SCENE TWENTY EIGHT

1.1K 119 3
                                    

        Enjoy Reading ~

Ketika ia dan Leesa berjalan menuju Kantin, ia kembali diperlihatkan kejadian yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Satu perasaan muncul dalam hatinya, perasaan tidak rela.

       Cindy mengakui bahwa ia telah jatuh hati pada Sang Pangeran terutama sejak pesta dansa itu. Seperti gadis lainnya, ia juga memiliki rasa egois. Ia ingin diperlakukan istimewa oleh orang yang disukainya.    Namun mengingat keegoisannya terakhir kali hampir mengorbankan orang yang di cintainya, kini ia hanya bisa mengubur rasa egois itu dalam-dalam. 

       "Aku tidak mengerti apa yang Ben lakukan dengan penyihir itu," ucap Leesa dengan nada kesal. Ia selalu menyebut Lucy dengan kata penyihir. Bagi Leesa, Lucy lebih mirip dengan penyihir kejam daripada saudara tiri Cinderella.

       "Ayo kita pergi." Mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju kantin.

       Leesa kehabisan kesabaran dengan sahabatnya itu. "Kau diam saja melihat itu? Tidakkah kau sakit hati dan ingin melawan?" serunya.

       "Terakhir kali aku melakukannya, aku sangat menyesalinya." Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Leesa mengetahui maksud perkataan itu. Cindy sudah menceritakan padanya terkecuali bagian Lucy ingin membunuh ayahnya dan itu membuat Leesa semakin ingin mencakar wajah Lucy.

       "Temui dia dan katakan bahwa kau adalah gadis yang berdansa dengannya."

       "Cinderella tidak pernah membuka jati dirinya sampai pangeran sendiri yang menemukannya," elak Cindy. ia tahu bukan saatnya membandingkan hidupnya dengan dongeng picisan itu. Semua hal tidak semudah pikiran sahabatnya, tidak akan ada hidup bahagia selamanya jika ia melakukan itu.

       Perkataan Cindy sukses membuat Leesa merasa jengkel, "Oh, ayolah. Jangan bilang kau berharap ia menyadari hal itu sebelum ia menemukan siapa pemilik asli benda itu." Tentu tidak, jawab Cindy dalam hati. Tapi dirinya yakin, gadis yang dicari oleh Ben adalah dirinya, bukan pemilik hairpin itu yang tak lain adalah Lucy.

       "Apa kau tidak takut, Ben bisa jatuh cinta pada penyihir itu karena terus mengikutinya?"

       Hatinya kini merasa was-was. Benarkah?

       Jantungnya serasa diremas, Kekhawatiran kini menyelimuti pikirannya. Tidak, bukan seperti ini jalan ceritanya, batinnya.

***

Selesai makan siang, ia bergegas melancarkan aksinya selama beberapa hari ini. mendadak sebuah tangan menariknya masuk ke sebuah ruang inventory dengan cepat, membuatnya reflek berteriak, "Hey!"

       Cindy meletakkan satu jarinya di bibirnya, memberi isyarat untuk Ben agar ia mengecilkan suaranya. Ben menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

       Kehadiran sosok Cindy dihadapannya saat ini membuatnya menyadari bahwa ia sempat  melupakan sosok bidadari ini selama beberapa hari. Mata hazelnya menatap lekat-lekat wajah Cindy. "Hai," sapa Ben.

       Suasana berubah menjadi canggung. "Hai," balas Cindy malu-malu. Kemudian keheningan memenuhi ruangan itu membuat mereka menjadi salah tingkah.

       "Aku –"

       "Aku –"

       Keduanya mengatakan secara bersamaan, membuat situasi semakin canggung. Cindy merasakan kedua pipinya memanas, sedangkan Ben menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Akhirnya Ben berkata, "Wanita duluan."

       Cindy mengumpulkan keberaniannya dan menarik napasnya dalam-dalam. Ia sudah menyusun rangkaian kata sejak tadi dan berharap Ben mempercayainya. Bagaimana pun ia harus mengakhiri kegiatan Ben saat ini serta menebus janjinya pada Lucy. Hari ini adalah hari terakhirnya. "Aku ingin mengatakan sesuatu mengenai benda yang kau miliki."

     Dengan menelan ludahnya susah payah, ia kembali melanjutkan, "Pemilik hairpin itu adalah aku."

Dont Forget The Votes Button ❤️❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang