#13 Mall [3]

151 14 0
                                    

"Tenang aja, Da. Meskipun harga baju ini milyaran atau trilliunan, gue gak akan langsung jatuh miskin." Kak Aurlina menenangkanku, "Kita langsung ke tempat selanjutnya yuk!"

Aku langsung ditarik kembali oleh Kak Aurlina dengan Allan yang hanya mengikuti kami daritadi.

"Tunggu, Kak! Jangan cepet-cepet!" Seruku dengan napas yang terengah-engah, "Aku bisa jalan sendiri tanpa ditarik-tarik."

"Hehe... sori, Da. Gue takut lu ngilang, makanya gue narik-narik lu." Cengir Kak Aurlina. Akhirnya kami bertiga berjalan sebaris. Kak Aurlina di depan, aku di tengah, dan Allan di belakang.

Karena aku merasa mengabaikan Allan selama di mall, aku memilih untuk berjalan bersama Allan di sampingnya.

"Ngapain lu di samping gue?" Tanya Allan begitu aku berjalan di sampingnya.

"Kamu gak suka? Ya udah, aku pindah." Aku bersiap untuk pergi, namun tangan Allan menahanku.

"Lu di sini aja. Baper amat sih."

Aku tersenyum dan berjalan di sampingnya. "Allan, kenapa kamu nggak beli apa-apa? Kenapa kamu cuma ngeliatin doang?"

"Kan tujuan gue ke sini tuh jalan-jalan, bukan belanja." Jawab Allan.

Kami terdiam selama beberapa saat, sampai mataku menemukan sesuatu.

"Allaaaan!! Itu bonekaaa!!" Seruku senang. Aku langsung menghampiri toko yang menjual boneka tersebut dan memegang boneka yang kulihat tadi. Boneka panda yang sedang memakan daun. Imut sekali.

"Kamu lucu bangeet!" Aku mencubiti boneka tersebut karena gemas.

Allan menghampiriku yang sedang mencubiti boneka. "Busyet, Al. Lo ngeliat baju tadi nggak seexcited ini daripada pas lo ngeliat nih panda."

"Habis lucu banget, Allan. Mau banget aku bawa pulang."

Sang pegawai datang menawarkan bantuan. Aku langsung menanyakan harga pada sang pegawai dan langsung shock begitu mendengar harganya. Aku melepaskan cubitanku dari boneka itu.

Allan menatapku. "Ekspresi muka lo langsung berubah drastis setelah tau harganya."

Aku hanya diam menahan sedih.

"Udahlah, Al. Lo bisa ke sini lagi kapan-kapan setelah bawa duit."
Aku menggeleng.

"Sebenernya, hari ini aku bawa uang yang lebih dari cukup buat beli itu boneka. Cuma..." Aku memutus omonganku.

"Cuma?"

"...keinginan sama kebutuhan itu beda, Allan. Aku harus bisa bedain itu."

Allan terdiam, kemudian tersenyum. "Gue bangga sama lu, Al."

Aku menoleh ke arah Allan tanpa bicara.

"Di saat cewek lain ngabisin duitnya cuma buat... apalah, ambillah contoh Kakak gue yang selalu beli ini-itu. Lo malah berusaha nahan diri buat nggak beli macem-macem."

Aku terhenyak mendengar semua omongan yang meluncur keluar dari mulut Allan. Sekaligus malu.

"Kamu terlalu lebay, Allan. Ini cuma masalah uang." Timpalku menahan malu.

"Itu hanya pendapat gue, Al. Selebihnya ya... lo sendiri yang nentuin."

Kami berdua terdiam setelah Allan bicara, sampai tiba-tiba Kak Aurlina menghampiri kami.

"Busyet dah! Jalan jauh-jauhan! Tolong hargai jomblo di sini dong!" Kak Aurlina menjauhkanku dengan Allan menggunakan tangannya.

"Ngapain juga gue ngehargain jomblo? Gue aja juga jomblo." Sahut Allan.

"Lo calon taken, bloon. Tapi calonnya jangan kelamaan ya, Tam? Tar Alda bosen nunggu lu gak peka-peka."

Allan langsung melotot menyeramkan dan Kak Aurlina langsung kabur.

"Maafin dia ya, Al. Dia emang rada gesrek, tapi sebenernya dia jenius kok."

"Kak Aurlina jenius?"
"Dia penerima beasiswa juara satu, empat semester berturut-turut."

Aku kagum pada Kak Aurlina. Mengapa aku tidak pernah mendengar hal itu saat upacara? Atau aku saja yang tidak mendengarkan karena kepalaku selalu pusing saat upacara?

"Berarti aku bisa minta di ajarin dong sama Kak Aurlina?"
"Dia anak IPS, Al. Inget."
"Oh iya, ya." aku kecewa.

"Gue bisa ngajarin lu, Al. Lu gak perlu sampe minta si Vanda segala."

Satu kalimat yang membuatku langsung menoleh ke arah Allan. "Kamu mau ngajarin aku?"

"Tergantung sih pelajarannya apa. Tapi kalo pkn, fisika, kimia, biologi, bahasa inggris, matematika ipa, ekonomi, matematika dasar, sama sejarah, maaf aja, gue nggak bisa bantu."

Aku memukul bahu Allan. "Itu mah kamu gak bisa semua!"

"Hei, setidaknya gue masih nguasain prakarya, agama, bahasa indonesia, sama olahraga ya!" bela Allan untuk dirinya.

"Itu mah aku juga masih lumayan bisa! Yah... kecuali prakarya sama olahraga sih." Kataku.

"Ternyata lo bukan ahli komputer ye? Prakarya aja gak bisa."

"Nggak perlu menghinaku deh! Aku masih bisa make Ms. Word kok, Ms. Excel, Ms. Powerpoint, paint, sama ngeprint. Aku nggak segaptek pikiranmu."

"Lo cuma bisa ngerjain tugas sekolah doang."

"Yang penting aku nggak ngerepotin orang lain kalo ada tugas atau apapun."

Aku melihat Kak Aurlina yang sedang berhenti di salah satu toko baju. Berapa potong baju lagi yang akan dibeli Kak Aurlina?

"Ayo, Allan. Kita samperin Kak Aurlina." Aku menarik tangan Allan menuju Kak Aurlina.

Kami telah selesai berbelanja dan akhirnya kami bisa pulang ke rumah karena aku yang minta untuk pulang jam tiga.

"Makasih banyak ya buat hari ini. Semoga kalian nggak kapok untuk jalan-jalan sama aku lagi." Aku memulai salam perpisahan.

"Selaw aja, Da. Nanti kita jalan-jalan ke tempat yang rada jauhan. Jangan cuma ke seberang sekolah doang." Balas Kak Aurlina.

Aku mengangguk semangat. "Iya, Kak. Kalian hati-hati." Aku melambaikan tanganku. Allan dan Kak Aurlina membalas lambaian tanganku sambil tersenyum. Aku segera melangkahkan kakiku menuju jemputanku yang sudah menungguku di depan sekolah.

***

Di rumah, aku sedang membuka buku kimiaku karena PR kimia yang tiada hentinya mengalir bagaikan Sungai Amazon. Penuh dengan binatang buas dan mematikan.

Aku kembali memikirkan perjalanan pertamaku ke dunia luar. Ternyata dunia luar semenyenangkan itu? Seperti itukah kehidupan teman-temanku? Begitu terang dan penuh gemerlap.

Aku langsung teringat boneka panda yang kutemukan tadi. Sekarang aku agak menyesal. Mengapa tadi aku tidak membelinya saja? Aku punya uang yang tidak sedikit di tabunganku. Hanya untuk boneka yang harganya 350.000, itu hanya secuil dari tabunganku yang ku kumpulkan sejak TK hingga sekarang. Sejak TK, aku memang tidak pernah jajan karena aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan masakan Bi Minah yang telah menemaniku sejak bayi.

Kfc adalah makanan asing pertama yang masuk ke tubuhku. Makanan yang selama ini kumakan dari bayi hingga kfc tadi benar-benar hanya masakan Bi Minah atau masakan rumah yang dibuat ibu.

Aku sangat merindukan masakan ibu. Terutama ibu. Rasa kfc pun tidak ada apa-apanya dengan masakan ibu yang sudah enam tahun lamanya tidak kumakan.

Aku menangis karena kembali mengingat memori itu. Kenangan terindah yang terpahit.

***

To Be Continued~

Death AngelWhere stories live. Discover now