"Sorry," ucap Deehan. "Kayaknya aku udah ngeremehin kamu."
"Nah gitu dong senyum," ledek Luthfi. "Paling enak kalau lihat orang ganteng senyum. Nanti malam makan berdua, yuk?"
"Tanggal tua," dalih Deehan.
"Kayak nggak tiap hari aja makan di luar," rutuk Luthfi kesal.
"Makan di bakmi jawa gitu mau?"
"Yang ngajak ke kafe juga siapa, sih? Kita 'kan sama-sama laki-laki. Kalau aku ngajak makan, bukan lantas makan di tempat yang bagus juga, bukan berarti juga aku minta dibayarin."
"Iyaaa," jawab Deehan pelan. "Udah kebiasaan di aku, sih."
"Nah, 'kan? Kebiasaan sama akun have fun di Grindr, sih. Aku bilang juga apa. Mentang-mentang mau dipake, mereka kebiasaan minta dijamu. Jangan samain aku sama mereka!"
"Tapi kamu 'kan juga bukan tukang pijat!"
"Sialan," maki Luthfi keki. "Bisaan aja ya lu balikin becandaan orang. Nyebelin."
"Cieeeh." Deehan terkikih geli, mencubit samar pipi Luthfi yang menggembung karena sedang mengunyah. "Ngambek. Pake elu-elu lagi."
"Nggak suka?" tantang Luthfi seraya mendorong bahu Deehan dengan lengannya. "Bukan pacar ini, ngapain aku-kamuan segala."
"Biar sopan, dong. Kita kan staf pengajar," kekeh Deehan, makin senang melihat Luthfi memberengut.
"Halah! Lagi berduaan ini."
"Jangan salah, banyak siswa yang suka tiba-tiba masuk buat ngadem. Ati-ati aja nanti kalau kamu jadi penanggung jawab di sini. Ruangan ini sering didatengin, justru nyaris nggak ada privasi kalau punya ruangan sendiri. Makanya pada males guru lain jadi penanggung jawab perpus."
"Memangnya siapa yang sering datengin kamu ke sini? Si Eka Jaasir Hadrian itu?" tebak Luthfi tepat, membuat Deehan menghentikan segala aktifitas untuk menoleh dan menatap wajah tampan pemuda di sisinya. "Apa? Dua hari ini aja aku nangkap basah dia ngelihatin kamu dari jauh. Tadi di kelas juga. Naksir kamu, ya?"
Deehan tertawa, patah sudah dugaannya bahwa Luthfi pintar mengambil kesimpulan.
"Kamu ingat kejadian yang diceritakan Pak Ersang tentang pemecatan dua orang siswa yang pikirmu adalah alasanku resign dari sekolah ini?"
Luthfi mengangguk.
"Eka itu homofobik. Dia yang menggerakkan teman-temannya berbuat kekerasan terhadap dua siswa yang kemudian dikeluarkan itu."
Luthfi memaki.
"Mungkin dia malah kesal sama aku karena aku adalah satu-satunya guru yang menentang keputusan dikeluarkannya dua siswa itu dari sekolah. Eka cukup dekat sama aku sebelum kejadian. Dia siswa yang butuh perhatian lebih karena masa lalu yang terjadi pada keluarganya, tapi sejak peristiwa itu, aku agak menghindarinya. Yah ... aku manusia biasa, apa yang menimpa dua siswa itu rasanya menjadi tanggung jawabku juga."
"Aku nggak nyangka sama sekali," tukas Luthfi. "Aku pikir malah kebalikannya. Ngeri juga, ya?"
Deehan mengangguk tidak kentara. "Aku nggak kuat," akunya. "Kamu benar kalau berpikir aku keluar dari sini karena hal itu. Agak kaget juga ketika penggantiku juga sama kayak aku. Kamu. Tapi kelihatannya, kamu bukan orang yang lemah. Kamu pasti lebih bisa dari aku. Kamu jauh lebih berani, lebih terbuka. Aku nggak bisa kayak kamu, makanya semua yang terjadi di sini, agak menekan psikisku."
Luthfi menyengir. "Serius. Aku jadi makin ngeri. Nanti kamu kasih tahu ya, siapa-siapa aja yang harus aku waspadai selama di sini."
Deehan mengulum senyum. "Nggak ada yang perlu diwaspadai secara khusus. Kamu harus waspadai semua orang kalau nggak mau ketahuan. In fact, di seluruh bagian negara ini, kamu harus waspada kalau mau tetap kerja. Apalagi jadi guru."
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Days
General FictionDeehan Ishamel, guru sekolah khusus pria yang mengundurkan diri dari pekerjaannya karena merasa tidak bisa melindungi seorang siswa harus menghabiskan 90 hari terakhirnya mendampingi Luthfi Mahendra Boaz, guru pengganti yang sangat kritis, berambisi...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir