Ada dua hal yang Arkan sesali selama hidup tujuh belas tahun di dunia ini. Pertama adalah saat dia tidak bisa menolong adik satu-satunya yang jatuh dari atap rumah. Dan yang kedua adalah saat dengan bodohnya dia menghilangkan jejak Revi dalam hidupnya. Sialnya, setelah takdir kembali mempertemukannya dengan Revi, mantannya itu justru menjadi sosok yang berbeda. Bukan hanya secara fisik tapi juga secara tingkah laku.
Revi yang dikenalnya dulu adalah sosok cewek yang periang dan suka tertawa. Mengobrol dan bercanda dengan Revi pasti bisa membuat siapapun yang terlibat lupa waktu karena terlalu menikmati interaksi dengan cewek itu. Teman yang dimiliki Revi bukan hanya berada di dalam satu kelas tapi di luar kelas bahkan ada yang di luar sekolah sekalipun memang tidak banyak. Tapi sekarang? Yeah... hanya satu orang yang bisa benar-benar mendekati cewek itu. Hanya Erin. Anak ekskul karate yang memang sekelas dengan Revi.
Lalu Arkan membuang napasnya pelan. Entah apa yang sudah terjadi pada mantannya itu selama satu tahun belakangan ini, tapi dia tidak akan menyerah. Kesempatan yang takdir berikan kali ini tidak akan disia-siakannya. Mungkin memang tidak mudah. Pasti akan sulit untuk kembali menarik Revi masuk ke dalam hidupnya. Tapi yang sulit didapat itu pasti karena terlalu berharga.
Karena itu, selama apapun waktu yang diperlukannya untuk kembali mendapatkan sang mantan, seberat apapun usaha yang harus dilakukannya, Arkan tidak peduli. Semua itu harga yang pantas dibayarnya untuk mendapatkan sesuatu berharga yang pernah dilepaskannya satu tahun yang lalu.
0-0-0
Arkan menyapa singkat pada segerombolan cowok-cowok yang sedang berkumpul di sebelah kelas Revi. Dia kembali melihat jam tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, tapi Revi belum juga datang. Sudah hampir setengah jam dia menunggu di depan kelas cewek itu. Berarti dia sudah datang saat jam baru menunjukkan pukul enam lewat.
Lalu Arkan menggelengkan kepalanya saat menyadari sesuatu. Bahunya yang sedang bersandar di dinding kelas Revi, bergetar karena tawa geli yang keluar dari bibirnya. Sepanjang dia berada di sekolah ini, hari ini adalah hari pertamanya datang tidak bertepatan dengan bel sekolahnya berbunyi.
Gue baru sadar, pengaruh lo besar juga buat gue, Rev, ujar Arkan dalam hati dengan senyum yang bertengger manis di bibirnya.
"Tumben lo main ke kelas anak IPS, Ar. Salah tempat nih lo. Di sini nggak ada soal Fisika."
Arkan menolehkan kepalanya ke kanan, ke arah seorang cowok gondrong yang sudah mengejeknya. "Di kelas lo emang nggak ada soal Fisika, Yud. Tapi di kelas lo ada mantan gue. Lebih menantang dari soal Fisika," balasnya sambil menyeringai kecil.
Yuda tertawa geli mendengar jawaban itu lalu tiba-tiba berdecak. Pura-pura kesal. "Dateng pagi buat nungguin mantan aja, bisa lo. Kalo dateng pagi buat latihan basket, bilangnya susah bangun. Pembual emang lo," cibirnya.
Mendengar itu, Arkan langsung menyemburkan tawanya. "Beda, man. Hormon bangun pagi gue bisa bedain mana yang buat masa depan, mana yang buat masa semu."
"Hormon, gigi lo!" maki Yuda sambil tetap tertawa. Lalu tawa itu terhenti saat matanya menangkap sosok yang sedang ditunggu oleh Arkan. "By the way, cinderella lo udah dateng, tuh."
Arkan menoleh ke belakang, mengikuti gerakan dagu yang diberikan oleh Yuda. Dan senyumnya langsung melebar sempurna saat melihat cewek yang ditunggunya sedang berjalan ke arahnya. Ah, bukan. Lebih tepatnya ke arah ruangan yang ada ada di belakangnya.
"Pagi, mantan," sapa Arkan dengan senyum riangnya.
"Aduh, Rev. Pagi-pagi udah disamperin mantan aja."
"Yah... padahal kelas kita deketan, Rev. Tapi tetep aja lo nggak ngeliat gue," ujar salah satu cowok yang sedang berkumpul di sebelah kelas Revi.
"Ngapain liat lo, Cup," sambar seorang cowok lainnya. "Sepet mata kalo liat lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Still into You [Sudah Terbit]
Dla nastolatków[SUDAH TERBIT] Still into You "Percayalah, perasaan ini masih tetap untukmu." a story by Yenny Marissa. Kata orang, mantan itu jodohnya orang lain yang pernah kita pinjem terus dibalikin lagi. Tapi bagi Arkana Revano Putra, kalimat itu cuma berlaku...