#3 Teman?

301 20 0
                                    

Di rumah.

Aku sedang memainkan handphoneku. Aku tidak pernah memainkan handphone di sekolah, kecuali jika memang ada tugas yang harus di cari di internet. Ayah bilang jika handphone bisa memberikan dampak negatif jika aku tidak menggunakannya dengan benar. Daripada aku khilaf, lebih baik aku meminimalisir penggunaan handphone.

Tiba-tiba, handphoneku bergetar. SMS dari nomor asing. Siapa?

bsk ada pr apa? Gw allan

Mataku membulat sempurna. Darimana Allan tahu nomor handphoneku?! Tidak mungkin dari teman sekelas. Mereka bahkan hanya sekedar tahu namaku.

Tau nomorku darimana?

Tak lama, balasan dari Allan datang.
dri pak nardi. Gc, ada pr apa? Gw mau ngerjain

Mengapa Pak Nardi bisa-bisanya memberikan nomor handphoneku pada orang baru seperti Allan? Rasanya ingin menangis saja.

Besok ada PR biologi disuruh ngerangkum bab 4

ok, thanks al

Seketika sudut bibir ini melengkung membentuk sebuah senyuman. Mengapa Allan mencari tahu nomor handphoneku? Bahkan ia mencari tahu hingga bertanya pada Pak Nardi. Mungkinkah ia mencari tahu hanya untuk bertanya tentang PR?

Aku tidak bisa berharap yang muluk-muluk lagi. Awalnya, harapan memang terlihat indah. Namun, harapan akhirnya hanya melukai karena ia adalah dusta. Dusta yang indah.

***

Pagi hari ini seperti biasa. Aku membeli air mineral di mesin penjual otomatis. Ini sudah beberapa hari sejak Allan mengirimkan SMS tempo hari. Untung saja aku tidak berharap lebih. Jika iya, mungkin aku sudah menangis lagi sekarang.

Sambil membawa air mineral di tangan, kulihat Allan sedang duduk di lorong. Sedang apa dia? Jika hanya mengerjakan PR, pasti dia akan mengerjakannya di kelas.

Tanpa sadar, aku jadi mengamatinya dari kejauhan. Ia terlihat sedang menulis sesuatu di buku. Kelihatannya dia begitu tenggelam dalam tulisannya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku dan aku terkejut. Refleks aku segera membuang muka dan langsung menaiki tangga dengan terburu-buru.

Ini pertama kalinya aku tertangkap basah saat menatap seseorang karena aku memang selalu menundukkan tatapanku. Malunya.

Sesampainya di kelas, aku langsung menuju bangkuku dan menenggelamkan wajahku di lenganku. Mengapa malu ini tidak bisa dilupakan begitu saja?

Suara pintu terbuka menyadarkanku dan kulihat Allan di sana. Aku baru ingat, dia adalah teman sebangkuku. Aku kabur pun tidak ada gunanya.

Allan meletakkan tasnya di bangkunya. Aku masih berada di posisi yang sama dan kurasakan tatapan Allan mengarah padaku.

"Kalo lu kepo, datengin aja gue. Nggak usah ngelihatin segala. Gue terlalu ganteng buat dilihatin."

Mataku langsung terbelalak dan menatap Allan dengan senyumnya. Mengapa aku yang harus tertangkap basah saat menatapnya? Rasanya ingin menghilang saja. Dan kenapa Allan terlalu percaya diri tentang ketampanannya? Rasanya ingin kutampar saja walaupun dia memang tampan.

"Aku cuma... kebetulan ngelihat aja. Nggak ada niat kok." Elakku gugup.

Kulihat Allan menaikkan sebelah alisnya. "Ooh, ya udah kalo lu nggak kepo tadi gue ngapain."

Apakah dia seorang pembaca pikiran? Mengapa ia tahu jika aku memang ingin tahu apa yang ia lakukan di lorong tadi?

"Aku... mau tahu."

Allan langsung menoleh ke arahku dan tak lama, ia tersenyum. Mengapa ia banyak sekali tersenyum padaku?

"Gitu dong. Lu bakal merasa sendirian kalo lu nyembunyiin semua perasaan lu. Coba belajar terbuka sama orang lain. Mereka pasti bakal nerima lu kalau lu nggak terus menutup diri."

Aku terdiam kemudian tersenyum pahit.
"Nggak semudah itu, Allan. Dalam kasus ini, mereka menjauhiku karena aku berbahaya. Bukan karena aku yang menutup diri."

Allan menggeleng. "Lu nggak bahaya selama mata itu terus lu tutup. Lu juga harus belajar bergaul, Alda. Lu tuh--"

Aku tidak tahan lagi dan langsung bangkit dari bangkuku. Kutatap Allan tajam. "Kamu gak tau apa yang kurasain! Kamu gak ngerti masalah ini tuh gimana! Jangan ngebahas masalah ini kalo kamu nggak tahu apa-apa!"

Aku berjalan cepat keluar kelas karena air mata mulai berkumpul di pelupuk mataku. Mengapa Allan bicara begitu padaku? Apakah itu yang dikatakan orang-orang jika mereka sudah saling berkenalan beberapa hari? Rasanya aku sangat ingin melepas perban di mata kiriku dan langsung saja membunuhnya. Namun, aku masih mempunyai akal sehat untuk tidak melakukannya.

Kaki ini melangkah ke dalam toilet perempuan. Aku langsung masuk ke salah satu bilik toilet dan menangis dalam diam. Apakah sesakit ini jika ingin mempunyai teman? Aku hanya ingin seseorang yang menerimaku apa adanya. Allan tidak mengerti apa-apa dan ia justru menyalahkanku yang bahkan dijauhi, bukan menjauhi.

Aku berusaha menguasai diriku lagi. Tidak lucu jika aku ketahuan menangis dan ditanyakan oleh guru alasannya.

Aku keluar dari bilik toilet dan kembali ke kelas. Kulihat Allan sedang mengutak-atik kameranya. Aku duduk di bangkuku dan suasana menjadi canggung. Allan bahkan tidak minta maaf, namun aku tidak memerlukan maafnya. Lebih baik aku tidak punya teman dibanding aku harus tersakiti.

***

Sudah tiga hari sejak pertengkaranku dengan Allan dan selama itu pula Allan seperti menghindariku. Lebih baik seperti ini daripada Allan terus-terusan membahas masalah itu.

Pulang sekolah, seperti biasa, aku langsung keluar kelas. Namun, sebuah tangan menahan gerakanku untuk berjalan lebih jauh.

Namira. Mau apa dia? Bersama Shafina, Siska, Yolanda, Aurel, dan Cucu pula. Kutatap mereka datar.

"Ada apa?" Tanyaku.

"Kita punya urusan sama lu." Jawab Aurel sinis.

Aku menaikkan alisku sebelah dan menatap mereka bingung. "Sayangnya, aku nggak punya urusan sama kalian. Minggir."

"Dia nggak akan mau, Nam. Udah gue bilangin juga." Aurel berbicara pada Namira. Tiba-tiba, Cucu menyela pembicaraan mereka.

"Gue langsung to the point aja." Cucu menatapku sombong. Aku benci sekali dengan tatapan seperti itu, seakan-akan derajatku jauh lebih rendah daripada mereka.

"Cu, ngeliatinnya jangan gitu-gitu amat. Tar lu mati duluan, batal ini, Cu." Entah Yolanda sengaja melucu atau memang sebuah peringatan, semua orang di sana tertawa kecuali aku.

"Kapan lu pergi dari sini?" Cucu masih menatapku dengan tatapan yang sangat kubenci itu. Aku sungguh bingung sekarang.

"Katanya kalian mau ngomong sama aku, sekarang kalian nanya kapan aku pergi. Kalo bisa mah, daritadi aku juga pengen pulang." Jawabku.

"Lu salah nanya, Cu. Mendingan gue aja yang nanya dah." Sekarang giliran Shafina yang mulai berbicara.

"Kapan lu mau pindah dari sekolah ini?" Nah, sekarang pertanyaan ini baru benar. Aku tersenyum.

"Kalian sama sekali nggak ada hak ataupun kewajiban buat nentuin di mana aku bisa sekolah. Daripada ngurusin orang lain, mendingan kalian urus diri dulu. Jadi cewek kayak biduan aja bangga."

PLAK!

Satu tamparan mendarat tepat di pipi kiriku. Apakah salah jika aku membicarakan fakta? Mengapa aku yang harus ditampar? Mengapa harus aku yang selalu disalahkan?

To be continued~

Death AngelWhere stories live. Discover now