#15 Ayahku?

180 18 1
                                    

Aku yang masih mengumpulkan tenaga hanya bisa terdiam dan melihat ekspresi Allan.

"Gue gak bawa helm dua. Ntar kalo tiba-tiba ada mobil nabrak dari belakang, gimana? Terus kalo si Alda gak kuat terus mati, gimana?"

Nathan langsung menoyor kepala Allan.

"Buset mulut lo. Omongan tuh doa!" Omel Nathan. Allan langsung bungkam.

"Kalo lu takut ada mobil dari belakang, pake spionnya, Mas. Kalo lu takut Alda gak kuat, ya lu hati-hati lah! Jadi cowok kok kelewat cerdas sih?!" Nathan masih melanjutkan omelannya rupanya.

"Gue cuma takut Alda kenapa-napa..." Ucap Allan lirih. Aku terdiam. Sebegitu khawatirnya Allan padaku?

"Dia nggak pernah naik motor. Takutnya dia gak biasa, eh, terus dia gak betah dan gue nggak konsen gara-gara mikirin itu di jalan. Eh, terus jadinya kita nyungsep."
Di ujung, Allan kembali berkata hal konyol.

"Sep, lu cari siapa kek cowok yang bawa motor yang lu kenal selain nih anak. Suruh dia anterin Alda. Capek gue ngurusin dia."

"Eeeeeehhhhh! Jangan jangan! Iya iya! Gue anterin!" Sela Allan begitu Nathan menyuruh Septi.

"Gitu kek daritadi." Gerutu Nathan dan Allan hanya bisa cengar-cengir.

"Kenapa sih lu gak mau banget Alda deket-deket sama cowok lain? Lu kan bukan pacarnya." Tanya Inez tiba-tiba, membuat cengiran Allan langsung menghilang.

"Cowok selain gue itu brengsek, kecuali ayah gue." Jawab Allan yang membuat Nathan kembali marah-marah

"Bapak gue nggak brengsek ya?!" Omel Nathan tidak terima. Aku tersenyum.

"Cieeh, Alda udah sehat tuh. Banyolan lo emang paling best, Lan." Puji Septi dan Allan tersenyum bodoh.

"Iya dong. Gue mah emang selalu membawa keceriaan di mana pun gue berada." Allan menyombongkan diri.

"Bodo amat, Lan!" Sahut Laura kesal.

"Udah, Lan. Lu anterin si Alda gih. Jadi cowok gak usah lemot deh! Gerak cepaaaat!!!" Perintah Nathan dengan galaknya.

"Iye, Nathania Pradyna Farini si Kang Jogedh. Lu bawel bener!" Allan bangkit dari tempat duduknya di depan pintu, "Ayo, Al. Kita pulang."

Aku bangkit dan berpamitan pada teman-temanku sambil tersenyum. Aku pun mengikuti Allan dari belakang.
Suasana canggung menyelimuti kami berdua, entah kenapa. Allan daritadi hanya diam sampai kami di parkiran motor.

Allan menyerahkan kartu parkir kepadaku.

Allan mengenakan jaket, sarung tangan, masker, dan helmnya dan duduk di jok motor sambil menyalakan mesin motornya.

Aku bingung, tentunya. Bagaimana cara duduk yang mestinya kulakukan? Di tengah kebingunganku, Allan tiba-tiba memakaikan sebuah masker padaku.

"Banyak debu kalo lu naik motor. Jangan sampe muka lu kotor."

Aku terdiam beberapa saat sampai akhirnya aku bertanya. "Allan, duduknya gimana?"

Allan membuka kaca helmnya. "Buset, Al. Lu duduk di motor aja gak tau caranya? Emang lu kalo jalan pulang naik mobil gak lihat gitu, orang-orang naik motor duduknya gimana?" Allan malah mengomeliku dengan kata-kata yang membuatku semakin terlihat kampungan.

"Aku lihat. Cuma... kalo aku duduknya kayak mereka, nanti kakiku kelihatan."

Allan menghela napas gusar. "Lu duduknya nyamping. Bisa gak?"

Menyamping? Dengan sedikit keraguan, aku naik ke motor dan aku... berhasil duduk! Meskipun jok motor Allan agak licin.

"Lu udah naik, Al? Tar lu belom naik, gue udah jalan duluan."

"Udah, Allan. Kamu bawel banget." Sahutku.

Setelah menyerahkan kartu parkir pada penjaga sekolah, motor Allan pun masuk ke jalan raya bersama mobil dan motor lainnya.

Jantungku berdegup kencang karena ini pertama kalinya aku naik motor dan lagi Allan yang mengendarainya. Tiba-tiba aku teringat, bagaimana dengan ayah tadi? Apakah ayah pulang ke rumah? Kembali bekerja di kantor atau pergi ke London meninggalkanku?

Aku segera menepis pikiranku. Untuk apa aku memikirkannya? Aku memang tidak akan pernah pergi ke London, seberapa pun usaha ayah akan membawaku ke sana.

Allan menanyakan di mana letak tempat tinggalku. Aku hanya memberi arahan hingga kami sampai di depan rumahku.

"Makasih banyak ya, Allan. Aku nggak tahu gimana nasibku kalau kamu nggak ada." Ucapku dan Allan mengangguk.

"Mau mampir dulu?" Tawarku yang langsung dibalas gelengan oleh Allan.

"Kapan-kapan gue ke sini lagi."

Hening. Allan terlihat memikirkan sesuatu.

"Kenapa, Allan?" Tanyaku akhirnya. Allan menatapku.

"Gue... tadi liat lu sama bapak-bapak. Itu bokap lu?" Allan ragu-ragu untuk bertanya.

"Iya, dia ayahku. Kenapa?"

Anehnya, Allan terdiam. Aku bingung, tentu saja. Allan akhirnya menjawab, "Gue... tau orang itu sebelumnya dan ternyata... dia bokap lo?"

Aku hanya sedikit terkejut karena aku tahu jika perusahaan ayah memang terkenal. Tak heran jika orang-orang mengenalnya.

"Jangan kira kalo hubungan gue sama bokap lo itu sedangkal itu, Al." Tiba-tiba nada suara Allan berubah menjadi... begitu serius?

Aku meneguk ludahku sendiri. "Emangnya... ayahku salah... apa?"

Allan tak langsung menjawab. Tiba-tiba mobil hitam bermerek masuk ke dalam rumahku. Itu mobil ayah.

"Itu ayahku. Mau ketemu?" Tawarku dan tatapan Allan padaku langsung... sangat marah?

"Bilangin ke bokap lo kalo dia itu brengsek!"

Aku langsung terperanjat kaget. Aku sangat tahu jika ayahku memang seperti yang dikatakan Allan. Tetapi, haruskah Allan mengatakannya... di depan mataku? Apa yang telah ayah perbuat pada Allan, hingga Allan bisa berkata begitu di depanku?

"Aku tahu ayahku kayak yang kamu omongin, Allan! Tapi harus ya ngomong begitu di depan anaknya?! Dia tetep ayahku! Mau seberapa pun kamu ngehina dia!" Balasku juga ikut marah. Ayah memang seseorang yang seharusnya tidak menjadi ayah. Namun, mau bagaimana pun dia, dia tetap ayahku.

Allan terdiam mendengar semua amarahku.

"Jangan seenaknya kamu ngehina ayahku kayak gitu!" Tenggorokanku tercekat. Tak mampu melanjutkan, "Dan sama kayak kamu, Allan. Aku juga... benci dia...."
Allan menatapku, seperti mencari sesuatu di mataku.

"Kenapa... lo bohong tentang bokap lo sendiri?"

Aku terdiam. Bohong? Setelah semua yang telah ia lakukan padaku selama enam belas tahun ini, aku berbohong jika aku membencinya?

"Lo gak akan mampu benci bokap lo, Al. Gue emang mampu benci dia. Tapi nggak dengan lu."

Aku masih terdiam.

"Gue ingetin lu sebelum semuanya terlambat." Allan menatapku semakin intens.

"Syukuri apa yang lo punya sebelum lo ngerasain apa yang disebut dengan kehilangan."

Aku masih terdiam.

"Gue yakin kalo lu udah belajar dari kematian nyokap lu. Tapi kenapa lu gak ngambil hikmahnya buat bokap lu, Al? Lu mau nyesel yang kedua kalinya gara-gara lu gak mensyukuri kehadiran bokap lu?"

Aku membeku menatap Allan. Semua perkataan Allan benar-benar begitu mampu menamparku.

To Be Continued~

Death AngelWhere stories live. Discover now