Deehan memarkir mobil di depan rumah.
Pagarnya berderit ketika dia menutupnya kembali. Seharusnya, pagar itu sudah diperbaiki beberapa bulan lalu, dicat ulang, diolesi oli, bahkan kalau perlu diganti, tapi pendapatannya tidak kunjung terkumpul untuk sekadar merenovasi bagian rumah tua ini. Sebenarnya, rumah ini bukan pula rumah mewah dan besar sehingga merenovasi membutuhkan banyak biaya, tapi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja Deehan tidak bisa berlebihan, apalagi mengganti pagar besi. Tapi, mungkin mengolesi oli akan dilakukannya minggu ini.
Seperti rencananya berminggu-minggu sebelumnya.
"Kami ada oli kalau Pak Deehan mau perbaiki!" celetuk salah seorang ibu muda yang tengah berteduh di bawah pohon bersama ibu-ibu yang lain, agak menyinyir.
"Terima kasih!" balas Deehan sambil lalu, tanpa lupa membubuhkan senyum di wajahnya yang berewokan.
Bunyinya memang keras dan memekakkan telinga, tapi ibu-ibu itu kadang kelewatan mengurusi urusan orang. Jika Deehan pulang pada siang hari, meski sudah berusaha menggeser sepelan mungkin, decitan pagarnya tetap melengking, membuat beberapa balita yang tengah tidur siang menjerit, terbangun dari damainya istirahat siang. Kalau sudah begitu, beberapa hari kemudian, surat teguran dari ketua RT melayang ke rumahnya.
Deehan tidak menyesali keputusannya mengambil rumah tersebut. Justru karena tahu diri dengan penghasilannya, yang bahkan tidak mampu mengganti pagar rusak, rumah tinggal sederhana merupakan opsi paling bijaksana.
Adalah sang ibu yang bersikeras agar putranya berdiam di suatu tempat yang jelas, supaya keluarganya bisa menemukannya sewaktu-waktu. Sebagai seorang putra yang tidak ingin mendurhakai kedua orang tua, Deehan tidak menampik keinginan ibunya. Kalau dia boleh jujur, hal itu sungguh meringankan beban hidupnya.
Rumah ini sempurna untuk seorang bujangan yang tidak punya rencana menikah, pikirnya saat menentukan pilihan kala itu. Walaupun sang ayah jelas mampu membayar rumah dengan harga puluhan kali lebih mahal, Deehan tidak mengambil unit lain yang lebih bagus.
Maka sejak berhasil menjabat sebagai staf pengajar di Tunas Harapan Bangsa lima tahun lalu, putra kedua dari Addar Poldi—pengusaha furnitur tersohor di Jepara—melanjutkan perantauannya setelah menempuh perguruan tinggi di Surabaya dengan menetap di Semarang. Mendiami sebuah rumah yang dihadiahkan sang ayah atas desakan istrinya.
Tidak seorang pun, termasuk sang ibu, yang sebenarnya menyetujui pilihan Deehan dalam mencari nafkah. Mereka menghendakinya menjadi penerus bisnis keluarga, menggantikan almarhum kakak sulungnya yang wafat pada sebuah pendakian gunung Semeru. Namun, karena Deehan tidak mudah ditaklukkan, mereka memutuskan untuk menyerah dengan syarat suatu hari Deehan akan berhenti dan kembali ke Jepara. Hanya dengan alasan mewarisi wasiat almarhum sang kakak yang memiliki cita-cita mulia menjadi seorang guru, sang ibu melepasnya.
Bagi Deehan sendiri, keputusan itu lebih tinggi maknanya. Dia ingin terbebas dari belenggu kehidupan yang lazim dijalani pria seusianya, yaitu menikah dan berkeluarga. Jika dia menetap di dekat sanak keluarga, tentu tidak mudah baginya untuk mengelak.
Paling tidak dengan menjauh, dia bisa mengulur waktu.
Tepat saat Deehan melewati ambang pintu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Keanu Agam Pranaja, mengabarkan bahwa dia baru akan tiba sekitar satu jam lagi. Deehan menggigit bibir bawahnya tanpa dia sadari. Hatinya berbunga-bunga. Ketikan balasan di layar ponselnya baru selesai setelah beberapa kali sunting. Tidak boleh terlalu terkesan berharap, tapi juga tidak terlalu acuh. Baru dia mengirim pesan tersebut.
Menyadari waktunya tidak lama sampai Keanu datang, Deehan bergegas. Setelah mengganti pakaian mengajarnya dengan pakaian santai, dia membersihkan bagian-bagian rumah mungilnya sepintas mata. Terakhir setelah menyapu dan mencuci piring, dia memasuki kamar kedua di rumah itu.
Kamar utama ditempatinya dan satu-satunya kamar lain di rumah itu ini tak berpenghuni. Deehan menjelajahi setiap sudut kamar dengan gulir bola matanya. Jejak-jejak kenangan masih begitu mudah dijajaki. Belum terlupakan barang sedikit dari ingatan. Setahun yang lalu, Keanu sempat tinggal di sana sebelum pindah dinas ke luar Jawa.
Saat Keanu tidak di sisi, Deehan hampir terpuruk karena rindu tak tertahankan. Persahabatan mereka berdua memang sangat dekat dan akrab, tetapi sedekat apa pun, hubungan dua orang pria tidak akan bisa semesra terhadap lawan jenis. Ketidaklaziman itu memaksa Deehan menahan diri. Kerinduan-kerinduannya dengan paksa dia redam, tidak tercurahkan. Dan sekarang setelah penantian panjang, Deehan kembali ceria oleh harapan baru.
Sebagai seorang pria, tentu dia ingin cintanya berbalas. Sekali dalam hidup, dia ingin merasakan indahnya romansa menjalin hubungan dengan orang yang dia cintai, bukan sekadar hubungan fisik semata. Akan tetapi, Deehan tahu itu mustahil. Selain seksualitas mereka jelas berbeda, Keanu sudah menjalin hubungan serius dengan seorang gadis yang dikenalnya sejak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Deehan pun mengenal siapa perempuan itu.
Tidak satu pun dari mereka mengetahui rahasia hitam Deehan. Bukan hanya terhadap para sahabat, Deehan menyembunyikannya dari semua orang. Hubungannya dengan kaum penyuka sesama jenis hanya terbatas pada kebutuhannya memuaskan hasrat seks, sebab tidak satu pun dari mereka sanggup membuat Deehan terpikat.
Semenjak bekerja di Tunas Harapan Bangsa, Deehan semakin tertutup. Profesinya sebagai guru memaksanya lebih berhati-hati daripada sebelumnya. Dia membatasi diri dari pergaulan, memastikan tidak akan melanjutkan hubungan asmara dengan partner seks untuk menghindari ketahuan, bahkan akhir-akhir ini, dia tidak lagi menggunakan dating application di dalam kota.
Namun, beberapa minggu lalu saat insiden yang melibatkan Eka dengan dua orang siswa yang lantas dikeluarkan karena praktik homoseksual, Deehan mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Bisakah dia terus bersembunyi, berpura-pura menerima, padahal di dalam hati dia menjerit ingin membela hak-hak kaumnya? Meski dia tahu perbuatan tidak senonoh di dalam asrama tidak bisa dibenarkan, tetapi apakah mereka pantas diberi surat pemecatan semacam itu?
Mereka hanya anak-anak. Apa jadinya masa depan mereka jika masyarakat lebih dulu menghakimi jati diri mereka yang paling murni, tanpa kepalsuan, sebagai sebuah tindakan kriminal, hingga pantas diberi hukuman seberat itu?
Bagaimana jika surat pemecatan keji itu dijadikan alasan sekolah lain menolak kehadiran mereka?
Deehan duduk di tepi tempat tidur. Pikiran-pikiran itu mendadak kembali menghantuinya.
Keputusannya berhenti disebabkan karena dia merasa kerdil, sebagai seorang pelindung dan pendidik, dia tidak berfungsi.

KAMU SEDANG MEMBACA
90 Days
General FictionDeehan Ishamel, guru sekolah khusus pria yang mengundurkan diri dari pekerjaannya karena merasa tidak bisa melindungi seorang siswa harus menghabiskan 90 hari terakhirnya mendampingi Luthfi Mahendra Boaz, guru pengganti yang sangat kritis, berambisi...
Wattpad Original
Ada 11 bab gratis lagi