Pintu terbuka didahului tiga ketukan.
"Pak Deehan, Bapak tahu Eka Jasiir Hadrian ada di mana?" disusul dengan pertanyaan yang diajukan oleh seorang pria dalam pakaian olahraga.
Yang dipanggil rupanya tengah asyik menekuri sebuah buku. Sambil memutar kursi yang dia duduki, Deehan mengangkat wajah, lantas membuat ekspresi bertanya-tanya sebelum menggeleng.
"Ke mana dia, ya? Anak itu bolos lagi ...." Pak Rumi—pria dalam pakaian olahraga—menggumam, jelas sekali beliau kesal. "Kalau dia bukan saudara dekatnya pemilik yayasan, lebih baik dia dikeluarkan bareng dua anak bandel yang dia hajar bulan lalu. Ya kan, Pak?"
"Benar sekali." Deehan menanggapi, lebih karena ingin kembali segera ditinggal sendiri. Senyumnya terkulum masam.
Begitu pintu tertutup seperti sedia kala dan suara langkah rekan kerjanya menjauh, lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Deehan menggosok alis, menghempaskan buku di pangkuannya ke atas meja. Wajah letihnya tambah layu sewaktu seseorang tahu-tahu muncul dari balik rak buku.
"Ini mungkin akan jadi terakhir kalinya aku nyembunyiin kamu di sini, bukan berarti aku senang kamu terus-terusan melanggar aturan!" tandasnya kepada pemuda yang menghampirinya.
"Jadi Bapak serius mau berhenti?"
Raut wajah Deehan yang semula sempat tegang, mengendur karena sebaris pertanyaan singkat.
Untuk itu dia mengulas senyum, hanya sepintas, dan tidak terlalu lebar. Namun, biar bagaimanapun dia membentuk senyum di bibir tipisnya yang tersamarkan oleh lebat rambut wajah, ketulusan senyum itu tak diragukan. Senyum yang sekaligus mengafirmasi kebenaran mengenai niatnya meninggalkan pekerjaan.
Sudah lima tahun dia mengajar di sekolah pria Tunas Harapan Bangsa. Meskipun mengajar tak pernah menjadi passion-nya, tapi hanya kegiatan ini yang mengikatnya demikian erat secara spiritual dengan mendiang kakak lelakinya. Akan tetapi, dia tahu suatu saat dia harus berhenti. Hari-hari di mana dia memohon beberapa saat untuk hidup menjalani impian kakaknya telah berakhir.
Minggu-minggu ini mungkin akan menjadi hari terakhirnya menjabat sebagai guru Bahasa Indonesia di sekolah tersebut, jika permohonannya dikabulkan. Dia ingin melewatkan hari dengan tenang, menatap jendela yang menyuguhkan panorama bebukitan yang mengelilingi asrama dan merekamnya sebagai kenangan. Setiap hari, sejak fajar mulai benderang, hingga matahari tergelincir, puncak pepohonan akasia di balik jendela yang menyekat dirinya dari dunia luar menemani suka dukanya menyiapkan bahan ajar.
"Eka, bisa nggak kamu sekarang pergi?" pintanya, santun meski terhadap seorang siswa. "Bapak nggak mau ada yang salah paham kalau kamu sering bertandang ke sini."
"Bapak masih marah sama saya?"
Deehan menghela napas, melanjutkan menyusun buku-buku yang akan dikemas dan dibawanya pulang. Biasanya, buku-buku itu akan dia tinggalkan di dalam ruang pribadinya. Ruangan yang merupakan hak khususnya sebagai guru merangkap penanggung jawab perpustakaan. Dengan saksama, dia memisahkan buku miliknya dengan buku yang harus dikembalikan ke penanggung jawab selanjutnya.
"Bapak nggak marah sama kamu," kilahnya tenang, mengetuk tumpukan buku ke permukaan meja agar tersusun sempurna. "Memangnya kamu salah apa? Kamu nggak ada salah, kok. Kamu sudah melakukan hal yang menurut kamu benar. Selama ini semua anak di dunia diajarkan untuk mengikuti kebenaran yang mereka yakini. Niatku buat mengundurkan diri nggak ada hubungannya dengan kamu."
Pandangan mata Deehan melayang pada pemuda bertampang keras seperti prajurit itu. Mereka bersitatap sekelebat, karena si pemuda lebih cepat membuang wajah.
Rahangnya yang kokoh menunjukkan bahwa dia sudah bukan lagi bocah, melainkan seorang pria. Akan tetapi, matanya yang membulat tak percaya akan ucapan sang guru memberi kesan kekanak-kanakan yang tidak mampu disembunyikan oleh kedewasaan penampilannya. Kepolosan tersebut mau tidak mau meluluhkan hati Deehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Days
General FictionDeehan Ishamel, guru sekolah khusus pria yang mengundurkan diri dari pekerjaannya karena merasa tidak bisa melindungi seorang siswa harus menghabiskan 90 hari terakhirnya mendampingi Luthfi Mahendra Boaz, guru pengganti yang sangat kritis, berambisi...
Wattpad Original
Ada 13 bab gratis lagi