Revi menghela napasnya pelan sebelum masuk ke dalam rumah. Berusaha menutupi semua perasaan yang dirasakannya saat ini. Saat kakinya baru akan melangkah menaiki tangga, suara Mamanya sudah lebih dulu terdengar.
"Kamu dari mana, Rev?"
Revi membalikkan tubuhnya lalu tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan Mamanya. "Habis cari bahan buat lomba fotografi, Ma."
"Tadi Shevi pingsan pas Mama lagi di butik. Mama panik banget," ujar sang Mama lalu kembali menyeka air matanya. "Harusnya kamu bisa temenin Shevi di rumah. Ini hari Sabtu."
Bahkan untuk memberikan tanggapan tentang jawaban yang diberikannya tadi pun, Mamanya enggan. Revi menghela napas dalam diam. Ditatapnya wajah sang Mama yang sekarang sudah memerah karena habis menangis.
"Besok aku nggak kemana-mana."
Mama Revi tidak menanggapi. "Mama takut banget, Rev," ujarnya. "Muka Shevi tadi pucet banget. Untung kata dokter Haikal, keadaannya nggak begitu buruk. Cuma harus lebih sering diperhatiin lagi. Makanya Mama minta tolong ya, Rev. Bantuin Mama jaga kakak kamu."
Revi ingin tertawa sinis. Ingin tertawa keras karena perkataan sang Mama padanya. Apa selama ini dia tidak pernah melakukan apa yang diminta Mamanya itu? Apa pernah sedetik saja dia melupakan satu fakta tentang penerimaannya di rumah ini?
Tapi Revi lagi-lagi hanya tersenyum tipis. Memyamarkan sakit yang kembali tertoreh pada lukanya. "Iya, Ma," jawabnya. "Sekarang Shevi lagi tidur?"
Mamanya mengangguk. "Iya. Tadi sempet sadar sebentar, terus diminta dokter Haikal buat istirahat."
Kali ini Revi yang menganggukkan kepalanya. "Kalo gitu, aku ke atas dulu, ya, Ma? Mau ganti baju."
Belum ada dua langkah Revi berjalan, sang Mama sudah kembali memanggilnya. Membuat Revi kembali membalikkan tubuhnya. Dan kali ini dia bisa memastikan kalau Mamanya sedang menatapnya dengan tatapan yang... memohon?
"Mama nggak mau kehilangan kakak kamu, Rev," ujar Mamanya lirih. "Kamu ngerti, kan? Tolong bantu Mama ya, Sayang."
Ma, kapan Mama berhenti mohon buat sesuatu yang udah aku lakuin?
Hampir saja. Hampir saja air mata itu terjatuh di pipinya. Tapi Revi berusaha menahan sekuat tenaga. Dia tidak akan menangis di depan siapa pun. Meskipun di depan keluarganya. Tidak sekarang. Tidak juga nanti. Dia bisa menghadapi perasaan ini sendirian. Ya, cukup sendiri.
Revi kembali mengangguk. Kali ini sambil tersenyum lebar. Sekalipun senyum itu bertolak belakang dengan apa yang dirasakan hatinya saat ini. "Papa belum pulang?" tanyanya. Berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Lagi di jalan. Tadi Mama langsung telepon pas Bibi bilang kalo Shevi pingsan."
Kepala Revi kembali mengangguk. "Aku ganti baju bentar, ya, Ma? Nanti aku turun lagi buat temenin Shevi."
Setelah mengatakan kalimat itu, Revi langsung berbalik. Berjalan lebih cepat agar sang Mama tidak melihat air matanya yang sedikit demi sedikit sudah terjatuh di pipinya.
Dan saat sudah berada di dalam kamarnya, Revi langsung mengunci pintu kamarnya lalu mendudukkan tubuhnya di lantai kamar. Air matanya masih menetes tanpa ada suara tangisan sama sekali. Tapi itu justru membuat dadanya semakin sesak.
Kenapa dia masih cengeng seperti ini? Kenapa dia masih menangisi keadaan yang memang sudah ditakdirkan untuknya? Seharusnya dia sudah terbiasa, kan? Seharusnya dia tidak perlu menangis hanya karena sesak yang sudah menemaninya setahun belakang ini. Ya, seharusnya.
Sial!
Bahkan saat merasakan sesak seperti ini pun, masih ada perasaan lain yang menyusup. Perasaan bersalah karena merasakan sesak yang menurutnya tidak perlu dirasakannya. Tidak berhak. Lalu apa dia memang ditakdirkan sebagai pemeran antagonis di dunia ini? Pemeran yang akan merasakan sesak saat pemeran lain mendapatkan perhatian lebih dari orang lain.
Revi tertawa hambar tanpa suara. Masih dengan air mata yang menetes di pipinya. "Lo yang jahat, Rev. Dari awal, lo nggak pernah pantes disebut sebagai adek."
Luka itu dipendam Revi sendirian. Karena dia tahu, sekalipun dia membagikannya pada orang lain, tidak akan pernah ada yang bisa membantunya. Tapi Revi melupakan satu hal. Pada akhirnya, sesuatu yang dipendam sendiri hanya akan menimbulkan luka yang baru. Luka yang mungkin semakin dalam dan semakin terasa perih.
0-0-0
"Apa yang sakit?" tanya Revi saat melihat Shevi sudah membuka matanya.
Shevi menggeleng lemah. Lalu memejam sesaat dan kembali membuka matanya lagi. "Badan gue lemes banget."
Revi membuang napasnya pelan. "Mama lagi siapin makan malem. Papa lagi mandi. Lo mau gue panggilin siapa?"
"Lo aja yang temenin gue."
Permintaan bernada lemah itu mau tidak mau membuat Revi tetap diam di tempatnya. "Lo pasti nggak minum obat lagi, kan?"
Shevi menutup matanya pelan. "Cuma sekali, Rev. Tadi pagi doang." Lalu dia membuka matanya dan menatap adiknya dengan lemah. "Gue bener-bener harus bergantung sama obat itu terus, ya?"
Revi tergugu. Bingung mau menjawab apa. Ada rasa sedih dalam hatinya saat melihat tatapan mata Shevi saat bertanya padanya. "Buat sekarang, iya. Tapi nanti pasti enggak."
Mendengar itu, Shevi justru tertawa kecil. Lebih tepatnya tawa hambar. "Kadang gue capek, Rev."
Revi terdiam.
"Mending mati aja nggak, sih? Daripada gue hidup tapi kayak gini."
"Kalo lo minta gue di sini cuma buat dengerin omongan nggak mutu, mending gue keluar, deh."
"Ck!" Shevi berdecak keras saat dilihatnya Revi sudah bangkit dari duduk. Tapi dia tidak tersinggung sama sekali. Karena dia tahu, perkataan sinis adiknya itu tidak benar-benar dari hati.
Revi masih berdiri sambil menatap Shevi dengan serius. "Lo bilang lo mau sekolah lagi, kan?" tanyanya yang langsung membuat Shevi membalas tatapannya. "Lo bilang lo mau ketemu sama cowok yang lo suka itu. Tapi gimana mau ketemu kalo lo aja nggak ada usaha buat sembuh?"
Kali ini Shevi yang terdiam.
"Lo nggak bakal sembuh kalo lo emang nggak mau sembuh, Shev."
Setelah diam beberapa detik, akhirnya Shevi tertawa kecil. "Kalo gue nggak sayang sama lo, Rev. Udah gue jambak kali bibir pedes lo itu."
Mendengar itu, Revi hanya tersenyum tipis. Tiba-tiba rasa bersalah itu muncul kembali. Kakaknya ini memang pantas diberi perhatian lebih. Pantas pula untuk disayangi lebih.
"By the way, kenapa lo nggak pernah tanya nama cowok yang selalu gue ceritain ke lo? Padahal kita sama dia satu sekolah."
Kedua alis Revi terangkat. "Nggak penting juga gue tau. Ya, kan? Lagian lo juga nggak bakal mau kasih tau gue."
Shevi terkekeh pelan. "Nanti gue bakal kasih tau lo kalo gue udah masuk sekolah."
"Nggak usah lo kasih tau juga gue nggak rugi kok."
"Dasar, miss cabe! Pedes bener itu omongan," gerutu Shevi.
Mendengar gerutuan itu, membuat terkekeh kecil. Masih tetap memandang wajah pucat Shevi yang ada di depannya.
Seharusnya hidup kakaknya ini sempurna tanpa sakit itu. Seharusnya hidup Revi juga sempurna tanpa adanya rasa terabaikan itu. Karena itu, bisakah Tuhan menukar keadaan mereka. Tapi hanya tentang sakit itu saja. Selebihnya jangan. Jadi biarkan kakaknya ini memiliki hidup yang sempurna. Dan dia memiliki hidup yang mati. Mungkin itu lebih baik dari keadaan sekarang.
0-0-0
Bab ini gak ada Arkan ataupun dua sahabat kurang ajarnya wkwk
Buat yg sering bilang, "kak, kok pendek?" Sengaja pendek2 karena udah dipesen begitu, biar lama tamatnya wakakakak
Semoga masih gak pd bosen :D
Please, tinggalkan jejak kalian ya guys :* :*
Gracias all~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Still into You [Sudah Terbit]
Ficção Adolescente[SUDAH TERBIT] Still into You "Percayalah, perasaan ini masih tetap untukmu." a story by Yenny Marissa. Kata orang, mantan itu jodohnya orang lain yang pernah kita pinjem terus dibalikin lagi. Tapi bagi Arkana Revano Putra, kalimat itu cuma berlaku...