Bab 5 - Membangun Dinding

124K 9.8K 251
                                    

Revi bergeming masih sambil memegang ponselnya. Kata-kata tidak itu pernah dibayangkannya akan dikatakan oleh seorang Arkan. Seorang Arkan Revano Putra yang dulu dikenalnya pintar dan tidak pernah mau disalahkan, sekarang sedang meminta maaf padanya. Apa ini sebuah jebakan permainan dari cowok itu lagi?

"Rev..."

Panggilan itu akhirnya membuat Revi mendongak lalu menatap Arkan yang sedang menatapnya lekat-lekat. "Punya salah apa lo, sampe minta maaf ke gue?" tanyanya datar. Sedatar raut wajahnya yang saat ini ditunjukkan untuk Arkan.

Arkan menelan ludahnya susah payah. Dia tidak pernah menyangka kalau Revi akan sangat membencinya. Tapi kenapa? Tahukah cewek itu dengan kesalahan yang sudah diperbuatnya dulu? Memikirkan itu membuat Arkan tiba-tiba kehilangan nyalinya. Dia takut. Takut Revi akan semakin menjauh dari hidupnya.

"Bisa nggak sih, kita lupain yang udah lalu-lalu, Ar? Nggak usah sibuk ngomongin hal-hal yang nggak penting. Buang-buang waktu."

Ngomong, banci!

Arkan tidak bisa. Dia tidak bisa membalas perkataan Revi. Karena sejak dulu, jiwa tidak mau disalahkannya, pasti akan selalu kalah kalau sudah berurusan dengan cewek di depannya ini.

"Lo benci sama gue, Rev?" pertanyaan itu ditanyakan Arkan dengan pelan.

Revi diam. Tapi sedetik kemudian, cewek itu menghela napasnya. Dia harus menyelesaikan urusannya dengan Arkan saat ini juga. "Nggak," jawabnya singkat. "Gue nggak mau buang-buang waktu buat benci seseorang. Karena kalo gue benci seseorang, waktu gue bakal habis sia-sia cuma buat mikirin gimana bencinya gue sama dia."

Lagi. Untuk yang kesekian kalinya, Arkan menelan ludahnya susah payah. Dulu Revi tidak begini. Sepintar apapun Revi bermain kata-kata, tetap saja bukan kata-kata menusuk seperti ini yang sekarang dikeluarkan oleh cewek di depannya ini.

"Udah ya, Ar. Gue harap mulai besok di sekolah, lo bisa jadi Arkan yang dulu. Nggak jadi cowok nggak tau malu lagi."

"Kalo gitu gue harap mulai besok di sekolah, lo juga balik lagi jadi Revi yang dulu. Revi yang cantik dan sering senyum."

Arkan langsung mengumpat dalam hati saat menyadari bahwa perkataannya itu kurang ajar. Dia langsung membuang pandangannya saat melihat Revi menatapnya dengan tajam. Mulutnya sudah terbuka untuk meminta maaf tapi terpotong oleh perkataan cewek itu.

"Satu tahun yang lalu, lo yang minta semuanya selesai, Ar," ucap Revi dingin. "Tolong jangan jadi pengecut dengan jilat ludah lo sendiri."

Nada dingin yang dikeluarkan oleh Revi itu menyadarkan Arkan tentang satu hal. Perubahan cewek itu pasti bukan hanya karena putusnya hubungan mereka. Pasti. Karena kalau hanya itu, tidak mungkin Revi selalu marah setiap kali dia berbicara tentang masa yang sudah lalu.

"Kak Revi!"

Panggilan itu membuat Arkan dan Revi langsung menoleh ke arah Shifi yang sedang menenteng sebuah paper bag berwarna pink. Revi langsung tersenyum lebar ke arah Shifi, seolah-olah tidak terjadi gejolak emosi apapun saat dia berbicara dengan Arkan tadi.

"Tadi aku beli jepit ini," ucap Shifi sambil menunjukkan sebuah jepit berwarna pink dengan dua hiasan pita kecil di atasnya. "Lucu nggak, Kak? Aku juga beliin ini buat Kakak."

Revi langsung menggeleng kuat. Menolak sebuah ikat rambut berwarna pink. "Lo kan tau, gue nggak suka warna pink."

"Ih, ini nggak pink banget kok! Lebih banyak polkadot putihnya, Kak. Tuh, liat!" Shifi mulai membujuk dengan caranya. Shifi berulang kali membolak-balikkan si ikat rambut di depan Revi agar cewek itu mau menerimanya.

Arkan yang melihat itu semua, mau tidak mau tersenyum geli. Shifi dengan segala kecintaannya pada warna pink pasti akan membuat si pembenci warna pink itu merasa tersiksa bukan main.

"Udah, ambil aja dong, Kak. Aku udah capek-capek pilih yang nggak terlalu pink banget, tapi malah ditolak," ucap Shifi berpura-pura sedih.

Melihat itu, Revi akhirnya mengalah dan mengambil si ikat rambut dari tangan Shifi dengan wajah yang berusaha tersenyum.

"Nih, aku juga beli buat aku," ucap Shifi antusias sambil menunjukkan ikat rambut yang sama dengan punya Revi. Perbedaannya hanya pada motifnya. Shifi membelikan ikat rambut untuknya yang tidak ada polkadot sama sekali. "Kak Arkan nggak aku beliin apa-apa, ya. Soalnya warna pink kebagusan buat Kakak," lanjutnya sambal menoleh jahil pada Arkan.

Arkan pura-pura mencibir sambil mengacak-acak rambut adiknya itu. ""Udah selesai, kan? Ayo, pulang," ajaknya.

Shifi mengangguk pelan. "Kak Revi pulang bareng kita aja. Nanti dianter sama Kak Arkan."

"Nggak usah, Fi. Tadi gue lupa, sebenernya masih ada yang harus gue beli," tolak Revi sambil berusaha memasang senyumnya.

"Yahhh... yaudah, deh, kalo gitu. Jadi kita pisah di sini aja?"

Revi mengangguk lalu memberikan senyuman lebar pada Shifi. Hanya pada Shifi. Karena dia menganggap Arkan tidak ada di sana. "See you, ya... kapan-kapan kita ketemuan lagi," ucapnya lalu memeluk Shifi dengan erat. Karena cewek yang dipeluknya ini sudah dianggapnya seperti adik sendiri.

"Hati-hati ya, Kak," ujar Shifi setelah melepaskan pelukan itu. "Dadaahh." Tangannya melambai antusias sambil mengiringi kepergian Revi.

Sedangkan Arkan menatap punggung yang semakin menjauh itu dengan lekat. Ingin menahan, sekedar memaksa untuk mengantar pulang pun nyalinya tidak ada.

"Makanya, Kak. Kalo udah tau bakal sayang banget sama cewek, jangan dilepas."

Perkataan itu membuat Arkan melirik adiknya dengan tajam. "Tau apa sih lo, anak kecil? Masih kelas dua SMP aja tingkah udah kayak umur tiga lima yang ngerti masalah cinta-cintaan."

"Idihh... emang Kak Arkan juga ngerti? Dasar, maling teriak maling," sergah Shifi lalu menjulurkan lidahnya, meledek sang kakak.

"Pulang sendiri ya, lo!" ancam Arkan lalu berjalan meninggalkan Shifi.

Shifi mencebik. "Ih, gitu aja marah. Baperan deh, jadi cowok."

"Bawel!"

Melihat reaksi kekesalan kakaknya itu membuat Shifi terkikik geli. Beberapa waktu kemudian, cewek itu bertanya pada sang kakak. "Kak, kalo masih sayang banget, kenapa nggak dikejer aja?"

Arkan menghela napasnya lalu kemudian menjawab pelan. "Nggak bisa."

"Kenapa?"

Langkah kaki Arkan berhenti lalu menatap Shifi dengan raut wajah frustasi. Bibirnya sudah terbuka ingin menjawab, tapi perkataan itu ditelannya kembali. Dia lalu kembali berjalan tanpa menghiraukan tuntutan jawaban dari sang adik.

Karena dia lagi bangun tembok yang tinggi banget supaya gue nggak bisa masuk, Fi.

0-0-0

Seneng bisa upload tepat jadwal wkwk

Buat yg nanya; kak, kok singkat bgt?! jawabannya; gpp kan ya? yg penting aku akan usaha supaya gak ngaret lg -_-

Tetep ditunggu voment dari kalian ya...

Karena setiap voment dari readers pasti bikin si penulis berbunga-bunga #edanwakakak

Kamsia all...

Still into You [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang