X. Saat DIAM itu EMAS

97.1K 3.5K 16
                                    

Sudah satu minggu ini Nayla dan Rezer nggak bicara. Sebenernya, Nayla yang emang sengaja jaga jarak dengan suaminya itu. Dia masih sangat marah. Setiap Rezer mencoba mendekati, pasti dia pergi. Sampe-sampe Nayla tidur di kamar lain untuk menunjukkan kalo emang dia lagi nggak mau diganggu oleh Rezer.

Orangtua Rezer maupun Mama Nayla nggak tau apa yang terjadi antara keduanya. Kebetulan, sejak kepulangan keduanya dari Bali, mereka semua sedang sibuk dan nggak sempat untuk berkunjung. Mereka juga ngerti saat keduanya nggak dateng lantaran dianggap capek sehabis liburan.

"Nay, lo mau sampe kapan diemin Rezer?" Tanya Dizza. Saat ini dia sedang berada di kamar Nayla. Kebetulan semalam dia menginap di rumah Nayla. Tiar nggak ikut, dia sedang pulang ke Solo karena ada acara pernikahan sepupunya.

Nayla menggeleng sambil mengangkat bahu.

"Nay, nggak baik loh musuhan lebih dari  3 hari." Dizza mencoba menasehati.

"Gue sama Rezer nggak musuhan. Diemnya gue ini cuma biar dia sadar kalo apa yang dia lakuin itu salah dan dia nggak akan ulangin ini lagi."

"Ya... lo benar. Tapi dengan lo diam, apa semua akan selesai?"

"Untuk sekarang menurut gue itu yang terbaik, Diz. Diam itu emas."

Dizza menghela nafas panjang, capek menasehati Nayla yang keras kepala.

"Kalo lo jadi gue, apa lo terima diperlakukan kayak gini? Gue jelas berhak tau dong siapa wanita itu? Dan dia dengan enaknya ngebentak gue."

Dizza nyengir, "iya sih, gue juga kalo digituin pasti marah. Terutama gue cemburu." Katanya sambil menggaruk kepala.

Cemburu? Klik! itu jawaban yang selama ini Nayla cari dari sebuah pertanyaan, kenapa dia marah? Nayla baru sadar, kalo ternyata dia cemburu. Dia merasa terusik dengan kehadiran wanita lain dalam kehidupan rumah tangganya. Terlebih lagi sepertinya wanita itu hadir lebih dulu dalam kehidupan Rezer.

"Lo cemburu kan?" Tanya Dizza sambil setengah menggoda.

Nayla menarik nafas, "oke, mungkin itu bener. Tapi yang lebih tepat adalah gue ngerasa nggak dihargain."

"Nay, lo coba deh nempatin posisi lo sebagai Rezer. Mungkin dia nggak mau jujur sama lo karena kejujuran yang lo minta itu nyakitin buat dia. Bisa jadi kan?"

"Apapun itu, kami berdua udah suami istri, Dizz. sepahit apapun masa lalunya, gue juga berhak tau. Apalagi kalo itu ngusik ketenangan gue."

"Iya kalo itu lo emang bener. Tapi coba deh kasih dia waktu, gue yakin kok, lo bakal nemuin jawabannya nanti."

Nayla mengangguk. "Eh Diz, ngomong-ngomong lo sama Tiar udah daftar kuliah belom?"

"Belom, Nay. Kita tuh bingung mau ambil fakultas apa."

"Udahhhh, samain aja kayak gue. Lagian ya, fakultas kedokteran itu nggak semenakutkan yang kalian pikirkan kok. Basic-nya cuma butuh jiwa penolong."

"Maksudnya?"

"Gini, kalo lo bener-bener punya keinginan buat nolong seseorang, lo pasti bakalan lakuin apapun buat bisa nolong orang itu. Misalnya, lo ngerasa nggak mampu masuk ke fakultas ini, tapi saat lo dihadapkan sama situasi dimana seseorang membutuhkan pertolongan lo buat ngobatin sakitnya, lo bakalan berjuang agar lo mampu. Gue yakin jiwa sosial kalian itu tinggi."

Dizza nampak berpikir. Kata-kata Nayla memang agak terlalu rumit untuk dipahami, tetapi dia mengerti inti dari omongan itu. "Lo jadi ngesugesti gue, Nay."

"Nah itu dia, sugesti. Lo bakal terus tersugesti untuk nolongin orang yang membutuhkan. Dan untuk bisa melakukan itu, lo harus bekerja keras."

"Hmmm, oke deh! Gue bakal coba ikut UMPTN. Kalo emang jodoh gue di fakultas kedokteran, pasti gue bakal lulus."

"Yeaayy, gitu dong. Semangat!!"

Nayla dan Dizza lalu tertawa. Mereka mulai bercerita tentang kehidupan mereka beberapa tahun mendatang. Menjadi seorang dokter, bekerja di rumah sakit, bahkan dikirim ke tempat-tempat yang lagi membutuhkan bantuan medis. Semua jadi terasa menarik dan membuat semangat untuj dijalani. Nggak ada yang nggak bisa kalo kita mau terus belajar, berusaha dan terpenting berdoa. Niat yang baik pasti diberi jalan oleh Nya.

•••

"Nay," Rezer menarik tangan Nayla saat gadis itu melewatinya.

Nayla berhenti, tapi nggak menatap Rezer sama sekali. Dia menarik tangannya dari pegangan Rezer. Menunggu.

"Udah dong marahnya. Mau sampe kapan?"

Nayla nggak tertarik untuk menjawab, dia mau pergi tapi Rezer menarik tangannya lagi.

"Oke aku salah. Aku minta maaf."

Nayla baru mau menatap Rezer, namun dengan pandangan sinis. "Maaf aja nggak cukup buat ngejelasin semuanya, Ez."

Rezer diam sesaat. Lalu, "oke, aku bakalan ceritain semuanya." Katanya mengalah. "Ikut aku." Rezer mengajak Nayla ke balkon kamar.

Mereka berdua duduk di kursi santai di balkon kamar. Saling berhadapan dan menatap.

"Namanya, Clara." Rezer memulai. Dia seakan memutar kembali kenangan masa lalunya.

Nayla diam, mendengarkan.

"Aku punya sahabat sejak kecil, namanya Wira. Persahabatan aku sama Wira, persis kayak kamu sama Dizza dan Tiar. Kami cenderung nggak bisa dipisahin, lengket kayak lem." Rezer menarik nafas, lalu melanjutkan, "sampai akhirnya Wira mencintai Clara, cewek pindahan dari Amerika sewaktu kami kelas 1 SMA."

"Wira tergila-gila banget sama Clara. Sampe-sampe dia minta aku buat comblangin mereka. Bodohnya, aku mau aja nyomblangin mereka. Padahal aku tau kalo Clara itu bukan cewek yang baik buat Wira. Yah, mungkin karena Wira dan Clara itu berbeda. Wira cowok yang kalem, nggak pernah macem-macem, pinter, pokoknya cowok baik-baik banget. Sementara Clara itu cewek glamour, agresif, dan menurut gue genit."

Nayla mendengarkan dengan seksama.

"Tapi akhirnya mereka jadian juga, berkat kerja keras gue ngeyakinin Clara kalo dia bakal sangat bahagia kalo sama Wira." Rezer mulai berat untuk melanjutkan, "sampai akhirnya..."

Nayla menunggu, cukup lama Rezer diam. Lalu dia memegang tangan Rezer, meyakinkan suaminya itu untuk melanjutkan.

"Sampe akhirnya Clara terang-teeangan ngaku ke Wira dan di depan aku, kalo dia nerima Wira cuma karena dia pengen deket sama aku."

Nayla shock mendengarnya. "Terus Wira gimana setelah denger itu?"

"Wira nggak marah, dia malah tersenyum. Tapi sejak saat itu gue ngerasa sikap Wira berubah. Dia jadi aneh."

"Anehnya?"

"Dia mulai ngehindarin aku dengan segala macem alasan. Dia jarang masuk sekolah. Sering ngilang nggak tau kemana." Rezer bertambah berat untuk melanjutkan. Dia menarik nafas lagi, matanya mulai menunjukkan kesedihan.

Nayla menunggu.

"Dia meninggal, kecelakaan."

Nayla meneteskan air mata. Dia tau kesedihan seperti apa yang dirasakan Rezer. Dia bahkan nggak bisa ngebayangin seandainya dia kehilang Dizza ataupun Tiar selamanya.

"Ez, aku..."

"Sejak saat itu aku mutusin untuk lanjutin sekolah ke luar negeri. Apalagi waktu aku tau, Wira kecelakaan karena dia sengaja nabrakin motornya ke mobil yang ada di depannya. aku ngerasa bersalah banget. Rasanya..."

Nayla memeluk Rezer, "udah aku ngerti. Nggak usah dilanjutin lagi. Aku ngerti."

Untuk pertama kalinya Nayla melihat Rezer menangis. Dia seperti sedang memeluk anak kecil yang menangis karena kehilangan orang yang disayangi. Reser pasti merindukan sahabatnya itu. Apalagi kejadiannya baru sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Dan bertemu Clara lagi, itu pasti sangat menyakitkan. Nayla menyesal karena terlalu egois. Seandainya dia tau seperti ini ceritanya, mungkin dia akan berpura-pura nggak tau dengan kehadiran Clara.

•••

Married? OH NO!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang