Part 1

6.5K 236 28
                                    

Hari ini ada pelajaran Pajak, dan Kanaya lupa untuk membawa kalkulator. Sebentar lagi guru yang mengajar pelajaran itu pasti akan datang. Masalahnya, kalkulator diwajibkan untuk dibawa. Jika tidak membawanya, maka akan mendapatkan hukuman. Hukuman paling rendah yang pernah Kanaya tahu adalah membersihkan toilet. Paling berat? Oh, bahkan Kanaya tidak bisa membayangkannya.

Mendesah berat, Kanaya menelungkupkan wajahnya di atas meja dengan kedua tangan yang sebelumnya ia lipat. Kanaya pusing, harus dimana lagi dia menemukan kalkulatornya itu agar terbebas dari hukuman pak Jeri. Mau sampai kapanpun dicari, pasti tidak akan ketemu. Kanaya ingat, tadi pagi dia lupa untuk mengambil kalkulator yang ia letakkan di atas meja belajar.

"Me, gue lupa bawa kalkulator." Same, nama panggilan dari teman-temannya itu pun menoleh dengan mata melotot. Sebenarnya namanya bukan Same, tapi Salma Melidia. Tapi karna keusilannya si Kanaya, nama itu disulap menjadi Same. Same sendiri tidak masalah dengan nama panggilan ngawur itu.

"Dasar lo. Terus gimana? Kenapa lo gak bilang daritadi?" Kanaya mencebikkan bibirnya. Kalau dia bilang daritadi, apakah Same bisa membantu? Kerjaan dia kan kalau gak main hape, ya tidur. Paling rajin ya nyatet tulisan yang ada di papan tulis.

Kanaya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun sepertinya tidak ada yang bisa diandalkan dari wajah kusut teman-temannya itu.

"Gak ada yang bawa kalkulator dua apa??" teriak Kanaya penuh dengan keputus asaan. Teman-temannya yang tadi sibuk dengan urusan masing-masing langsung menatap ke arahnya dengan tatapan-tatapan yang berbeda. Ada yang datar, ada yang melotot, bahkan ada yang langsung menepuk jidatnya.

"Pinjem kelas lain sana,"

"Nih pake punya gue. Tapi nanti beliin gue mie ayam ya kalo gue dihukum sama pak Jeri."

"Widiw, gue gak sabar liat lo dihukum sama pak Jeri, Nay."

"Pinjem sama pak Jeri aja sih nanti."

Nah, yang terakhir itu saran dari Pandu. Kanaya langsung berdecak mendengar pendapat Pandu yang sangat ngawur itu.

"Goblok." gumamnya nyaris seperti umpatan. Bukan masalah apa, dia kan lagi kesusahan. Gak ada yang bisa kasih saran lebih bagus apa? Ini malah bikin dia jatuh ke lubang yang lebih dalam.

"Itu namanya keluar lubang singa, masuk ke lubang buaya, Ndu." balas seseorang yang Kanaya lirik adalah Arkana. Arkana terlihat sedang asyik dengan ponselnya. Namun laki-laki itu terlihat merespon pendapat Pandu yang super ngawur.

"Ooh, gitu? Padahal enakan keluar dari lubang janda masuk ke lubang perawan." dan keributan pun terjadi setelah itu. Kanaya tidak lagi melihatnya karena dia sibuk dengan pikirannya tentang kalkulator. Ayolah, mikir Kanaya, mikir!

Dan pandangan Kanaya langsung tertuju pada seseorang yang sedang berjalan melalui kelasnya. Sambil komat-kamit tidak jelas, Kanaya langsung berjalan keluar dengan segala keberaniannya. Biarin deh, malu gak apa-apa. Yang penting Kanaya gak dihukum. Itu aja.

"Deni," panggil Kanaya sambil menggigit bibir bawahnya. Deni, anak XI Akuntansi 1 yang terkenal galak itu langsung menghentikan langkah ketika merasa ada yang memanggilnya.

"Apaan?" tuh kan! Galak bener! Kanaya rasanya ingin menghempaskan tubuh ke jurang yang benar-benar dalam! Masalahnya, Kanaya pasti terlihat sangat gemetar sekarang.

"Pi--pinjem kalkulator dong. Ada gak?" Kanaya mendesah lega ketika sudah berhasil mengutarakan apa maksud dan tujuannya memanggil Deni.

"Gue gak kenal lo." ujar Deni dengan malas. Segera dia berlalu, namun langsung dicekal oleh Kanaya.

"Gu--gue Kanaya. Anak ak 2."

"Gak nanya." Kanaya memanyun-manyunkan bibirnya dengan sebal karena Deni begitu sinis padanya. Coba kalau saat ini yang sedang berbicara dengannya adalah Yuri, teman Kanaya yang terkenal dengan kecantikannya.

Kanaya dan ArkanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang