Lagi-lagi prediksiku terjadi secepat ini. Namira bersama Shafina, Siska, Yolanda, Aurel, dan Cucu kembali menghina diriku dengan kata-kata yang begitu menyakitkan untuk didengar.
Saat ini, pulang sekolah telah tiba dan sepanjang pelajaran, mereka berenam menatapku dengan pandangan merendahkan. Aku akui, aku memang salah.
Kali ini, aku tidak membantah saat mereka mencaci-maki diriku karena perasaan bersalah masih terasa di diriku. Sampai pada akhirnya, Yolanda untuk ke sekian kalinya menyiramkan air di atas kepalaku.
"Tumben lu diem aja? Biasanya juga bawel kayak bebek." Ejek Yolanda disusul tertawaan yang lainnya.
"Mungkin gara-gara kejadian senen kemaren kali, Yol. Dia jadi takut sama kita." Balas Namira.
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dan di sana ada Cahya, Ocha, Nathan, Laura, Septi, dan Inez yang sedang berdiri menatap kami semua.
"Kalian ngapain? Pulang gih!" Laura yang bersuara pertama kali.
"Pulang sono kalo mau duluan!" Yolanda membuang botol air mineral kosong yang sudah ia pakai untuk menyiramku ke sembarang arah.
Tiba-tiba wajah Nathan muncul di antara lengan Laura dan lengan Ocha. "Da, mendingan lu pulang duluan. Gue mau ngomong sama mereka semua."
Aku termenung menatap Nathan dengan air yang menetes di rambut dan wajahku. Kulihat mereka yang berdiri di pintu menatapku iba. Apakah kondisiku sedemikian mengenaskan?
Dengan lemah, kulewati kerumunan orang di depan pintu dengan air yang masih menetes dari rambutku. Tak disangka, tetesan air dari rambutku jatuh bersamaan dengan tetesan air mataku. Kuhentikan langkahku dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku.
Tuhan...
Ibu, tolong aku....
Apakah ada... seseorang yang bisa kumintai tolong?Kulihat di pinggir lapangan, Allan dari belakang yang entah kenapa begitu terlihat di mataku. Tanpa basa-basi, aku berlari melewati tengah lapangan menuju Allan yang sedang mengobrol dengan Erlangga, teman sekelasku.
Namun, dua langkah lagi, aku berhenti melangkah. Kulihat Erlangga menatap bingung ke arahku.
"Lu napa, Ngga?" Tanya Allan pada Erlangga dan menoleh ke belakang. Wajah Allan langsung terkejut begitu melihatku.
"Lu napa, Al? Kok basah badan lu?" Allan menoleh ke atas, "Kagak hujan kok."
Aku terdiam kemudian menggeleng. "Aku tadi... nyebur ke bak mandi."
Allan menahan tawa. "Al, toilet sekolah kita pake ember cat, bukan pake bak."
Aku terdiam. Iya juga ya?
"Aku tadi... nyebur ke Sungai Cisadane dan diselametin buaya."Allan tertawa sekarang. "Lu bohong yang cerdas dikit napa."
Tawa Allan memang mampu mengangkat beban yang rasanya tadi begitu berat. Tanpa sadar, diriku tersenyum.
"Ya udah. Aku pulang dulu." Pamitku.
"Eits, lo napa basah begini? Jawab dulu dong."Aku menggeleng. "Ini urusan perempuan."
Aku berbalik badan, bersiap untuk pergi. Namun, sebuah handuk tiba-tiba berada di atas kepalaku. Aku menoleh ke belakang.
"Ntar lu masuk angin kalo basah-basahan gini. Lu sakit, gue gak mau ke rumah lu loh. Gue nyasar ntar yang ada."
Aku tertawa, "Nanti kamu ke rumahku bareng aku kok. Jadi kamu nggak akan nyasar. Tenang aja." Aku mengelap wajah dan rambutku yang basah dengan handuk.
Allan menatapku. "Maksud lu? Gue mau dibawa ke rumah lu gitu?"
Aku juga menatap Allan. "Suatu saat, tapi bukan sekarang. Tenang aja."
YOU ARE READING
Death Angel
Fiksi Remaja"Aku hanyalah orang biasa! Aku bukan dewa kematian!" Alda harus menanggung cap yang di berikan teman-temannya sebagai 'Dewa Kematian'. Sebabnya, makhluk hidup yang di tatap oleh Alda selama 10 detik akan meninggal mendadak tanpa sebab. "MENJAUHLAH!"...