SCENE TWENTY SEVEN

1.1K 118 7
                                    

        Enjoy Reading~~

       Beruntung mobil Lucy berhenti tepat waktu dan tidak mengenai anak itu. Lucy masih terdiam di mobil dengan lemas sambil menunggu airbag mengempis. Jantungnya mulai mengentak-entakkan dadanya. Napasnya tersengal-sengal. Ia bisa merasakan seluruh aliran darahnya berhenti. Sebuah ketukan di jendelanya, membuat Lucy sadar dari rasa terkejutnya.

       Ia memejamkan matanya. Menarik napas sedalam-dalamnya. Beberapa menit kemudian Ben kembali mengetukkan jendela kemudi Lucy seolah ingin memecahkannya sampai gadis itu keluar dari mobil. Lucy menatap anak yang hampir membuatnya menjadi seorang pembunuh diusia ke 17 tahun itu dengan tajam.

       Setelah itu ibu dari anak itu baru menyadari ketiadaan anaknya dan keluar dari minimarket. Melihat keadaan di depan matanya membuat wanita baya itu menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Dengan segera ia menghampiri dan memeluk anaknya tersebut. "Apa anda tidak bisa menjaga anak anda dengan baik?" bentak Lucy pada wanita itu.

       "M-maaf nona," ucapnya dengan terbata sambil memastikan keadaan putranya.

       Setelah kepergian mereka, Lucy menatap kearah langit dan menghembuskan napas berat. Ketegangan pun menguap dari tubuhnya. Namun ia belum bisa menghilangkan rasa terkejut dalam dirinya.

       Ben hanya menatap dalam diam. Baginya ia seperti melihat sosok Lucy yang lain. Berbeda dengan sikapnya di sekolah dan ucapan orang-orang, peristiwa yang baru saja dilihatnya ini membuat hatinya tergelitik. Kemudian Ben memegang kedua bahu Lucy membuat gadis itu menatap dirinya.

       Belum pulih dari kejadian tadi, kini ia kembali di kejutkan dengan sikap Ben. Lucy mengerjap. Sentuhan Ben membuat napasnya tercekat.

       "Kau terluka," ucap Ben.

       Lucy mengerutkan dahinya dan kemudian meringis. Ia baru menyadari ada luka di sudut kiri kepalanya. Mungkin terbentur sewaktu ia mengerem tadi. Ben segera berlari menuju mobilnya dan kembali lagi dengan membawa kotak obat.

        Sedangkan Lucy, ia mengambil obat penenangnya dan meminumnya dua butir. Melihat itu Ben bertanya, "Apa yang kau minum?"

     "Bukan urusanmu," jawab Lucy ketus.

     Dengan sigap Ben merebut botol tersebut dari tangan Lucy. "Obat penenang?"

       Lucy berusaha merebut kembali botol miliknya. Ben menghindar. "Sejak kapan kau meminum ini?"

      "Bukan urusanmu," jawab Lucy kembali ketus.

      Lucy akhirnya memilih menyerah merebut botol itu. Ia masih memiliki beberapa botol lagi di rumah. Botol itu pun di lempar Ben sejauh mungkin. "Berhenti mengkonsumsi itu." Lucy tidak menjawab.

       Baru saja Ben akan mengobati dirinya, Lucy bergerak mundur menjauhi. "Tidak perlu. Hanya luka kecil, aku bisa mengobati sendiri," jawab Lucy cepat. Ia segera berbalik menuju kursi pengemudi namun di cegah oleh Ben.

       "Lebih baik diobati terlebih dahulu," sahutnya.

       Hatinya membuncah gembira mendengar ucapan Ben. Mengabaikan detak jantungnya yang sudah mulai berdebar tak karuan, ia berharap semoga tidak ada perubahan warna pada wajahnya. Lucy menjawab dengan ringan dan datar, "Baiklah. Biar aku sa –"

        Ben mengabaikan ucapan Lucy dan mulai membersihkan luka di keningnya. "Kau tidak tampak seperti orang yang mengkonsumsi obat semacam itu. Apa penyebab kau -"

       "Apa kau menyukaiku?"

         Ben terdiam sekian detik. Pertanyaan itu membuatnya mematung. Jantungnya berdetak tidak normal. Ia terus menatap manik mata Lucy yang sedang berusaha membaca pikirannya. Kemudian matanya turun menatap bibir Lucy. Ada sesuatu dalam dirinya yang menggelitik.

         "Tidak? Jadi lebih baik jangan ikut campur." Ben hanya mengerjap. Ia tidak mengerti apa yang ada dalam dirinya sekarang. Tangannya melanjutkan aktivitasnya mengobari Lucy.

         Setelah beberapa menit akhirnya ia selesai mengobati luka itu. "Kau tidak tampak seperti kesakitan," ujar Ben. Ia tidak mengerti apa luka itu memang tidak sakit atau gadis itu yang tidak ingin menampakkan rasa sakitnya.

       "Sudah kubilang bahwa ini hanya luka kecil."

       Ben hanya menganggukkan kepalanya. "Maafkan aku," ucap Ben tulus.

       "Apa itu artinya kau menyerah?" hardik Lucy.

       Ben terkesiap, lalu tertawa sambil mengusap wajahnya. "Tentu saja tidak. Aku akan mencari cara lain, kau tenang saja."

       Sekejap, gemuruh berdatangan mengubah suasana hati Lucy menjadi gelap dan mencekam. "Jangan ikuti aku lagi," katanya tajam. Ia berlalu dari hadapan Ben dan masuk ke mobilnya.

       Perasaan bingung bercampur terkejut membuat Ben hanya bisa terdiam menatap kendaraan itu melaju pergi. Ia bisa merasakan nada dingin dan menusuk dari ucapan terakhir tadi. Kembali ingatannya melayang pada perkataan Nic pertama kali. "Kurasa aku tahu apa yang dia maksud sekarang," Ben terkekeh.

Bagi yang tidak mengerti perkataan Ben, harap baca lagi scene awal. hehehe

Dont Forget The Votes Button ❤️❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang