#14 A... apa?

164 14 7
                                    

Hujan.

Baru saja kakiku melangkah keluar kelas, wangi petrichor serasa menusuk hidung. Aku tidak suka wangi petrichor di saat semua orang menyukainya. Aku lebih menyukai wangi bensin dan kalian akan menganggapku tidak normal.

"Heh! Dewa Kematian! Sini lu!"

Suara Yolanda sangat kontras di telingaku. Aku tahu siapa yang Yolanda maksud sebagai Dewa Kematian. Tetapi, namaku Alda dan bukan Dewa Kematian. Aku tidak mempedulikan panggilan hinaan yang mereka buat untukku dan langsung menuruni tangga menuju jemputanku.

Aku tiba di lorong depan musholla sampai lenganku di cengkram erat oleh Namira. Kali ini ada apalagi?

"Lo budeg atau gak punya kuping?!"

Baru juga menoleh sudah langsung kena semprot. Aku mendorong Namira kasar hingga cengkramannya terlepas.

"Aku punya nama! Dan aku nggak mau berurusan sama kalian! Bisa gak sih kalian nggak ganggu-ganggu aku lagi selamanya?! Kalo emang kalian benci sama aku, nggak gangguin bisa kan?! Kayak orang gak ada kerjaan aja!" Aku langsung melengang pergi meninggalkan Namira yang masih berdiri di tempatnya.

Akhirnya aku berhasil mengatakannya. Kata-kata yang sangat ingin kuucapkan sejak Namira dan kawan-kawan mulai membullyku.

Bullying adalah kegiatan paling tidak ada kerjaan sejagad raya. Daripada waktu dihabiskan untuk membuat orang sakit hati, lebih baik waktu itu di gunakan untuk hal yang lebih berfaedah.

Di gerbang, aku melihat siluet tubuh laki-laki yang agaknya kukenal. Siapa?
Ia memakai jas kantoran dan sepatu kantoran. Aku semakin menyipitkan mataku dan ternyata...

itu ayah! Untuk apa ayah ke sini?!

Aku langsung menghampiri ayah yang sedang melihat jam dan ayah akhirnya menoleh ke arahku.

"Masuklah ke mobil. Ayah ingin bicara." Ayah langsung pergi setelah mengucapkan kata-kata yang amat membingungkanku.

Aku mengikuti ayah sampai ke mobil. Ayah duduk di kursi supir dan aku duduk di bangku samping supir. Ayah tidak menyalakan mesin mobil. Kurasa kami akan bicara di sini.

"Alda, kita akan pindah ke London."

Aku langsung tersentak kaget begitu ayah mengucapkan kalimat itu. Kalimat mimpi buruk. Meskipun aku dibully di sini, aku tidak akan pindah dan berjauhan dari Allan dan Kak Aurlina!

"Kenapa Ayah selalu memutuskan seenaknya?! Aku tidak mau pindah!" Marahku. Sangat marah.

"Percuma kamu di sini jika temanmu hanya sebuah boneka."

Aku tak dapat membendung air mataku lagi. "Ayah salah besar! Aku punya teman! Manusia!"

Ayah tertawa sinis. "Teman manusia? Itu bukan khayalanmu?"

"Jika kamu memang ingin ke London, pergilah tanpa aku! Aku sudah biasa ditinggal olehmu! Aku sudah biasa sendirian! Aku sudah biasa dihina, dicaci, dan diejek olehmu! Aku tidak akan pergi, seberapapun kamu menyeretku! Yang bisa menyeretku hanya Ibu!"

Katakanlah aku anak durhaka. Namun, apakah orang yang ada di depanku benar-benar ayahku?

Ayah terdiam mendengar kemarahanku dan... ia tertawa? Apa-apaan?!

"Teman manusia ya? Malaikat maut sepertimu?"

"AKU AKAN MENUNJUKKANNYA PADAMU! AKU AKAN MEMBAWA ALLAN DAN KAK AURLINA PADAMU!!" Aku membuka pintu mobil dan pergi begitu saja ke dalam sekolah.

Sekolah masih agak ramai dengan murid SMP yang satu gedung dengan SMA. Aku duduk di lorong TU SMU Yuppentek 4 yang juga satu gedung dengan sekolahku dan menangis dalam diam.

Lebih baik aku tinggal di jalanan daripada harus kembali mencari orang yang mau menerima diriku apa adanya. Aku tidak sanggup untuk terluka yang kedua kalinya. Aku tidak sanggup untuk jatuh kembali ke lubang yang sama.

"Alda, ngapain lu duduk di sini? Lu sakit?"

Suara perempuan. Aku mengenalinya meskipun aku jarang mendengar suara ini.

"Da, gue Nathan. Ayo, bangun dong."

Ternyata benar Nathan. Tak lama, kudengar suara perempuan lain. Kurasa ada empat orang lagi, selain Nathan.

"Eh, jangan-jangan si Alda pingsan! Gimana nih?! Gue nggak akan kuat bopong dia!" Suara Laura.

"Siapa juga yang nyuruh lu bopong, Lau? Paling gue yang nyuruh lu." Suara Ocha.

"Kalo pingsan mah harusnya kebaringlaah! Ini mah malah duduk!" Suara Septi.

"Bawel lu semua! Dipapah aja kalo gak kuat atau bawa tandu aja ke sini. Geceeee!!" Suara Nathan kembali terdengar.

Aku nyaris tertawa mendengar perdebatan mereka. Jika sedang tidak segalau ini, aku pasti sudah tertawa.

"Eh, Alda kenapa?" Suara Cahya yang terdengar kali ini.

"Bawel lu, Cay! Gece bantu yang lain bawa tandu!" Balas Nathan kesal.

"Loh? Emang Alda kenapa? Ngapain ditandu?"

"Lu nanya sekali lagi, gue lelepin lu, Cay!"

Aku menggenggam lengan Nathan sambil menggeleng. "Aku nggak apa-apa, Nat." Ujarku lirih.

Sementara di tempat lain.
Laura, Ocha dan Inez sedang menuju UKS dan berpapasanlah mereka dengan Allan yang sedang minum air mineral di botol.

"Allan! Gece bantuin bawa tandu sini! Si Alda pingsan!" Ucap Ocha buru-buru. Allan yang masih menyimpan airnya di mulut langsung menyemburkannya.

"HAH?! DIA DI DIMANA SEKARANG?!"

"B aja dong, Lan! Kayak pacar lu aja deh yang pingsan!" Omel Inez yang terkena semburan air.

"Gece! Dia di mana!?!?" Allan kelihatannya sudah agak menurunkan kekagetannya.

"Depan TU SMA 4." Jawab Laura. Allan langsung melesat dan meninggalkan mereka yang meminta bantuan untuk membawa tandu, meskipun tandu itu kelihatannya tidak akan berguna.

Di depan TU SMU Yuppentek 4.
Nathan, Cahya, dan Septi membantuku berjalan menuju UKS. Akhirnya kami berpapasan dengan Allan yang sudah penuh keringat.

Aku hanya samar-samar melihat Allan karena air mata masih menghalagi pandanganku. Tetapi, kudengar suara langkah kaki yang mendekat.

"Al, lu kenapa?" Tanya Allan yang terdengar... khawatir? Benarkah? Atau telingaku yang salah karena kebanyakan menangis?

Aku menggeleng. "Aku nggak apa-apa." Balasku lemah.

"Lo jangan kebanyakan nanya dulu deh, Lan. Anak orang udah sekarat masih aja lu tanyain." Omel Nathan.

Mendengar omelan Nathan, Allan langsung memberi jalan. Nathan dan yang lainnya kembali membantuku berjalan dan Allan mengikuti dari belakang.

Sebegitu khawatirnyakah Allan padaku?

Kami sampai di UKS dan seorang anak PMR memberikan segelas teh manis hangat untukku. Aku meminumnya dan berusaha menenangkan diriku.

"Da, nomor telepon orangtua lu berapa? Biar mereka jemput lu di sini." Pinta Nathan yang langsung kubalas dengan gelengan.

"Ayahku... kerja di luar negeri."
"Ibu lu?"
"Ibuku... udah meninggal."

Semuanya terkejut, termasuk Allan yang memang tidak tahu jika ibuku sudah meninggal. Nathan pun minta maaf padaku yang hanya kujawab dengan anggukan.

"Lan, lu naik motor kan? Anterin si Alda gih." Kata Ocha di tengah keheningan.

To Be Continued~

Death AngelWhere stories live. Discover now