"Aku nggak akan buka mulut sebelum kamu."
"Berarti kamu akan buka mulut setelah aku?!" Luthfi memekikkan seruan kemenangan. "Apa hadiahnya kalau aku berhasil mematahkan habit-mu yang satu itu?"
"Aku bahkan nggak membenarkan statement-mu sama sekali!" Deehan memencet hidung Luthfi karena gemas. Sentuhannya mengerucutkan bibir pemuda itu secara otomatis. Seperti menekan tombol saklar.
"Tapi benar, kan? Kamu tertutup. Saking tertutupnya, kamu bahkan nggak berani terbuka ke sesama orang yang berlindung dalam kisah yang serupa denganmu. Ada apa? Apa yang bikin kamu sebegini ketakutan, Deehan Ishmael? Apa keluargamu punya banyak mata-mata?"
"Kamu duluan. Aku baru akan bilang kalau ceritamu meyakinkan."
"Nggak apa-apa nih kalau aku tetap duduk sini?"
Deehan mengangguk. Tubuh Luthfi terlalu ramping untuk melelahkan pahanya yang terlatih. Hampir setiap pagi dia mengikuti lari pagi rutin di Tunas Harapan Bangsa, sekaligus menjadi pengawas siswa-siswa yang diwajibkan berlatih fisik sebelum menerima pelajaran akademis. Dia juga bersepeda setiap minggu pagi, tapi itu tidak akan diungkapkannya kepada Luthfi, atau pemuda itu akan menambah daftar panjang 'bukan gay pada umumnya' hanya karena dia tidak suka pergi ke gym.
"Jawab pertanyaanku duluan, dong!" Luthfi masih mencoba bernegosiasi. "Kamu pernah tidur sama perempuan, nggak?"
Deehan menjawab cepat. "Pernah."
"Sebelum kamu sadar kalau kamu gay?"
"Saat aku masih berpikir bahwa ini hanya sebuah fase hidup, seperti yang dibicarakan orang-orang. Semua gay kupikir mengalaminya. Aku merasa tidak normal, ketakutan, dan mencoba untuk berlaku semestinya laki-laki dalam masyarakat."
"Bisa?"
Meski samar, Deehan mengangguk. "Bisa, tapi aku sulit menikmatinya. Itu terjadi karena aku merasa putus asa. Bahkan, saat itu aku membayangkan sosok orang lain."
"Siapa?"
"Sahabatku. Aku menyukainya sejak kami sama-sama remaja."
"Hetero?"
Deehan mengangguk. Bibirnya tersenyum. Getir.
"Bagaimana dengan gadis itu? Apa dia pacarmu?"
"Teman baikku."
"Astaga ... itu kejam!"
"Nggak. Dia juga menyesal kami melakukannya sebab dia punya hubungan serius dengan seseorang. Jadi kami sepakat untuk menganggapnya tidak terjadi. Entah dia jujur, atau sekadar tidak ingin melakukannya lagi denganku. Aku tahu aku payah. Kami membuang waktu cukup lama untuk merangsang penisku supaya berdiri."
"Euuugggh ... bagaimana rasanya?"
"Yah, kemudian akhirnya harga diriku yang lebih banyak bicara. Aku membayangkan orang lain, kami memadamkan lampu, dan semuanya terjadi. Itu ... salah satu pengalaman paling tidak mengenakkan dari menganggap orientasi seksual sebagai sebuah fase. Setelah itu aku mencoba menerima diriku dengan lebih baik. Setelah kejadian itu aku tahu, aku tidak akan mampu membahagiakan wanita mana pun dengan kondisiku."
"Iya, itu kejam sekali buat mereka. Aku serius waktu bilang aku tidak ingin menyakiti wanita." Luthfi mendengus sedih, membuat Deehan mengelus kepalanya karena melihat bola mata pemuda itu berpendar, seperti akan menangis. "Kamu masih punya orang tua, Deehan?"
"Masih."
"Aku yatim piatu, Deehan," adunya sengau. "Waktu mamaku meninggal, aku baru 12 tahun. Dia adalah satu-satunya wanita yang melindungiku. Ayah dan ibuku bersama hanya karena ibu hamil di luar nikah. Keluarga ayah masih tidak ikhlas menerima kenyataan itu, bahkan sampai aku lahir dan tumbuh dewasa, rasa tidak suka mereka masih kentara.
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Days
General FictionDeehan Ishamel, guru sekolah khusus pria yang mengundurkan diri dari pekerjaannya karena merasa tidak bisa melindungi seorang siswa harus menghabiskan 90 hari terakhirnya mendampingi Luthfi Mahendra Boaz, guru pengganti yang sangat kritis, berambisi...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi