Pagi-pagi seperti biasa, matahari tetap terbit dari timur. Semua makanan untuk sarapan sudah tertata rapi di meja makan seperti biasa. Bi Minah tetap menunggu di sampingku hingga aku selesai makan seperti biasa. Namun, hari ini ada yang berbeda dari sebelumnya.
Biasanya aku akan sarapan dengan wajah datar. Tetapi hari ini berbeda karena Allan.
Iya. Ini karena Allan yang telah menjadi temanku sejak dua hari yang lalu. Sejak kemarin, aku sesekali menampar diriku dan berharap jika ini bukan mimpi dan syukurlah, ternyata kejadian kemarin benar-benar bukan mimpi. Aku terlalu takut jika kejadian tersebut hanyalah mimpiku yang terlalu dalam kugali. Aku memang sangat berlebihan. Tetapi, bukankah wajar jika aku bersikap seperti ini karena sejak dulu aku tidak pernah mempunyai teman?
Selesai sarapan, aku mengambil botol minumku di atas meja. Aku sudah tidak punya alasan untuk membeli air mineral lagi di mesin penjual otomatis karena aku tidak perlu mengulur waktu lagi untuk menghindari teman sekelasku.
Aku memiliki Allan sekarang.
***
Aku membuka pintu kelas. Seperti biasa, yang baru datang sepagi ini hanya Prian, Ryan, dan Rifky. Kulihat, Rifky sedang menulis sesuatu di bukunya. Kurasa itu adalah PR fisika yang diberikan hari sabtu kemarin.
Fisika memang sulit. Namun, aku masih bisa mengerjakannya walaupun perlu dipaksakan banyak, tidak sedikit. Aku sadar jika berhitung bukanlah bakatku. Itu adalah bakat milik Inez, Rifky, Haikal, dan Allan. Sulit dipercaya.
Aku meletakkan ranselku di bangkuku di meja paling depan seperti biasa. Aku tahu jika Allan akan datang 10 menit sebelum bel berbunyi. Aku bahkan sampai hafal kapan ia datang, apa merek kameranya, dan bahkan aku tahu jika Allan takut dengan hantu. Ada-ada saja dia itu.
Laki-laki takut hantu itu jarang. Karena itu, laki-laki seperti Allan harus dilestarikan. Jika Allan takut dengan hantu, justru aku malah sebaliknya. Aku menyukai sesuatu yang berbau horror. Aku memang aneh.
Allan memang takut dengan hantu, namun ia menyukai kucing dan aku juga menyukainya. Terbukti jika Allan menyukai kucing dari kejadian tempo hari di perpustakaan. Ia rela mencari kucing yang ia namai Kessie sampai ke perpustakaan.
Suara pintu terbuka menyadarkanku dari lamunan. Allan. Kulihat jam di handphoneku. 06.20. Seperti biasa. Allan meletakkan tasnya di kursi sampingku.
Sekolah tetap menjalani KBM seperti biasa. Biasanya aku akan hanya diam dan mendengarkan saat guru menjelaskan dan sekarang pun juga sama. Namun, perasaanku berbeda. Perasaan ini mungkin sama seperti saat kita menemukan sesuatu yang berharga bagi kita.
Aku tidak bisa berhenti tersenyum sejak kemarin. Jika aku terus tersenyum di depan umum seperti ini, aku mungkin akan dikira gila.
"Lu kenapa senyum-senyum? Gila lu?" Suara Allan seketika menghancurkan lamunanku. Sudah kuduga jika aku akan dikira gila. Bahkan oleh Allan sendiri.
"Aku nggak gila." Jawabku tiga kata.
"Lu pasti ngebayangin hal yang nggak-nggak."Aku menatap Allan kesal. "Aku ngebayangin yang nggak-nggak pun juga nggak menguntungkan buatmu."
Allan tertawa. "Baper amat sih lu. Biasa aja kali."
Tuhan... Senyum Allan memang mampu membuatku melupakan semua amarahku. Senyum yang mampu membuatku ikut tersenyum. Sayangnya, aku tidak menyadari tatapan benci dari orang-orang yang melihatku tersenyum dengan Allan.
***
Pulang sekolah, Allan mengatakan padaku jika ia harus ekskul. Baru beberapa minggu bersekolah, dia sudah sangat sibuk. Beda denganku yang bertahun-tahun segera pulang setelah bel berbunyi.
Allan berhigh five denganku sebagai salam perpisahan dan itu kedua kalinya aku merasa sangat dekat dengan seseorang, setelah ibu.
Aku menatap lapangan dari lantai dua dan melihat Allan sedang bersama Rifky dan Reza, teman sekelasku. Rifky dan Reza juga anggota ekskul fotografi.
Tiba-tiba sebuah tangan memaksaku untuk berbalik badan dan yang kulihat di depan mataku sangat tidak mengenakkan. Mereka lagi dengan tatapan benci--Namira bersama Shafina, Siska, Yolanda, Aurel, dan Cucu.
Yang menarik pergelangan tanganku adalah Namira dan ia mencengkramnya sangat erat. Apa lagi mau mereka?
"Atas dasar apa lo deketin Allan?!" Suara Aurel terdengar dari belakang Namira.
"Bukan urusan kalian." Jawabku tiga kata.
"LO BAKAL NGEBUNUH ALLAN! LO HARUS TAU!"
Suara Yolanda begitu memekakkan telinga dan juga... menikam hatiku seketika.
"Apa hak kalian bisa bicara begitu?""Lo itu pembunuh!! Lo mesti sadar!"
Kali ini suara Cucu yang memekakkan telinga dan tak disangka, seseorang menarik rambutku dari belakang. Entah siapa. Kepalaku sakit untuk memikirkannya."Perlu gue ulangin? Lo bakal bunuh Allan." Shafina berbisik di telinga kiriku.
Seseorang yang menarik rambutku langsung menjatuhkanku dan semua yang berada di sana tertawa.
"You are loser."
Satu kalimat keluar dari mulut Namira. Mengapa di saat seperti ini, tidak ada orang satu pun yang lewat? Aku sudah biasa diperlakukan seperti ini. Sangat biasa. Namun rasanya tetap saja menyakitkan dan yang paling penting, menahan air mata agar tidak terjatuh.
"Yah yah guys, dia mau nangis masa'?" Siska menatapku dan yang lainnya tertawa.
"Si Allan mah emang kelewat bego. Loser kayak gini mau aja ditemenin." Namira melanjutkan dan yang lainnya tertawa kembali.
"Bentar lagi Allan juga bakal ninggalin dia. Allan nggak sebego itu kok. Tapi dia emang rada sih. Mau aja nemenin itu Dewa Kematian." Aurel melanjutkan.
Sekarang aku marah saat mereka semua mengatakan Allan -bego. Aku bangkit dan mereka semua menatapku hina.
"Kalian bebas ngehina aku. Tapi nggak dengan Allan!"
Awalnya suasana begitu hening dan berubah menjadi tertawaan.
Yolanda memegang kepalaku selama lima detik dan ia menoyor kepalaku. Semuanya tertawa, kecuali aku."Lucu banget lo! Lo ngebela Allan? Lo positif gila rupanya."
Namira menahan Yolanda dengan tangannya. Apalagi yang akan mereka katakan?
"Lo sama Allan sama-sama bego."
Satu kalimat yang membuat kemarahanku meledak. Aku... tidak bisa menahannya lagi.
Aku menarik paksa perban yang terlilit di mata kiriku dan menundukkan kepalaku. Suasana yang awalnya tertawaan berubah menjadi hening.
"Tarik ucapan kalian!" Ucapku penuh penekanan.
Hening. Aku menegakkan kepalaku dan menatap pot bunga yang ada di depanku. Sepuluh detik kemudian, bunga itu layu.
"TARIK UCAPAN KALIAN!!"
"Lo nggak akan bisa bunuh kita! Di sini ada CCTV yang bakal ngerekam semuanya!" Sambar Cucu. Aku tersenyum.
"Aku nggak akan pernah tertangkap oleh polisi karena rekaman CCTV nggak akan pernah menunjukkan aksi pembunuhan."
Tidak ada yang berani bersuara saat ini.
To Be Continued~
YOU ARE READING
Death Angel
Teen Fiction"Aku hanyalah orang biasa! Aku bukan dewa kematian!" Alda harus menanggung cap yang di berikan teman-temannya sebagai 'Dewa Kematian'. Sebabnya, makhluk hidup yang di tatap oleh Alda selama 10 detik akan meninggal mendadak tanpa sebab. "MENJAUHLAH!"...