Part 15

1.9K 115 9
                                    

Mencintai bukan tentang saling memiliki, bukan juga tentang saling memahami. Adakala saat mencintai, tak dapat balasan sama sekali. Seseorang mungkin akan lelah jika mencintai tanpa dicintai. Tetapi ada yang bertahan karena suatu hal. Sesaat, hal itu akan terlihat mudah. Namun tidak jika ditelaah lebih dalam. Seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami, bahwa mencintai sesulit itu. Memutuskan untuk mencintai seseorang harus siap dengan segala konsekuensi yang akan diterima. Seperti; patah hati.

Kanaya berjalan menuju kelasnya. Kejadian dua hari yang lalu saat ia menelepon seseorang, masih teringat jelas diingatannya. Bagaimana jantungnya berdetak saat menunggu jawaban dari sebrang. Bagaimana suaranya bergetar saat mengucapkan kalimat sapaan. Dan bagaimana hancur hatinya saat panggilan diputuskan.

Kanaya tidak mengerti, mengapa ia bisa sejatuh ini. Ia pernah mencintai, namun tak pernah sejatuh ini. Ia juga tak pernah merasa sesakit ini saat cintanya diabaikan bahkan dianggap bahan bercandaan. Kanaya mengerti, bahwa mungkin nasibnya tak sebaik yang lain. Dia bahkan tidak pernah merasakan yang namanya dicintai. Mungkin pernah, satu kali. Itupun ia tak tahu, apakah orang itu tulus atau hanya ingin main-main. Terlalu banyak kebohongan di dunia ini. Hingga membuat perempuan itu meragukan dirinya sendiri. Karna tidak ada yang benar-benar bisa di percaya di dunia ini.

Sesaimpainya di kelas, Kanaya segera menaruh bokongnya di kursi dan kembali menatap lurus ke depan. Sejak kemarin dia tidak seperti yang biasa terlihat. Tidak jarang teman-temannya menegur, ada apa dengan dirinya sebenarnya. Tetapi jawaban Kanaya akan tetap sama: sedang pusing. Kanaya tidak tahu, apakah hari ini dia akan bersikap seperti kemarin atau akan kembali pada sifat aslinya.

Kanaya melirik Ayu yang baru saja tiba di pintu masuk. Dilihatnya Ayu tersenyum, maka Kanaya balas tersenyum meski hanya senyuman kecil. Sebenarnya ia ingin menceritakan bahwa ia bertemu Juna kembali. Namun ia merasa sulit untuk menceritakannya. Ayu duduk di samping Kanaya, menempati kursi Same yang masih kosong.

"Lo kenapa sih dari kemaren?" tanya Ayu tiba-tiba, langsung pada topik yang memang ingin dia tanyakan pada temannya itu. Dia merasa ada yang aneh pada Kanaya. Karna tidak biasanya Kanaya menjadi pendiam seperti ini. Kanaya yang dia kenal adalah pribadi yang usil dan suka tertawa. Meski dimarahi guru sekalipun, Kanaya tak bisa menyembunyikan tawanya itu.

"Pusing," jawab Kanaya seadanya. Jawaban yang sama seperti kemarin. Dan Ayu tidak suka itu.

"Bohong." ujar Ayu tegas. Ia tahu bahwa temannya itu berbohong. Karna Ayu pernah melihat bagaimana Kanaya sakit waktu itu. Meskipun terlihat lemas, Kanaya tetap tertawa saat ada hal yang lucu. Tapi kondisi saat ini berbeda, Kanaya tidak lagi tertawa saat Irsyad menggodanya atau saat Jeki memarahi Irsyad karna hal bodoh. Kanaya berbeda, itu terlihat jelas bagi Ayu.

"Serius. Gue pusing."

"Pusing kenapa? Pusing terus perasaan. Lo kenapa deh? Jujur sih sama gue. Cerita kalo lo lagi ada yang dipikirin. Jangan dipendem gini." Kanaya mengembuskan nafas berat. Memang, suatu masalah akan terasa lebih ringan saat sudah menceritakannya pada orang lain. Setidaknya kita bisa berbagi apa yang sedang kita rasakan pada orang itu. Tapi Kanaya tidak tahu, apakah jika ia bercerita, beban yang ada di dalam fikirannya itu akan berkurang? Menghadap ke arah Ayu, Kanaya pun menarik nafas dalam.

"Gue ketemu Juna." hanya itu, tapi mampu membuat Ayu terdiam selama beberapa saat. Akhirnya perempuan itu tahu penyebab diamnya temannya ini.
"Dimana?" tanya Ayu dengan suara sarat akan kecemasan. Kanaya membuang pandangannya ke arah lain, seperti tidak sanggup menjawab pertanyaan dari Ayu.

"Pas gue pulang dari pestanya Yuri." Ayu terdiam, lagi. Dia menatap Kanaya yang saat ini sedang memandang ke arah lain, berganti-ganti. Memegang pundak Kanaya, Ayu pun tersenyum tipis.

Kanaya dan ArkanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang