Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Chapter 10. Splattering Colors on a Monochrome World

6.8K 715 244
                                    

"Sekolah ini luas banget, ya? Semuanya brondong lagi, asyik banget buat cuci mata. Kamu pasti punya dong satu dua murid kesayangan? Kapan kamu mau nunjukin ke aku asramanya? Kalau guru tinggal di asrama bayar nggak, sih? Kalau gratis, mending aku mempertimbangkan untuk tinggal di sini aja, kan lumayan hemat biaya tempat tinggal."

Deehan sibuk dengan semangkuk soto. "Nanti sorean kita keliling asrama. Gratis kok kalau kamu mau, tapi kamu nggak bisa tahu-tahu keluar tanpa izin, nginep sama teman kencan Grindr-mu gitu."

"Mesti izin?"

Kepala Deehan mengangguk, kemudian menyuap sesendok nasi ke mulut.

"Males banget. Emang seketat itu, ya? Nggak ada dispensasi buat guru?"

"Ya ada, sih. Biasanya guru ya tahu sama tahu, kalau kamu pinter deketin penanggung jawab asrama. Konsekuensinya, kalau malam-malam ada kejadian apa gitu kamu nggak ada di tempat ya bakalan kena masalah."

Luthfi mengangguk-angguk. Dia baru mulai menyendok nasi goreng pertamanya. Di tengah mengunyah, dia sudah punya pertanyaan baru, "Kalau kamu? Tinggal di rumah sendiri atau ngekos?"

"Rumah," jawab Deehan singkat. Soto di mangkuknya sudah hampir habis. "Kalau nggak di rumah aku mungkin akan tinggal di asrama."

"Tinggal sama keluarga? Atau sendiri?"

"Sendiri."

"Kamu bisa beli rumah dengan gaji segitu?!" Luthfi bertanya dengan nada terkejut yang tidak dibuat-buat. Namun, gelengan kepada Deehan membuatnya lega, "Pantesan. Aku aja kalau nggak ada kerjaan sampingan, nggak cukup rasanya gaji guru buat hidup pas-pasan."

"Kalau di sini mungkin cukup. Gajimu pasti nyesuaiin gaji di Jakarta, kan?" tanya Deehan. Saat Luthfi mengangguk, dia melanjutkan. "Semarang apa-apa masih cukup terjangkau, kok. Tapi kalau kamu belum ngontrak terlalu lama, mending ngekos. Atau ajak seseorang buat sharing kontrakan. Kalau nggak mau tinggal di asrama."

"Males ah tinggal di asrama kalau kayak gitu. Nggak bebas. Gimana kalau malem-malem aku mau ketemu kamu?"

"Ngapain coba ketemu aku, hm?"

"Yah siapa tahu kamu butuh disepong?" kekeh Luthfi. "Ya buat gituan lah. Masa nggak mau lagi?"

"Nggak, ah. Males kalau sama teman sendiri. Rasanya aneh." Deehan tertawa kecil karena Luthfi mengerutkan hidung untuk mencibir kata-katanya. Setelah memesan semangkuk soto lagi, Deehan kembali menjelaskan. "Di sini, kamu benar-benar harus hati-hati sama orientasi seksualmu,"—berbisik—"udah dengar cerita Pak Ersang tadi, kan? Ngerti apa artinya?"

"Iya aku ngerti," gumam Luthfi. "Aku nggak punya sisi pembela kebenaran dan keadilan, kok, tenang aja. Aku akan duduk manis, pura-pura udah punya tunangan, sambil merhatiin anak-anak SMA berenang di sayap timur. Kapan mereka biasanya renang?"

"Sore. Kalau siang biasanya buat jam pelajaran. Sore dijadwal buat junior hari apa, senior hari apa."

"Kok kayaknya nggak hafal harinya? Nggak biasa nongkrongin mereka?" canda Luthfi dengan mulut penuh. Lagi-lagi pemuda itu mencibir karena Deehan menggeleng. "Sayang banget orang kayak kamu jadi gay, Deehan. Gay itu harusnya lebih bersemangat, dong. Kan katanya habis mati masuk neraka, kesempatan kita senang-senang ya di dunia."

"Edan!" maki Deehan tanpa bermaksud serius. "Kan aku sudah bilang, berhati-hati."

"Ya seberhati-hati apa juga kalau nongkrongin kolam renang nggak akan ada yang curiga kamu gay."

"Belum tentu. Kamu pikir ada berapa banyak pasangan gay di antara siswa-siswa yang bisa membaca gelagatmu? Kamu di sini guru. Nggak semua orang akan menyukaimu. Kalau cacatmu kelihatan dikit aja, pasti banyak yang akan manfaatin. Apalagi kalau kamu gay."

90 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang