"Kamu Papa macam apa hah?! Susah banget buat dihubungi! Saya tahu kita nggak baik-baik aja Mas. Tapi setidaknya khawatirkan anak semata wayang kamu!" oceh Daurelia setelah berhasil menggeret suaminya ke taman belakang rumah sakit.
Demian tidak mencoba mengelak atau memotong kalimat Daurelia. Ia hanya mencoba untuk mendengarkan keluhan istrinya yang kini keadaannya sudah seperti mayat hidup. Memotong kalimat sama saja membuat sebuah pertikaian terjadi. Belum selesai satu sudah tambah satu. Habis sudah.
"Saya bisa mati kalau sampai Delia nggak bangun dari komanya Mas, hiks," kepalanya menunduk kearah tanah berhias rumput taman yang hijau.
Dibawah pohon yang rindang Daurelia masih sibuk meneteskan air mata yang hikmat dengan tubuhnya yang gemetar. Demian hanya terpaku melihat di hadapannya,— istrinya begitu menyedihkan. Ingin rasanya Ia mendekap, menenangkannya tapi apalah daya. Ia harus masih berada di fase membuang Daurelia. Demian tidak bisa berbuat apa-apa selain diam membungkam menatap yang tercinta di landa duka.
Bukan hanya Daurelia yang terluka, Demian pun begitu. Ia merasa gagal menjadi seorang ayah melihat anaknya dalam keadaan terkapar tak berdaya seperti itu. Apalagi melihat istrinya menangis sejadinya. Kalau bisa tukar saja posisinya, biarlah Ia yang merasakan sakitnya. Jangan Delia, anaknya. Dan jangan sampai ada air mata dipipi yang tercinta.
**
"Aku mau eskrim," pinta Delia seperti biasa merengek tak kalah anak kecil. Yang dipinta sedang sibuk dengan ponselnya yang di genggam, membalas pesan masuk satu persatu dari sahabatnya. Dan memang pria itu sengaja untuk mengabaikan Delia.
"Aku mau eskrim!!!" Pinta gadis itu lebih sedikit memaksa. Barulah sang empu berbalik menatapnya. Masih keadaan acuh, bukannya tidak menyayangi atau tidak perduli. Pria ini tengah memberi pelajaran dengan mendiamkan sang kekasih. Karena pelajaran perlu Delia dapatkan.
Perihal ia masih dalam keadaan kurang baik, namun sudah meminta bahkan merengek meminta es krim. Jelas pria itu mengabaikan. Dingin, lebih dingin dari pada es. Bisa sejajar dengan kutub Utara.
"Nggak!" Pria itu mendorong kening kekasihnya, pelan. Berharap kekasihnya mengerti karena baru saja dia keluar dari rumah sakit perihal sakit radang. Radang ya bukan rendang.
"Kamu nih ya kebiasaan suka nepok-nepok jidat! Apa susahnya beliin eskrim doang, pake uang aku lagian!" Gadis itu menggembungkan pipinya dengan bibir yang mengerucut. "Nyebelin!" seraya menutup pintu mobil dengan kencang gadis itu duduk dengan membantingkan tubuhnya. Menyebalkan mungkin pikirnya.
"Delia kamu tuh ya." Pria itu hanya mampu menggelengkan kepalanya karena kekasihnya memang lembut tapi sangat keras kepala. Harus di garis bawahi bahwa Delia benar-benar keras kepala.
Suara mesin pendeteksi detak jantung masih berfungsi dengan normal, selang oksigen dihidung masih terlihat dihirup pelan menandakan bahwa masih ada tanda-tanda kehidupan, kepalanya terlilit perban putih. Gadis ini masih dinyatakan koma belum ada perubahan apapun sejak dibawa kerumah sakit ini. Dara dan Denaldy pun masih setia menjaga Delia, mengabaikan sekolahnya dan lebih memilih rumah sakit. Bolos dadakan. Sedikit jadi alasan bolos.
Dara sudah berantakan, menangis dan selalu merutuki dirinya sendiri yang telah gagal menjaga sahabatnya. Padahal Delia selalu menjaganya dengan baik. Namun kejadian kemarin memang jauh dari nalarnya. Bukan maunya Dara semua ini terjadi. Bukan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovely Delia
Novela Juvenil[Proses REVISI] Apa menunggu selama 2 tahun ini, aku baik-baik saja? Bayangkan, betapa sulitnya meneguhkan hati untuk setia ketika sebuah lembaran baru menjanjikan kebahagiaan. -Delia- Aku mencari selama 2 tahun ini, tapi aku malah mendapat pengkhia...