Bab 7 - Menghancurkan Dinding

119K 8.8K 223
                                    

"Lo belum siap-siap? Nggak jadi ke sekolah?" tanya Revi dengan kening yang mengerut pada cewek yang sekarang sedang memasang wajah kesal sambil melipat tangan di dada.

"Shevi belum boleh sekolah, Rev. Nanti dulu."

Revi menoleh pelan pada Papanya yang sedang berjalan ke arah mereka. Kemudian tatapannya beralih pada kakaknya yang sedang menunjukkan raut wajah kesal bukan main.

"Dengerin Papa kamu, Shev. Jangan bandel kalo dikasih tau sama orang tua." Kali ini sang Mama yang mengingatkan sambil membawa semangkuk bubur untuk Shevi.

"Tapi kan aku udah lama nggak masuk sekolah, Ma," rengek Shevi masih dengan wajah kesalnya.

"Baru beberapa minggu," balas Papanya cuek lalu mulai menyesap kopinya.

Revi memandangi pemandangan itu sambil tersenyum tipis. Pertengkaran-pertengkaran kecil yang selalu ada tapi dapat menimbulkan kesan mendalam. Keluarga yang bahagia. Keluarga yang selalu saling memperhatikan. Lalu Revi menutup matanya pelan. Selalu. Selalu seperti ini yang dirasakannya. Perasaan yang... entahlah. Sulit menggambarkannya.

Sial! maki Revi dalam hati saat merasakan matanya mulai memanas.

"Aku berangkat dulu, ya." Setelah membuka kedua matanya, Revi akhirnya pamit setelah tersenyum singkat pada Papa dan Mamanya.

"Iya. Hati-hati, Sayang," balas Mamanya sambil melambai singkat.

"Hati-hati, Rev." Sheva ikut melambai tapi tetap berusaha memasang wajah kesal pada Mamanya.

Sedangkan Papanya hanya mengangguk kecil dan kembali sibuk dengan kopi dan korannya.

Kemudian Revi berjalan santai meninggalkan ruang makan itu. Bersikap seakan-akan tidak terjadi apapun pada perasaannya. Ini sudah biasa. Terlalu biasa. Jadi tidak masalah. Revi merapalkan tiga kalimat itu dalam hatinya.

Ayo, Papa anter aja, Rev. Harusnya, begitu kan yang dikatakan Papa padanya? Bagi Revi, tidak masalah jika harus menunggu Papanya sarapan selama sepuluh atau lima belas menit, asalkan Papanya mau mengantarnya ke sekolah.

Hah! Mimpi sana! Bahkan untuk menyuruhnya sarapan pun, kedua orangtuanya tidak ingat. Jadi apa yang harus diharapkannya?

0-0-0

Seperti biasa, hari Kamis setelah pulang sekolah adalah jadwal bagi anak-anak ekskul karate untuk latihan. Karena itu, setelah bel pulang berbunyi, Revi langsung keluar kelas bersama Erin untuk mengganti baju mereka. Lalu mata Revi menajam saat mendapati Arkan sedang berdiri di depan loker sambil menatap ke arahnya. Seperti sedang menunggunya keluar dari ruang ganti.

"Muka si Arkan lapisan kulit badak kali, ya? Tebel banget. Nggak nyerah-nyerah." Erin berdecak geli bercampur kagum saat melihat Arkan berdiri dengan senyum yang bertengger di bibir cowok itu.

"Ck!" Revi berdecih kesal saat melihat Arkan berjalan menghampirinya.

Erin tersenyum geli saat melihat reaksi teman sebangkunya itu. "Lagian balikan aja kali, Rev. Lumayan tau. Si Arkan ganteng plus pinter. Kurang apalagi coba? Cuma kurang anteng aja. Tapi kan itu yang bikin dia jadi lebih manusiawi. Lag-"

"Bibir lo jatoh, tuh. Kebanyakan ngomong," potong Revi ketus lalu berjalan ke depan -ke arah Arkan yang sedang berjalan ke arahnya.

Bibir Erin langsung mencibir saat mendengar perkataan sadis dari Revi untuknya. Lalu dia ikut melangkah menyusul teman sebangkunya itu.

Sedangkan Arkan tersenyum saat melihat Revi sudah berjalan ke arahnya. Tapi kemudian senyum itu menghilang saat tahu ternyata Revi berjalan melewatinya. Sadar kelakuan memalukannya, Arkan terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dia kembali berbalik dan berjalan menyusul Revi yang sekarang sudah berjalan beriringan dengan Erin.

"Kirain gue, lo mau nyamperin gue, Rev," sapa Arkan setelah berhasil menyamakan langkah Revi.

"Usaha terus, ya, Ar?" ledek Erin.

Arkan terkekeh geli. "Tadinya udah mau nyerah, Rin. Lo liat aja, gue dikacangin mulu sama temen lo ini," jawabnya santai. "Tapi pas inget kalo dapetin permata itu nggak gampang, makanya gue mau usaha terus."

"Kampret! Gue jadi geli sendiri," balas Erin sambil tertawa lebar yang langsung disusul kekehan oleh Arkan.

Mendengar dua orang di sebelahnya tertawa-tawa puas seolah-olah ada yang lucu, Revi langsung menghentikan langkahnya. Ditatapnya Erin dengan tajam sehingga menghentikan tawa teman sebangkunya itu.

Erin lalu berdehem kecil. "Gue duluan deh, ya. Nanti gue dihukum lagi kalo telat," ujarnya lalu memberikan senyum tanpa dosa pada Revi.

Revi lalu membuang napasnya. Masih kesal juga dengan tingkah Erin. Kemudian cewek itu kembali meneruskan langkahnya tanpa mau repot-repot menoleh pada cowok di sebelah kanannya.

Arkan yang melihat itu semua hanya tersenyum kecut. Bahkan makhluk halus saja keberadaannya masih bisa dirasakan. Sedangkan dia? Revi benar-benar seperti tidak merasakannya sama sekali. Dan dia tahu, hanya ada beberapa cara yang bisa dilakukannya untuk membuat Revi 'seperti' menganggapnya. Salah satunya adalah saat seperti sekarang.

"Dua permintaan, Rev."

Langkah kaki Revi langsung berhenti dan itu membuat Arkan tersenyum menang dalam hatinya.

"Gue masih punya dua permintaan dari lo."

Revi langsung membalikkan tubuhnya lalu menatap Arkan dengan tajam. "Jangan pernah mikir kalo gue bakal kabulin permintaan lo."

Arkan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Setidaknya gue cukup tau kalo lo nggak bisa pegang janji."

Kedua tangan Revi langsung mengepal saat mendengar perkataan itu. Matanya menatap Arkan dengan tatapan membunuh yang kentara. Berani sekali cowok itu mengatakan tentang janji di depannya? Benar-benar sialan!

Sedangkan Arkan mengumpat dalam hati. Menyesal karena dia mungkin akan membuat luka baru di hati cewek yang ada di depannya ini. Tapi dia belum memikirkan cara lain selain membuat Revi menganggapnya ada. Sudah. Itu saja dulu. Selebihnya, dia akan memikirkan cara yang jauh lebih baik lagi nantinya.

"Kalo gitu, bilang sekarang, apa dua permintaan lo," ucap Revi dingin.

Arkan langsung menggeleng santai. "Nanti. Gue cuma mau ngingetin lo doang kok. Gue kan harus pikirin baik-baik dua permintaan itu."

"Damn you!" maki Revi lalu kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Tapi belum ada dua langkah, langkahnya kembali berhenti saat mendengar perkataan Arkan.

"Gue juga cuma mau bilang, Rev," ujar Arkan serius. "Selagi lo bangun tembok itu, gue juga lagi nyusun rencana buat ngancurin tembok yang lagi lo bangun."

Lagi-lagi Revi mengepalkan kedua tangannya. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Napasnya memburu karena menahan emosi. Ingin memaki tapi dia masih cukup waras untuk tidak membuat keributan di sekolah. Karena itu, Revi memutuskan untuk kembali berjalan menuju ruang latihan.

Sepeninggal Revi, Arkan hanya bisa menatap punggung cewek itu sambil tersenyum. Senyum getir karena sadar kalau Revi tidak akan mudah memaafkannya. Itu sebabnya, kali ini dia akan benar-benar berjuang dan tidak menjadi cowok tolol lagi. Cukup satu tahun yang lalu dia melakukan kesalahan yang kemudian disesalinya. Tidak dengan sekarang.

0-0-0

Haiii, selamat malam...

Semoga masih mengikuti cerita Arkan dan Revi :D

Buat yg penasaran kenapa mereka putus, sabar yaaa~~ wkwkwk kan selalu ada yg namanya proses hohoho

Aku menunggu vote dan komen dari kalian semua utk part ini yaaaaa :* :*

Terima kasih semuaa~~

Still into You [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang