumi Primbon? Siapa itu? Saudara Pak Broto?"
Pak Broto menyeringai. Lalu menggeleng.
"Teman?"
"Lebih dari teman. Cemcemanku."
(cemceman = kekasih gelap)
Boma terbelalak. Pak Broto menyengir. Boma usap hidungnya lalu menutup mulut menahan tawa.
"Pak Broto, kok tau segala cemceman sih?"
"Aku dengar-dengar orang bilang begitu, ya aku sebut saja. Yang jelas aku senang punya cemceman seperti Sumi Primbon. Gemuk, putih. Dan gocekannya itu lho!"
"Gocekan? Gocekan apa?"tanya Boma.
"Ala, kamu masih kecil, masih ijo. Mana ngerti!" ujar Pak Broto sambil tertawa dan lambaikan tangannya.
"Jadi Pak Broto sama Sumi Primbon itu kumpul kebo?"
"Gila kamu! Sumi Primbon itu manusia, Perempuan , kok di bilang kebo!" Pak Broto pelototi Boma.
Boma tersenyum dan diam saja. Percuma menjelaskan kalau yang dijelaskan memang tidak bisa mengerti arti ungkapan kumpul kebo.
"Pak Broto, kalau ini rumahnya Sumi Primbon, lalu orangnya mana?"
"Nanti juga datang." Jawab Pak Broto.
"Nggak ada di sini?"
"Lagi kerja," menerangkan Pak Broto.
"Kerja malem? Kerja apa?" tanya Boma.
Lalu anak ini menjawab sendiri. "Jadi hostes?"
"Apa itu hostes? Ora ngerti aku."
"Hostes sama dengan pramuria."
"Podo wae. Tetap nggak ngerti." Jawab Pak Broto yang rupanya mulai tahu sedikit-sedikit bahasa Jawa.
"Hostes itu artinya wanita penghibur," menerangkan Boma.
Pak Broto tertawa hampir tanpa suara.
"Terserah kau mau bilang apa. Dia memang pandai menghiburku. Dan orangnya begini." Pak Broto lalu acungkan sekaligus jempol tangan kiri dan tangan kanan.
"Oke punya?" ujar Boma.
"Oke punya. Betul!" Orang tua itu kembali tertawa.
"Sumi Primbon, cemcemanku itu dia jual makanan lesehan di Malioboro. Ini rumahnya. Untuk sementara kita aman di tempat ini."
Dalam hati Boma berkata.
"Aman buat dia dan aku, tapi bagaimana dengan Ibu Renata?"
"Pak, saya ingat kejadian di Candi Sewu. Orang bernama Pangeran Matahari itu, dia hendak bunuh saya seperti waktu di Candi Borobudur. Nyatanya saya berada di sini. Dalam keadaan selamat. Saya berterima kasih Pak Broto sudah menolong saya..."
"Aku menolongmu tidak cuma-cuma. Antara kita ada perjanjian. Aku membawamu ke Candi Sewu, kau menyerahkan batu Penyusup Batin. Jangan lupakan hal itu!"
Boma hendak mengusap bahu kanannya pada letak Batu Penyusup Batin. Tapi karena si orang tua menatap ke arahnya hal itu dibatalkan dan dia pura-pura mengusap hidung.
"Kalau saya tidak dapat menyerahkan batu itu pada Bapak, Pak Broto mau membunuh saya?"
"Bisa saja. Tapi terus-terang ada satu hal yang tidak kau ketahui."
"Hal apa Pak?" tanya Boma pula.
"Sebenarnya, waktu di Candi Sewu bukan aku yang menyelamatkan nyawamu. Ada orang lain yang menolong. Aku hanya tolong memboyongmu ke tempat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
BARA DENDAM CANDI KALASAN
ActionBara Dendam Candi Kalasan adalah episode kedelapan serial Boma Gendenk karya Bastian Tito yang mengisahkan tentang upaya Boma untuk menemukan dan menyelamatkan Ibu Renata, guru Bahasa Inggris SMA Nusantara III yang diculik oleh Pangeran Matahari dan...