Setelah percakapan dengan Revi kemarin siang, Arkan tidak benar-benar menuruti perkataan cewek itu. Dia tahu, semua salahnya. Salahnya karena pernah meminta Revi untuk berhenti di saat cewek itu mungkin masih berharap. Tapi Arkan yakin masih ada yang salah selain itu semua. Masih ada ketololannya yang mungkin lebih parah dari apa yang dipikirkannya. Hanya saja, dia benar-benar tidak tahu apa yang salah itu.
"Tumben nggak ke kelas mantan lo."
Arkan menoleh singkat pada Nathan yang baru saja duduk di bangku sebelahnya. Cowok itu tidak menjawab dan kembali sibuk dengan pikirannya.
"Biarin aja, Than. Habis nangis dia. Patah hati," cibir Aji yang sudah membalikkan tubuh menghadap ke arah dua sahabatnya.
"Bawel lo, kayak cewek!"
"Lo nggak boleh ngehina cewek kalo nyokap lo masih kaum yang sama, Ar. Tapi kalo nggak sih, ya... terserah lo," balas Aji cuek sambil mengedikkan bahunya.
Nathan tertawa keras. Sedangkan Arkan mengumpat keras lalu melemparkan buku cetaknya ke arah Aji dengan kesal.
Bukannya kesakitan, Aji justru ikut tertawa bersama Nathan. Tapi melihat Arkan yang tidak ikut tertawa bersama mereka seperti biasanya, keduanya langsung ikut terdiam secara perlahan.
Nathan lalu berdehem pelan. "Sabtu ini gue mau jalan sama Revi."
Bola mata Arkan langsung melebar saat mendengar nama mantannya disebut yang beriringan dengan kata 'jalan'. Itu maksudnya Nathan sedang berusaha menikungnya?
"Jalan?" tanya Arkan tanpa menutupi nada kesalnya.
Nathan justru mengangguk santai tanpa peduli wajah sahabatnya itu sudah kesal bukan main. Sedangkan Aji yang melihat itu, berusaha mengulum senyumnya agar tidak tercetak jelas di bibirnya.
Arkan menyipitkan matanya. "Ngapain?"
"Jalan-jalan."
"Sial! Gue serius!"
Aji akhirnya tertawa juga saat melihat Arkan yang sudah seperti ingin memakan Nathan hidup-hidup. "Elo tuh, kalo udah tentang Revi aja, kayak induk ayam yang lagi ngeremin telor. Sadis," cibirnya. "Nggak mungkin juga si Nathan jalan sama mantan lo. Tenang aja."
"Gue emang bakal jalan sama Revi, Ji," sambar Nathan yang langsung membuat kedua sahabatnya menoleh. "Tapi bukan jalan yang itu!" bantahnya cepat. "Tadi gue bercanda, Ar. Sumpah, deh!"
"Terus mau ngapain?" mata Arkan memicing kesal.
Nathan berdecak saat mendengar nada curiga itu. "Hunting foto buat lomba bulan depan."
"Cuma hunting foto, kan?"
"Ya elah, Ar, lo ngomel-ngomel begini, kayak si Revi cewek lo aja. Status lo sama dia cuma mantan kali," cibir Aji santai lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Mulut lo emang perlu dikawatin, Ji," gerutu Arkan sambil bangkit dari duduknya.
"Mau ke mana lo?"
"Main basket. Pelajaran pertama nggak ada guru, kan?"
Nathan membuang napasnya kesal. "Mampus lo sana!"
Arkan tertawa kecil lalu berjalan keluar kelas.
"Untung aja pinter tu bocah."
Aji terkekeh kecil. "Untung aja dia suka kasih contekan."
"Itu sih, untung buat lo, Cumi!"
0-0-0
Arkan men-drible bola basket itu dengan lincah. Terlihat jelas kalau cowok itu bukan hanya sekedar bisa bermain, tapi benar-benar seperti ahli. Tidak ada yang salah dalam permainan itu. Yang salah hanyalah pikirannya yang tiba-tiba kembali mengarah pada satu cewek yang mungkin sudah membencinya begitu dalam.
Kalo lo menang, gue bakal kasih lo hadiah!
Main yang bagus. Jangan bikin malu. Oke?
Damn!
Arkan semakin cepat men-drible bola basket yang ada di tangannya. Bunyi pantulan bola dengan lantai lapangan basket indoor itu terdengar keras. Lalu dengan gerakan yang lincah, akhirnya cowok itu melakukan lay-up yang sangat mulus. Untuk pertama kalinya, dia mengingat perkataan Revi padanya dulu. Padahal sudah hampir tiga minggu dia bertemu dengan cewek itu. Tapi kenapa dia harus mengingat kenangan itu disaat dirinya sudah meragu untuk mengejar Revi?
Kemudian Arkan menarik napasnya pelan. Dadanya naik-turun karena berusaha menormalkan napasnya. Sial! Setengah jam bermain basket, bukan membuatnya lupa tapi justru membuatnya kembali mengenang. Mungkin perkataan Revi kemarin benar-benar mengusiknya.
Arkan lalu merebahkan tubuhnya di tengah lapangan basket. Matanya terpejam dengan pikiran yang melayang-layang memikirkan betapa miris dirinya sekarang. Dulu Arkan pikir, setelah mengakhiri semuanya dengan Revi, dia bisa menikmati hidupnya dengan bebas. Tidak perlu lagi mengabari apapun pada cewek itu.
Lalu berminggu-minggu setelah hubungannya dengan Revi berakhir, dia mulai merasa ada yang salah. Tapi Arkan kemudian berpikir kalau semuanya akan kembali normal seiring dengan berjalannya sang waktu. Dan itu memang terjadi. Semuanya kembali normal. Sekalipun tangannya selalu gatal ingin menghubungi cewek itu.
Dan akhirnya Arkan sadar kalau Revi bukan hanya sekedar cewek biasa dalam hatinya. Lalu dengan tidak tahu malunya, dia mencoba untuk kembali menghubungi. Berusaha mengirim pesan melalui chat, email, bahkan media sosial Revi. Dan ketika Arkan mencoba menelepon, yang didapatnya hanya pemberitahuan dari operator kalau nomor cewek itu sudah tidak aktif.
Setelah tahu kalau Revi seakan-akan tidak ingin ditemui, Arkan mulai menyerah. Mulai berpikir kalau semua perasaan yang dirasakannya hanyalah sebuah rasa bersalah. Karena itu, dia kembali menjalani semuanya dengan normal. Lalu tiga minggu yang lalu, ketika dia kembali bertemu dengan Revi, Arkan benar-benar merasa kalau semuanya harus diperbaiki. Sialnya, sekarang dia bahkan bingung darimana memperbaikinya karena cewek itu benar-benar seperti tidak memberinya kesempatan.
0-0-0
"Lo yakin besok udah mau masuk sekolah?" tanya Revi pada cewek yang duduk di depannya.
"Yakin. Dari awal masuk kelas tiga, gue nggak pernah sekolah."
Revi menghela napasnya. "Emang Papa sama Mama udah ngijinin?"
"Udah, tenang aja," jawab cewek itu sambil tersenyum lebar. "Gue pengin liat dia. Kangen."
Selalu. Selalu cowok itu yang diceritakan cewek di depannya ini. Betapa binar mata itu memancar sangat bahagia saat membicarakan si cowok yang Revi bahkan tidak tahu rupanya seperti apa sekalipun mereka berada di sekolahan yang sama.
"Lo boleh suka sama cowok. Tapi jangan kasih semua hati lo. Itu sama aja lo bunuh diri."
Cewek yang duduk di depan Revi itu mengernyitkan keningnya.
Revi tersenyum kecil. "Gue kasih tau lo buat persiapan," jawabnya singkat. "Udah ya, gue mau balik ke kamar dulu."
Setelah itu, Revi benar-benar berlalu. Meninggalkan seorang cewek yang masih menatap punggungnya dengan bingung. Kemudian Revi menghela napasnya pelan. Dia tidak ingin cewek itu merasakan apa yang dirasakannya dulu. Kenangan itu kembali menyeruak. Karena yang didapatkan saat memberikan hati secara utuh, hanyalah rasa sakit.
0-0-0
Senangnya bisa upload pagi2 haha
Semoga masih ada yg nungguin cerita si Arkan dan Revi. Kalian penasaran gak sih kenapa mereka putus? :D
Tetep ditunggu vote dan komen kalian yaaa...
Gracias all~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Still into You [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] Still into You "Percayalah, perasaan ini masih tetap untukmu." a story by Yenny Marissa. Kata orang, mantan itu jodohnya orang lain yang pernah kita pinjem terus dibalikin lagi. Tapi bagi Arkana Revano Putra, kalimat itu cuma berlaku...