Setelah adu mulut antara keenam temanku dan keenam musuhku kemarin, keenam musuhku menjadi pendiam. Mereka menjauh seakan-akan sedang mencari cara baru untuk membuatku semakin dipermalukan. Tetapi, bukan keenam kucing garong itu yang kupikirkan, tetapi Allan.
Allan memilih duduk dengan Emon, yang nama aslinya adalah Rian Maulana Lubis karena Ryan, teman sebangku Emon, tidak masuk. Ia pun masih menjauhiku tanpa berucap apapun padaku.
Aku rindu banyolan Allan, padahal baru sehari kami tidak bicara. Aku rindu suara Allan yang berat tetapi cempreng itu.
Aku rindu dan ini berat.Aku kaget saat ada orang tiba-tiba duduk di bangku di sampingku. Ternyata Inez.
"Cucu sama gue lagi berantem. Jadi boleh kan kalo gue duduk sama lu?"Aku terdiam menatap Inez. Ini... ketiga kalinya ada orang yang mau duduk di dekatku. Yang pertama ibu, kedua Allan dan ketiga Inez sekarang.
"Boleh banget kok, Nez. Kebetulan Allan lagi duduk sama Emon." Balasku yang entah kenapa terdengar sedikit sendu.
Inez pun meletakkan tasnya di bangku sampingku."Oohhh? Jadi Inez sekarang jadi temen sebangku Dewa Kematian setelah Allan gak mau temenan lagi sama dia?" Sindir Cucu tiba-tiba. Ternyata mereka masih tidak ada kapoknya.
"Udah, Cu, biarin aja. Bentar lagi si Inez nya juga kena batunya, sama kayak Allan." Sahut Yolanda.
Inez membisikiku. "Udah, biarin aja. Lu ladenin, tar dia tambah seneng."
Aku mengangguk."Kita liat aja, guys! Bentar lagi juga orang-orang yang belain dia juga nyesel. Si Allan aja udah nyesel tuh." Balas Aurel di belakang.
"Lan, sekarang lo nyesel kan gara-gara mau temenan ama dia? Padahal kita semua udah ngasih lo peringatan. Tapi batu mah emang susah buat dinasehatin." Sindir Shafina pada Allan. Aku menunggu jawaban Allan, namun ia hanya diam.
Tak disangka, Namira menyahut dengan kata-kata yang membuatku terbelalak."Nggak salah kalo kita ngatain lo bego, Lan! Di depan MANTAN SAHABAT lo!"
Inez menepuk punggungku lembut untuk menyabarkanku. Mengapa mereka terus-terusan menghina Allan? Tidakkah cukup untuk mereka hanya sekedar menghinaku saja?!
Aku bangkit, namun tangan Inez menahan lenganku. Aku menepisnya kasar dan menatap Namira murka.
"CUKUP!" Teriakku murka. Suasana seketika menjadi hening.
"KALO KALIAN SEMUA EMANG NGGAK MAU AKU ADA DI SINI, OKE! AKU PERGI! TAPI JANGAN PERNAH HINA ALLAN LAGI!!"
Aku langsung berlari meninggalkan kelas.
Aku sadar jika aku sangat kekanakan. Pergi dari sebuah masalah tanpa menyelesaikannya lebih dulu.Suara langkah kaki seperti seseorang mengejarku. Septi. Mengapa ia mengejarku?
"Da! Stop dulu dan dengerin gue!" Panggil Septi dan langkahku langsung terhenti.
"Lu nggak pantes kalo main pergi gitu aja, Da! Selesein semuanya di sini!" Marah Septi. Aku terdiam. Septi menarik tanganku kembali menuju kelas dan aku membuang tangan Septi kasar.
"Udah, Sep. Semuanya... udah selesai. Kalo mereka emang mau aku pergi, oke! Aku bakal nurut sama ayahku buat pindah ke London dan mulai... hidup baru...." Kataku lemah.
"Lo masih punya kita, Da! Lo masih punya gue, Nathan, Ocha, Cahya, Inez, sama Laura! Jangan ngira kalo lo bakal ngadepin semuanya sendiri!" Tukas Septi dengan emosi. Aku terdiam. Lagi.
"Ayo balik ke kelas! Jangan ngelakuin hal konyol lagi kayak tadi!" Omel Septi sambil menarikku kembali ke kelas.
***
Pulang sekolah, aku mencuri pandang dengan Allan. Tetapi ia langsung membereskan bukunya dan pergi begitu saja, tanpa sapaan. Tanpa high-five seperti dulu.
"Lan, lo jangan pulang!" Seru Nathan pada Allan. Namun, Allan langsung pergi keluar kelas tanpa menghiraukan Nathan.
"Da, lu gak apa-apa?" Tanya Inez dan itu membuatku tersentak.
"Eh... iya, gak apa-apa kok." Jawabku masih terkejut.
Kulihat di sekelilingku. Anehnya tidak ada satu pun yang bangkit dari bangkunya, kecuali Allan tadi. Ada apa ini?
"Gue langsung mulai aja." Suara Nathan langsung memecah kebingunganku.
"Gue harap, gak ada adegan cakar-cakaran, jambak-jambakan, apalagi pukul-pukulan hari ini. Gue minta kalian semua untuk mikir dua kali sebelum ngomong. Marah dan nangis diijinkan. Tapi kalo sampe ada kericuhan, gue bakal nganggep yang ricuh nerima pendapat lawan bicaranya." Jelas Nathan panjang, "Hasil akhir dari hari ini harus diterima dengan ikhlas, mau hasilnya nyebelin atau enggak. Yang merasa kalah hari ini juga harus minta maaf."
Ada apa ini?! Apakah hari ini ada sesuatu yang amat penting sampai Nathan bicara sepanjang itu???
"Gue mulai dari lo Alda. Ungkapin semua yang lo rasain ke kita. Tanpa kelewat sedikit pun." Nathan menyuruhku bicara. Sungguh! Aku tidak mengerti ada apa ini?!
"Nat, ini... ada apa?" Tanyaku bingung setengah mati.
"Kita mau nyelesein masalah lo! Udah gece ngomong!" Jawab Nathan. Aku langsung mati kutu.
Semua orang menatapku. Seketika rasa grogi langsung menghinggapiku. Tetapi... ini adalah kesempatan terakhirku untuk memulai lembaran baru. Semoga... yang aku katakan bisa membuat mereka mengerti.
"Halo?" Sapaku ragu.
"Hai." Balas suara seorang lelaki, suara Haikal.
"Maaf sebelumnya kalo aku bakal bicara yang bikin kalian nggak suka. Tapi ini yang aku rasain selama ini." Lanjutku dengan perasaan gugup. Semuanya hanya diam.
Aku menarik napas dan membuangnya berat.
"Jadi... selama ini aku nggak ngerti di mana salahku? Apa aku pernah... ngelukain kalian?" Tanyaku dan beberapa orang terdiam.
"Lo pernah mau bunuh kita!" Sahut Cucu tiba-tiba.
Aku menghela napas berat. "Iya. Aku akuin kalo waktu itu aku emang salah. Nggak seharusnya aku langsung ngambil keputusan fatal kayak gitu." Aku mengambil satu tarikan napas, "Tapi aku marah karena kalian bisa-bisanya ngehina Allan! Aku nggak terima kalian bilang Allan bego di depan mataku!" Ucapku bercampur sedikit emosi.
"Sekarang aku tanya sama kalian. Seandainya sahabat kalian diejekin sama musuh kalian, apa yang kalian lakuin?" Tanyaku.
Yoga mengangkat tangannya, "Gue ketekin dia."
"Bagus, Yog! Gue ngedukung lo!" Balas Atenk, yang nama aslinya adalah Riski Andriyansah.
Ocha mengangkat tangannya, "Gue sih bakal nendang dia sampe mimisan."
Aku tersenyum tipis. "Aku pikir, semua orang bakal ngebela sahabatnya meskipun ngebelanya pake cara yang nggak enak."
Siska tiba-tiba berdiri. "Kalo waktu itu Allan nggak ngehentiin lo, lo bakal jadi pembunuh!"
"Aku tanya, Sis! Apa sekarang kalian semua yang mau kubunuh kemaren mati?! Nggak kan?! Itu bukti nyata kalo aku nggak pernah ngelukain siapapun! Itu cuma gertakan biar kalian nggak bersikap seenak jidat kalian!" Marahku.
Laura yang bangkit kali ini. "Gue setuju sama Alda. Alda nggak pernah ngelukain siapa pun selama ini. Nggak seharusnya dia nerima perlakuan sehina ini."
To Be Continued~
YOU ARE READING
Death Angel
Dla nastolatków"Aku hanyalah orang biasa! Aku bukan dewa kematian!" Alda harus menanggung cap yang di berikan teman-temannya sebagai 'Dewa Kematian'. Sebabnya, makhluk hidup yang di tatap oleh Alda selama 10 detik akan meninggal mendadak tanpa sebab. "MENJAUHLAH!"...