#4 Bukan teman

254 17 0
                                    

"Buset, Yol. Woles dikit napa." Siska menenangkan Yolanda yang barusan menamparku.

"Dia ngehina kita, woi! Lu pada gak nyadar apa?!" Kurasa, kemarahan Yolanda sudah sampai batasnya.

Aku membuka mulutku untuk bicara, "Udah selesai? Aku mau pulang. Mendingan kalian pulang deh daripada jadi biduan."

Kutahan tangan Yolanda yang hendak menamparku lagi. Aku tak akan terkena tamparan untuk yang ke sekian kalinya lagi.

"Lu yang harusnya ngaca! Lu tuh monster! Lu iblis pembunuh!!"

Aku terdiam beberapa saat. Sudah biasa sekali aku di hina seperti itu, sampai rasanya sudah tidak terasa sakit lagi. Apakah aku benar-benar monster? Apakah aku benar-benar iblis pembunuh?

"Aku bukan pembunuh. Buktinya aja aku belum pernah masuk penjara." Jawabku.

Tak disangka, Namira mendorongku hingga terjatuh. Apalagi kali ini mau mereka?

"Lu emang secepetnya mesti pergi dari sini! Pergi dari sini!!" Bentak Cucu dengan wajah penuh amarah. Aku bangkit dan menatap mereka sedikit kesal.

"Daritadi aku juga mau pulang. Kalian aja yang nahan-nahan aku daritadi." Aku membuka pintu kelas dan berhasil keluar dari kelas yang masih di tempati oleh enam orang menyebalkan itu.

Di lorong, aku melihat Allan bersama Kak Arief. Kakak kelas dari 12 IPA 6. Dari yang kutahu, Kak Arief juga salah satu anggota ekskul fotografi sekaligus mantan ketua OSIS. Tidak asing jika Kak Arief akrab dengan Allan.

Kulewati mereka dan langsung melesat pergi menuju gerbang. Namun lagi-lagi, seseorang menahan langkah kakiku dengan meneriakkan namaku. Suara lelaki dan aku sangat mengenali suara ini.

Dia memang Allan.

Kutatap Allan yang sudah berada di depanku. "Ada apa?" Tanyaku dingin.

Aku tahu jika Allan bingung ingin memulai darimana. Jadi, memang sebaiknya aku yang mengatakannya.

"Minta maaf? Udah basi. Ternyata... kita emang nggak bisa berteman, Allan. Berteman... cuma menyakitiku." Ucapku dengan senyum getir.

Allan terdiam setelah mendengar ucapanku. Tanpa sadar, air mataku telah menggenang di pelupuk mataku. Mengapa air mata ini harus turun di saat yang tidak tepat?

"Maaf, Allan... mulai sekarang, kita nggak perlu kenal deket. Kamu bisa perlakuin aku kayak yang lainnya. Nyuekin atau nyiram aku, pilih aja. Nggak perlu juga musingin kalau kita ini temen sebangku. Temen sebangku nggak pernah lebih dari temen sebangku. Diinget."

Aku buru-buru pergi karena aku masih punya malu untuk tidak menangis di depan Allan untuk yang kedua kalinya dan syukurlah Allan tidak mengejarku hingga aku masuk ke mobil.

Air mata ini langsung turun begitu saja. Aku tidak mengerti, mengapa aku menangis? Apakah ini karena rasa kesepian yang tidak dapat kutanggung? Apakah aku benar-benar akan sendirian seumur hidupku?

Tuhan.
Tolong aku.
Lepaskan aku dari belenggu ini.
Seberapa kuatkah aku untuk menanggung semua ini, Tuhan?

***

Di kamar. Aku kembali seperti mayat hidup. Hanya menatap kosong ke arah depan hingga aku tak sadar jika ayah telah berada di sampingku.

"Ada apa? Teman-temanmu menjauhuimu lagi? Bukankah itu sudah biasa untukmu?" Ayah mengatakan sesuatu yang terdengar begitu tajam. Apakah... yang ada di depanku adalah ayahku?

Aku tahu ayah tidak menyukai ibu, karena itu ayah juga tidak menyukaiku meskipun aku adalah anaknya. Ayah mengurusku hanya sekedar formalitas sebagai ayah. Selebihnya, ayah tidak menyayangiku. Ayah tidak menyukaiku.

"Aku tahu. Tidak perlu menggangguku." Jawabku datar.

"Sadarlah. Tidak akan ada yang mau berteman denganmu. Semuanya sudah selesai."

Aku membelalakkan mataku dan menatap tajam ke arah ayah. "Ini belum selesai! Aku akan tunjukkan pada Ibu jika aku tidak akan jatuh!"

Ayah menatapku datar seakan meremehkanku. "Ibumu sudah mati. Kamu tak akan bisa menunjukkan apapun padanya."

Aku menatap ayah tidak percaya. Apa setega inikah ayahku? Mengatakan ibu sudah mati di depanku? Air mata ini langsung mengalir di kedua pipiku. Ayah berjalan dan membuka pintu kamarku.

"Kamu sendiri yang membunuh ibumu, Alda. Ingat itu." Ayah menutup pintu kamarku.

Satu kalimat yang benar-benar mampu mengiris seluruh tubuhku. Begitu perih.
Air mata yang tadinya sudah mengalir, semakin mengalir begitu deras.

Kenyataan terlalu kejam hingga aku tak mampu berkata-kata lagi. Maafkan aku, Ibu.... Aku menyayangimu lebih dari siapapun di dunia ini. Jangan benci aku, aku... hanya punya Ibu di hatiku....

***

Aku tidak bisa menyembunyikan mata sembabku ke sekolah. Bi Minah yang sudah biasa jika aku datang dengan mata sembab pun sudah tidak bertanya apa-apa lagi. Aku hanya makan seadanya dan berangkat ke sekolah seperti biasa.

***

Kuambil air mineralku dari mesin penjual otomatis. Kulihat Septi, Laura, dan Inez, teman sekelasku sedang berjalan bersama menuju toilet.

Aku bingung. Mengapa orang jika ingin ke toilet harus bersama-sama? Apakah mereka terlalu takut untuk berjalan sendirian? Lalu, bagaimana denganku yang selalu sendirian?

Aku segera berjalan cepat menuju kelas. Membuang waktu jika aku hanya membicarakan masalah sosial. Aku memang tak perlu teman dan semuanya sudah selesai. Sama persis seperti yang dikatakan ayah kemarin.

Tiba-tiba tangan seseorang menggapai lenganku. Siapa orang yang berani menyentuhku? Sudah dijamin, dia tidak tahu-menahu tentang kemampuanku yang mengerikan.

Allan Naufal Adhitama. Baik, sekarang apalagi?

Aku mengerutkan dahiku bingung. "Ada apa?"

Allan melepas genggamannya dan menatapku. "Bilang sekali lagi kalo lu gak mau berteman sama gue."

Aku menaikkan alisku sebelah. Apa motifnya aku harus menurut padanya?
"Memangnya kenapa?"

"Bilang sekali lagi kalo lu gak mau berteman lagi sama gue."

Aku menatap Allan. Mengapa pagi-pagi begini, aku harus berdebat seperti ini?
"Berteman lagi? Bukannya kita dari awal memang bukan teman? Kenapa kamu bilang berteman lagi?"

Allan menatapku. Kami saling menatap selama beberapa saat. Namun aku segera membuang muka, "Aku nggak mau berteman denganmu. Puas?"

Allan menaikkan sebelah alisnya dan... tersenyum. Di saat seperti ini, bisa-bisanya dia tersenyum? Aku shock melihatnya.

"Ini sebabnya... lu punya tatapan itu, Alda."

Angin berhembus dengan pelan. Mengapa tiba-tiba angin berhembus setelah Allan berkata begitu? Dan apa maksud perkataan Allan? Tatapanku?

"Hah?"

"Tatapan menyedihkan itu, cuma lo yang punya dan gue akhirnya tahu sebab dari tatapan itu." Allan masih tersenyum.

"Lo itu... selalu membohongi diri lo sendiri. Lo pura-pura gak perlu teman padahal lo sendiri udah kayak mayat hidup. Lo tuh sok kuat padahal gue tendang dikit juga bakal langsung jatoh."

Aku terkejut mendengar semua kata demi kata yang keluar dari mulut Allan. Semuanya... benar. Apa-apaan ini?!

To be continued~

Death AngelWhere stories live. Discover now