#6 Mustahil

243 19 18
                                    

Pagi-pagi seperti biasa, aku sudah rapi dan sarapan di meja makan. Wangi roti panggang dan uap dari susu cokelat hangat sangat begitu menggoda. Entah mengapa, pagi ini aku sangat lapar. Mungkin karena semalam aku lupa makan malam.

Susu kental terlihat lumer di roti panggangku. Dengan lahap, aku segera memakannya.

"Nona, hari ini Tuan pergi ke Perancis selama empat hari." Bi Minah meletakkan botol minum di atas meja. "Ini untuk Nona. Jadi nanti Nona tidak perlu membeli air lagi di sekolah."

Aku menatap Bi Minah. Jika aku dibawakan air minum ke sekolah, lalu apa alasanku mengulur waktu untuk menghindari teman-temanku?

Namun, akhirnya kuambil juga botol tersebut dan kumasukkan ke dalam tas.

"Bi Minah." Panggilku dan Bi Minah menoleh.

"Aku akan tunjukkan pada Ayah, jika aku... akan membawa temanku ke sini. Aku akan tunjukkan kalau ini... belum berakhir."

***

Pertama-tama yang harus kulakukan sesampainya di sekolah adalah...

bicara pada Allan.

Dia satu-satunya harapanku. Dia satu-satunya orang yang menerima kehadiranku dulu. Entah bagaimana dengan sekarang.
Aku memang pengkhianat. Aku sendiri yang mengatakan jika aku tidak membutuhkannya. Namun sekarang, aku akan seperti mengemis padanya. Memintanya untuk menjadi temanku.
Allan menyuruhku untuk membuka diri. Aku akan tunjukkan padanya, seperti yang dia mau.

Aku membuka pintu kelas. Kulihat Allan duduk di samping Nathan karena Ocha belum datang. Ia sedang menulis sesuatu di bukunya.

"Nat, lu mtk udah belom?" Tanya Allan.

Nathan yang sedang asyik menggerakan badannya mengikuti irama musik dari playlistnya langsung berhenti dan membuka earphonenya yang sebelah kanan. "Apaan, Lan?"

"Mtk lu udah? Malah asik joget gak jelas pagi-pagi gini."

"Enak aja joget gak jelas. Lu tuh yang gak jelas."

Kuperhatikan asyiknya Allan dan Nathan berdebat konyol hanya karena PR. Aku juga ingin seperti itu. Tidak apa-apa jika harus berdebat konyol, asalkan aku... bisa berbicara dengan mereka.

Sekali saja seumur hidup.

***

Sampai jam istirahat pun, aku tidak menemukan waktu yang tepat untuk bicara dengan Allan. Apakah selamanya aku tidak akan bisa bicara dengan Allan?

Kutepis pikiranku jauh-jauh. Aku memang harus memaksakan keadaan. Jika tidak, semuanya tidak akan sejalan dengan rencanaku.

Kulihat Allan sedang bicara dengan Adjie, Bagas, Danu, dan Riski. Tidak mungkin jika aku harus ke sana dan menarik Allan untuk bicara. Itu mustahil untuk kulakukan.

"Alda, minjem pulpen dong."
Suara Yoga mengagetkanku yang sedang menatap Allan. Kuserahkan salah satu pulpenku pada Yoga dan dia pergi begitu saja, seperti biasa. Aku menatap kosong mejaku.

Tidak bisakah aku bicara dengan mereka seperti Allan bicara dengan mereka?
Apakah akan selama-lamanya aku tidak mempunyai teman? Apakah ini semua sudah selesai?

***

Sampai waktu pulang sekolah pun, aku tidak menemukan waktu yang tepat. Kurasa, Allan memang membenciku. Karena itu ia menghindariku seharian ini.
Tiba-tiba seseorang berhenti di depanku yang sedang menunduk.

Death AngelWhere stories live. Discover now