SCENE FIFTEEN

1.7K 170 7
                                    

        Enjoy Reading~
~~~

Kemarahan Alice sudah tidak tertahankan setelah mendengar cerita dari Cindy. Ia berjalan mendekati Cindy dan menamparnya dengan keras. "Kau dan keluargamu sangat tidak terhormat! Aku akan memastikan kau mendapat balasannya dan itu harus setimpal!" teriak Alice murka.

       Ia melangkah mundur dan membiarkan pria suruhannya menyiram seluruh air es yang dimilikinya keseluruh tubuh Cindy.

       Setelah selesai, Alice berjalan keluar. Terdengar rintihan Cindy sebelum ia melewati pintu, "To-tolong aku. A-aku benar-benar m-menyesal," lirihnya.

       Alice berbalik menatap Cindy dingin, "Tidak. Kau tidak benar-benar menyesalinya. Aku ingin kau menikmati posisimu sekarang."

       Para pria itu mengikuti Alice meninggalkan Cindy sendirian di gudang. Setelah sedikit menjauh, Alice berkata pada salah satu pria itu, "kau tinggal disini dan perhatikan. Lapor padaku jika ada yang menolongnya. Jika sampai pukul 4 nanti tidak ada yang menolongnya, aku ingin kau yang melakukan. Tapi ingat, jangan sampai dia tahu."

       Pria itu mengangguk tanpa bertanya. Alice tahu, Lucy tidak akan suka jika ia yang membuat Cindy mati.

       Selain pria yang tinggal itu, mereka semua membubarkan diri.

***

Alice menatap rumah Priceton yang kini menjadi tempat tinggal sahabatnya. Hatinya masih diliputi dengan kemarahan. Ia memutuskan untuk menemui Lucy. Bagaimana mungkin Lucy bisa menyimpan rahasia darinya?

       Sampai di depan pintunya, ia disambut oleh seorang pelayan. Sebelum pelayan itu berkata-kata, Alice sudah lebih dulu memotongnya. "Aku ingin bertemu Lucinda Morgan. Dimana dia?"

       "Maaf, anda siapa?" tanya pelayan tersebut.

       Alice tersenyum menatap pelayan itu, "Aku sahabatnya dan aku yakin ia tidak akan marah jika aku menemuinya tanpa kau memberi laporan. Kalau dia memecatmu, kau bisa cari aku."

       Pelayan itu bisa melihat bahwa Alice bukan dari keluarga biasa. Maka ia mengangguk dan menunjukkan dimana Lucy berada. Sampai di depan pintu, Alice memberi gerakan tangan pada pelayan itu untuk meninggalkannya. Tanpa mengetuk, gadis itu membuka pintu dan melihat Lucy sedang berdiri di depan lemari tak jauh dari meja kerja.

       Mendengar suara pintu terbuka, Lucy segera meletakkan berkas tersebut dan menggantinya dengan berkas lain. Ia mengalihkan padangannya ke sisi pintu dan melihat Alice berdiri disana dengan senyum kecilnya. "Hai," ucapnya.

       "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Lucy bingung melihat penampilan gadis itu masih sama dengan saat meninggalkan sekolah.

       Dengan santai, Alice melangkahkan kakinya masuk dan duduk di salah satu sofa sambil menyilangkan kakinya. "Menemuimu, tidak boleh?" jawab Alice santai.

       Lucy berjalan menuju kursi kera ibunya dan duduk disana menatap sikap Alice. "Ada perlu apa menemuiku?" tanyanya. Sesuatu pasti terjadi, jika tidak Alice tidak akan bersikap aneh seperti ini, pikirnya.

       "Aku sudah mengetahui segalanya."

       Perkataan itu sukses membuat Lucy terpaku. Apa yang Alice ketahui? Masa lalunya? Atau hal lain? Melihat sikap Lucy, Alice sudah menduga bahwa ia pasti akan terkejut.

       Suara helaan napas keras keluar dari bibir Alice, "Aku benar-benar mengetahui segalanya Lucy. Sampai kapan kau ingin menyembunyikannya dariku? Kau kenal aku dengan baik."

       

       Alice memang tipe gadis yang tidak mudah menyerah, ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan jawabannya, apapun. Tidak diragukan lagi, cepat atau lambat ia pasti mengetahuinya. "Darimana kau tahu?" tanyanya dingin.

       Dengan acuh Alice menjawab, "Itu tidak penting."

       "Kau sudah mengetahuinya sekarang, lantas apa yang ingin kau lakukan?" Lucy kini menatap Alice tajam.

       Gadis itu tahu, bahwa Lucy kini tengah marah padanya. Ia berhak marah memang, namun bukankah sebagai sahabat Alice berhak tahu?

       "Hentikan ekspresi menjijikan itu," ucap Lucy tajam. Ia benci di tatap dengan wajah kasihan seperti itu. Namun dengan segera Alice membalas, "Ini bukan tatapan kasihan, melainkan kecewa. Aku akui, sebagian dari diriku berteriak kesenangan melihat kau jauh dari kata lemah. Kau yang berhenti berharap menjadi salah satu wanita dalam dongeng bodoh itu dan menunggu seorang pangeran datang menjemputmu.

       Aku sudah lama mengenalmu Lucy, begitu juga dengan dirimu. Setiap detil tentang kehidupanku pun kau tahu. Kau menyelamatkanku dulu dan aku ingin melakukan hal yang sama," jelas Alice.

       "Apa kau ingin mengatakan kau kecewa karena kenyataan itu kau tahu tidak dari bibirku secara langsung? Lantas kau ingin aku menceritakannya sekarang?"

       "Tidak. Aku tidak ingin kau menceritakan ulang. Aku tahu betapa sulitnya bagimu jika harus mengingatnya kembali dan aku kecewa bukan karena hal itu. Aku kecewa pada diriku sendiri yang tidak bisa membantumu," Alice menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya. Seharusnya sudah sejak dulu ia meminta orang mencari tahu apa yang terjadi pada sahabatnya, bukan baru-baru ini. Menerima selembar foto yang menampilkan Lucy yang sekarang membuatnya pindah kemari.

       Lama mereka saling terdiam dalam pikiran masing-masing sampai bunyi ponsel Alice berbunyi dan ia mengangkatnya, "Ya? Baiklah mom aku akan segera pulang." Alice mematikan panggilannya dan berdiri menatap Lucy. "Mulai sekarang, aku akan berada di sampingmu. Katakan padaku jika kau mengalami masalah Luc, berhenti menutup dirimu dariku. Itu gunanya persahabatan. Aku akan melakukan apapun untuk menolongmu, ingat, a-pa-pun." Sebuah kata 'apapun' dipertegas Alice agar Lucy benar-benar memahaminya kali ini.

***

       "Permisi Nona, aku ingin melaporkan bahwa ada yang menolong gadis itu karena ia berteriak. Seorang laki-laki berambut hitam tegak." Pria itu menutup ponselnya setelah panggilan itu terputus dan mendapat jawaban membingungkan dari tuannya.

       Dari kejauhan ia melihat seorang laki-laki menggendong Cindy dalam keadaan basah dan gemetar.

Dont Forget The Votes Button ❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang