Aku terdiam tidak percaya.
Saat ini, keenam musuh bebuyutanku selama ini selalu menggangguku. Selalu membullyku. Selalu menghinaku. Pokoknya mereka selalu punya cara untuk menggangguku.
Bayangan mereka berenam yang telah membullyku selama ini terlintas dalam bayanganku. Di saat mereka menghinaku, mengacuhkanku, menyiramku, mendorongku, menamparku, menjambakku, menghina Allan, semuanya. Membuatku menunduk kemudian menatap mereka.
Bisakah aku... memaafkan mereka? Semudah mereka meminta maaf padaku? Semudah itukah aku akan melupakan semua yang mereka lakukan padaku?
Apakah aku mempunyai hati seperti malaikat? Tanpa sadar, air mataku kembali menetes."Maaf...." Ucapku sambil menutupi wajahku dengan kedua tangan.
"Yah, Da. Maafin kita, Da. Kita... emang salah banget selama ini." Suara Shafina kali ini sambil menggenggam lenganku.
"Kita emang keterlaluan banget, Da. Gue pikir... kejahatan kita kali ini pasti emang nggak mungkin bisa dimaafin gitu aja." Kata Siska dengan suara gemetar.
Cukup. Aku memang punya hati seperti malaikat.
Aku mengangguk sambil mengusap air mataku. Kulihat mereka tersenyum lega.
"Makasih banyak ya, Da. Kita bisa mulai segalanya dari awal. Kita bisa berteman sekarang. Jangan sungkan kalo lu mau minta bantuan sama kita." Ucap Namira. Tanpa sadar, aku tersenyum. Bahagia.
"Makasih banyak buat kalian. Aku... nggak tahu mesti gimana kalo masalah ini masih nggak selesai juga." Ucapku sambil tersenyum.
"Mulai sekarang kita bakal saling membantu di setiap kesusahan. Selalu berbahagia bersama di setiap suka. Selalu menangis bersama di setiap duka dan selalu sama-sama melangkah ke depan. Nggak boleh ada yang duluan dan nggak boleh ada yang ketinggalan di belakang." Nathan mengucap ikrar yang sangat ingin kudengar.
Aku menangis. Menangis bahagia. Kami semua berpelukan dan tertawa bersama.
Pertama kalinya sejak ibu meninggal, sebuah kungkungan yang dinamakan kesepian ini menghilang tak berbekas. Itu sejak Allan datang. Ia membantuku bangkit dan membantuku menemukan jati diriku.
Kedua kalinya sejak ibu meninggal, sebuah kungkungan yang dinamakan kesepian ini menghilang tak berbekas. Itu sejak Nathan, Ocha, Cahya, Septi, Laura, dan Inez datang dan membantuku berdiri. Mereka membantuku mengeluarkan semua apa yang kurasakan selama ini.
Dan ini yang ketiga kalinya, sebuah kungkungan yang dinamakan kesepian ini menghilang tak berbekas. Itu sejak hari ini, Namira, Cucu, Siska, Shafina, Aurel, dan Yolanda menerima diriku apa adanya. Mereka membantuku melepas semua rasa yang masih mengganjal di hatiku.
Kini, semuanya hilang. Semuanya sirna. Ditelan oleh kebahagiaan dan tawa kami. Kuharap, semuanya akan berjalan sesuai harapanku yang lalu. Harapan yang dulu sempat kukubur sedalam-dalamnya.
Aku janji, aku tidak akan menyia-nyiakan kalian.
***
Sejak ayah ditangkap polisi, aku menjadi sering menyalakan TV karena aku ingin mengetahui perkembangan kasus yang menahan ayah.
Kali ini dengan cilok rebus, aku menunggu dengan TV menyala. Aku akan pastikan jika hari ini cilok rebusku tidak akan bernasib sama seperti seblakku kemarin. Teronggok dingin dan terbuang.
Siaran berita telah menampilkan lagu pembuka. Aku bersiap-siap. Menunggu, apalagi berita yang akan disampaikan hari ini. Berjaga-jaga jika ayah menyampaikan pesannya seperti kemarin di TV.
YOU ARE READING
Death Angel
Novela Juvenil"Aku hanyalah orang biasa! Aku bukan dewa kematian!" Alda harus menanggung cap yang di berikan teman-temannya sebagai 'Dewa Kematian'. Sebabnya, makhluk hidup yang di tatap oleh Alda selama 10 detik akan meninggal mendadak tanpa sebab. "MENJAUHLAH!"...