#18 Luka

130 14 6
                                    

Aku tersenyum sambil menghapus air mataku.

"Iya, Da. Maafin gue dan maafin juga kelakuan Yolan sama yang lain ke lu. Gue tahu banget kalo mereka udah kelewatan, tapi gue bisa apa? Gue gak didengerin juga sama mereka." Cahya yang bersuara sekarang.

"Iya, Da. Gue juga minta maaf." Inez, Septi, Laura, dan Ocha juga bergantian untuk minta maaf. Aku mengangguk dan tersenyum pada mereka.

"Aku juga... minta maaf karena aku selalu nutup diri sama kalian. Makasih banyak... kalian mau ngertiin aku." Air mataku lagi-lagi tumpah. Kami bertujuh pun berpelukan dan tertawa bersama.

"Jangan nangis dong, Da. Cengeng banget sih jadi cewek. Cewek itu tuh mesti strong!" Septi menyemangatiku.

"Eh, gue laper nih. Jajan dulu yuk." Sahut Cahya dan kami semua tertawa.

"Makan mulu lu, Cah!" Gerutu Laura.

"Ya elah, gue laper, Lau. Jahat banget lu."

Aku tersenyum. "Ayo, Cahya. Kita jajan." ajakku.

Di saat Allan meninggalkanku demi sebuah masalah, kalian datang seperti malaikat yang membantuku keluar dari kungkungan yang dinamakan kesepian ini. Aku berharap, ini adalah awal yang menarikku keluar dan ini bukanlah akhir yang akan semakin memerosokkanku semakin ke dalam jurang yang curam.

Thank you for being my bestfriend, you are.

***

Aku membuka pintu rumah sambil membawa cireng. Makanan ini masih panas meskipun aku sudah membiarkannya selama di perjalanan.

Baru saja membuka pintu, Bi Minah sudah berada di depan pintu yang ku buka dan wajahnya terlihat sangat panik.

"No-Nona, Tuan..." Bi Minah langsung menarikku masuk ke dalam rumah tanpa menutup pintu.

"Ayah kenapa, Bi?!" Tanyaku panik.

"--Tuan... ditangkap polisi."

Cireng yang kubawa langsung jatuh ke lantai.

A... apa-apaan ini? Aku baru saja menemukan secercah kebahagiaanku. Tetapi, mengapa? Apa... salahku lagi kali ini, Ya Tuhan???

"AKU NGGAK MAU BERCANDA SEKARANG, BI! PASTI INI... bohong kan...."
Amarahku yang tadinya memuncak semakin melemah. Air mataku kembali menetes dan mengalir semakin deras.

Aku langsung berlari menuju ruang keluarga dan menyalakan TV. Kutekan sembarang tombol remote untuk mencari channel berita.

"Rasha Erdana, pemilik Perusahaan Erdana telah ditangkap dengan tuduhan penggelapan dan pencucian uang terhadap Perusahaan Adhitama. Saat ini, pelaku masih diinterogasi oleh kepolisian terkait dengan tuduhan tersebut."

Mataku terbelalak tidak percaya melihat layar plasma di depanku. Itu... benar-benar ayah. Ayah benar-benar... ditangkap? Rasanya punggung ini dihantam oleh beban 1 ton. Tubuhku langsung terjatuh di lantai, melihat layar TV di depanku.

Ayah keluar dari kantor kepolisian dengan puluhan wartawan mengerubunginya. Ayah hanya diam melewati kerubungan wartawan tersebut. Tak lama, berita pun berganti menjadi berita pembunuhan.

Aku semakin terisak setelah melihat dan mendengarnya dengan mata dan telingaku sendiri. Bi Minah mengusap punggungku pelan.

"Nona pasti bisa melewati semuanya. Bi Minah, masih di sini." Hibur Bi Minah. Tetapi itu sama sekali tidak membantu. Tiba-tiba ucapan Allan kemarin terlintas di pikiranku.

"Syukuri apa yang lo punya sebelum lo ngerasain apa yang disebut dengan kehilangan."

"Gue yakin kalo lu udah belajar dari kematian nyokap lu. Tapi kenapa lu gak ngambil hikmahnya buat bokap lu, Al? Lu mau nyesel yang kedua kalinya gara-gara lu gak mensyukuri kehadiran bokap lu?"

Air mataku semakin turun begitu deras.
Maafkan aku, Allan.... Aku... memang begitu bodoh!

"Ayah... pasti kembali, Bi. Meskipun aku harus menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau... bertahun-tahun seperti yang ayah biasa lakukan. Meninggalkanku... entah ke mana. Setidaknya, kali ini... ayah nggak keluar kota atau keluar negeri. Ayah... masih di sini...." Aku semakin terisak sampai aku kesulitan mengambil nafas.

Aku... memang tidak pandai berbohong. Setega apapun perbuatan ayah padaku, aku menyayanginya. Aku rela marah pada Allan hanya untuk membela ayah.

Aku memang bodoh dan aku mengakui itu.

***

Pagi ini memang sangat seperti biasanya. Hanya terdiri dari beberapa piring makanan di meja makan dan piring dan sendokku sendiri. Namun, perasaan ini berbeda. Mungkin kemarin-kemarin aku bisa sarapan dengan bahagia, tetapi tidak dengan sekarang.

Bagaimana ayah? Apa dia sudah makan? Apa tidurnya cukup?

Biasanya aku tidak akan peduli tentang pertanyaan di atas. Namun sekarang, aku khawatir. Sangat.

"Makanlah, Nona. Nona bisa sakit jika hanya menatap makanan seperti itu tanpa memakannya." Suara Bi Minah kembali menyadarkanku ke dunia nyata. Aku menyuap makananku tidak nafsu ke mulutku.

***

Di kelas, kulihat Allan duduk dengan Yoga. Kelihatannya ia benar-benar akan menjauhiku. Entahlah sampai kapan.

"Eh, guys, keliatannya ada orang nyasar yang gak tahu malu masuk ke sini deh?" Celetuk Yolanda. Dia menyindirku?

"Dia bukan orang kali, Yol. Dia kan Dewa Kematian." Balas Namira dengan tertawaan. Mereka menyindirku, sangat jelas.

"Dia gak punya TV kali di rumah, guys. Buktinya dia santai aja tuh masuk ke sini." Kali ini suara Shafina.

"Padahal bokapnya tinggal dimasukin aja ke penjara. Kelamaan mah kalo nungguin sidang. " Suara Cucu yang begitu cempreng begitu merusak pendengaranku.

"Pantesan ya dia sama Allan sekarang jauh-jauhan, guys. Ternyata gara-gara masalah gitu. Malu gue mah kalo jadi dia sekarang. Kalo perlu, gue gak bakal masuk sekolah hari ini." Sindiran Namira semakin mengarah ke keterlaluan. Aku tetap duduk di bangkuku paling depan.

"Allan!" Panggil Namira. Entahlah Allan menggubris panggilan itu atau tidak.

"Lo sekarang nyesel kan udah milih Dewa Kematian sebagai temen lo? Gue sekarang gak nyesel udah bilangin lu bego di depan dia."

Ucapan Namira begitu menusukku. Aku bangkit dan menatap Namira.

"Aku udah bilangin ke kalian! Kalian boleh ngehina aku apapun! Tapi ENGGAK buat Allan!!"

Suasana kelas seketika hening. Tetapi, tertawaan hanya menjadi jawaban dari keenam orang itu. Sisanya hanya berani diam.

"Mantan sahabat ngebela mantan sahabatnya? Lucu banget deh lo!" Yolanda menjawab amarahku.

"Gue kira lo berdua udah musuhan, ternyata lo doang yang masih nganggep Allan sahabat lo. Ini adegan terdramatis yang pernah gue tonton." Sahut Aurel dengan tertawaan.

"Woi, Dewa Kematian! Lu gak sekalian aja masuk penjara bareng bokap lu? Biar dunia aman tanpa lu." Siska kali ini yang bersuara, disusul tertawaan yang lain. Mereka sudah terlalu keterlaluan.

Kali ini aku beradu pandang dengan Yolanda. "Lo ngelihatin apaan, hah?! Udah berani lo seka..."

BRAK!
Suara gebrakan meja mengagetkan kami semua.

Nathan.

"Eh, guys, gue rasa lu semua udah keterlaluan tau gak?!" Marah Nathan. Kami semua terdiam.

To Be Continued~

Death AngelWhere stories live. Discover now