Bab 4 - Sebuah Kata Maaf

136K 9.7K 198
                                    

Revi membaca chat dalam grup ekskul fotografi di whatsapp-nya sambil menghela napas. Sejak enam bulan yang lalu, dia mulai menyukai fotografi hanya karena melihat sebuah hasil foto yang menurutnya sangat hidup, saat dia iseng pergi ke sebuah pameran fotografi.

Di sana terdapat foto seorang cewek yang berada di tengah keramaian orang-orang yang sedang tertawa. Di dalam foto, cewek itu sedang tertawa lebar. Tapi luar biasanya, si fotografer bisa mengambil foto yang justru mengartikan sebaliknya. Fotografer itu berhasil menyampaikan kalau sebuah tawa bukan berarti sebuah kebahagiaan.

Kemudian Revi tersadar dari lamunannya saat ponselnya kembali bergetar karena chat masuk di whatsapp-nya.

Lintang S. : kyknya gk bisa than

Lintang S. : bulan ini, kls gw sm tio ikutan bimbel tiap sabtu

Nathan A. : lo gmn rev?

Nathan A. : sabtu dpn bisa?

Revi kembali menghela napasnya. Apa yang harus dijawabnya? Tidak mungkin dia hanya pergi berdua dengan Nathan karena tiga anggota lainnya tidak bisa ikut. Tapi dia juga tidak mungkin berbohong hanya karena tidak ingin pergi berdua dengan cowok cuek itu.

Revi M. : bisa

Sudah. Hanya kata itu yang dikirimnya. Setelah itu, Revi membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sesaat dia bergerak-gerak untuk mencari posisi nyaman karena tubuhnya terasa lelah setelah pulang dari rumah sakit tadi. Tapi kemudian matanya menangkap sesuatu yang berada di bawah meja belajarnya.

Sebuah lukisan.

Revi tersenyum miris lalu menutup matanya perlahan. Sudah berapa lama dia tidak melukis? Sudah berapa banyak waktu yang dibuangnya untuk menjadi orang lain? Kemudian dia tertawa sumbang dalam hati. Ternyata tidak pernah mudah mematikan diri sendiri supaya bisa menjadi orang lain.

0-0-0

 "Iya, gue inget... lo pesen rasa anggur, kan? Iya... ini gue lagi jalan ke tokonya... hmm... lo jangan banyak gerak, nanti nyokap ngomel-ngomel... iya, gue-"

"Kak Revi!!"

Sebuah panggilan itu menghentikan perkataan Revi yang sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Keningnya berkerut samar saat melihat sosok cewek berseragam putih biru menghampirinya.

"Nanti gue telepon lagi," sambung Revi lalu mematikan panggilan pada ponselnya.

"Ya ampun, Kak! Baru satu tahun lebih nggak ketemu, udah lupa aja sama aku."

"Siapa- astaga! Shifi?!"

Kepala Shifi mengangguk kencang lalu merangkul lengan Revi dengan antusias. "Aku pikir tadi bukan Kakak, untung aja aku makin deket biar bisa liat muka Kak Revi. Ternyata makin cantik, ya."

Revi tertawa kecil. "Minta dipuji balik, ya?" ejeknya tapi sambil tersenyum.

Shifi ikut tertawa. "Kakak tinggal di Jakarta sekarang? Dari kapan?"

"Dari tahun lalu," jawab Revi singkat lalu kembali menatap cewek yang sudah dianggapnya sebagai adik. "Ih, satu tahun nggak ketemu, banyak berubah, ya?"

"Makin cantik kan, Kak?" tanya Shifi dengan senyum percaya diri.

Mendengar itu, Revi tertawa geli. Cewek ini masih saja sama seperti dulu. Lucu dan manja. "Ke sini sendirian?"

"Nggak. Sama Kak Arkan. Tapi dia lagi ke kamar mandi."

Tiba-tiba Revi tersentak mendengar nama itu. Kenapa dia bisa begitu bodoh? Shifi ini adiknya Arkan, cowok yang mati-matian dihindarinya. Tapi sekarang dia pasti harus berinteraksi dengan Arkan karena Shifi.

Still into You [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang