XVII. Sunyi

69.6K 2.2K 14
                                    

Sebelum mulai, penulis mau promosiin karya yg udah selesai judulnya awkward moment. Pleaseeee dibaca, vote and voment. Soalnya karya itu mau penulis ikutin lomba jadi butuh support kalian temans....

♡♡♡

Nayla membuka matanya yang terasa sangat berat. Tubuhnya sakit seperti baru aja melakukan olahraga berat. Tanpa dia sadari ternyata dia tertidur di depan pintu kamar yang telah dikunci Rezer. Nayla langsung bangkit dengan cepat dan membuka pintu kamar. Cklik... terbuka! Rezer udah maafin dia? Nayla masuk pelan-pelan, dia mulai merangkai kata.

"Ez?" Panggil Nayla sambil matanya menyusuri seisi kamar. Sepi, nggak ada Rezer di situ. Dia pun mendekati pintu kamar mandi yang tertutup, lalu mengetuknya.

"Ez..."

Detik demi detik berlalu, nggak ada sahutan. Nayla pun memberanikan diri membuka pintu kamar mandi, hasilnya nihil, Rezer nggak ada.

Dengan perasaan kacau, dia berlari keluar kamar, mencari di setiap sudut rumah. Turun ke bawah, mengelilingi rumah seperti orang gila. Hingga akhirnya tubuhnya melemas, dia terduduk dengan air mata jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Rezer pergi... tanpa memperdulikannya lagi.

***

"Ez, lo ngapain di sini?" Tanya Rendy begitu dia sampai di tempat Ez berada. Sudah sejak jam pertama kuliah dia mencari Rezer, sahabatnya itu bolos sampe tiga mata kuliah. "Mau bunuh diri?" Candanya.

Rezer hanya tersenyum sedikit. Dia memutar-mutar batang rokok yang di antara jari telunjuk dan jempolnya. Tiga jam sudah dia bersemedi di atas atap gedung kampus. Menghabiskan berbatang-batang rokok.

"Man, udahlah. Menurut gue Nayla nggak sepenuhnya salah, kok."

Rahang Rezer mengeras, dia kembali harus diingatkan kejadian itu. Walau melupakannya gitu aja memang nggak akan mungkin, tapi Rendy membuatnya seakan lebih jelas.

"Oke gini, Nayla emang salah karena nyembunyiin ini dari lo. Tapi lo juga harus pertimbangin alasannya kenapa dia sampe ngelakuin itu." Rendy memindahkan posisi tubuhnya yang tadi di samping Rezer, kini duduk tepat di depan cowok itu.

"Pertama, mungkin Nayla nggak mau nyakitin lo dan dia nggak sadar kalo lo akan lebih sakit saat tau itu dari orang lain."

"Kedua, gue yakin Nayla juga nggak suka dengan kejadian itu, lebih dari lo. Dia korban, Man."

Rezer hanya diam. Dia cowok, bukan tipikal orang yang suka curhat kayak cewek kebanyakan. Diamnya Rezer bukan nggak perduli, tapi lebih ke mikir.

"Gue yakin lo lebih paham masalah kayak gini." Lalu Rendy menepuk pundak Rezer, "kalo dengan menghukun Nayla kayak gini buat lo bahagia, lanjutkan Man. Cewek emang sekali-sekali harus digituin biar nggak ngambek-ngambek terus."

"Curcol?" Rezer akhirnya menyahut.

"Hahahahaha." Rendy tertawa lepas. Dia dan Tiar memang selalh berantem. Rasanya kalo nggak ada masalah, itu nggak mungkin.

"Lo ngeliat Nayla?"

Rendy menggeleng cepat, "hari ini gue nggak ngeliat dia sama sekali. Tiar sama Dizza aja nyariin."

Rezer langsung bangkit dari duduknya. Dia cemas, itu nggak bisa ditutupin. Tanpa pamit atau basa-basi A I U E O, dia cabut dari situ. Sebelum benar-benar menghilang, dia sempat mendengar teriakan Rendy.

"Kita sebagai cowok emang lemah, Man. Sesalah apapun cewek, tetep aja kita yang harus minta maaf. Hahaha!"

Lagi-lagi curcol, ckckck.

★★★

Rezer sampai di rumah, matanya memutari seisi ruang tamu. Karena nggak ada apa-apa, dia pun menuju dapur, di situ juga nggak ada yang dicarinya. Dengan langkah seribu dia naik ke atas, membuka pintu kamar, ke kamar mandi, tetep nggak ada. Hatinya mulai was-was. Dia langsung mengambil handphone-nya, berniat menelpon Nayla, tapi...

Rezer kembali memasukkan handphone-nya begitu melihat sosok istrinya itu sedang berenang di kolam renang yang ada di depan pintu utama kamar mereka. Istrinya itu terlihat baik-baik aja, walaupun agak sedikit muram. Rezer pun merasa lega, lalu diam-diam keluar dari kamar dan kembali menghilang.

★★★

Nayla duduk di sofa ruang tamu sambil mengganti-ganti channel TV tanpa minat sama sekali. Bukan siaran TV-nya yang nggak bagus, tapi suasana hatinya yang lagi nggak pengen nonton apa-apa.

"Ez kok belum pulang, ya?" Nayla melirik jam besar yang ada dumi dinding. Sudah jam 10 malam dan suaminya itu belum juga pulang, ngabarin pun nggak.

"Ez, kali ini kamu bener-bener marah sampe sama sekali nggak perduli sama aku. Aku harus gimana?" Air mata Nayla kembali jatuh. Wajahnya udah sembab banget, seharian ini dia lebih banyak nangis.

Dering handphone-nya berbunyi nyaring, secepat kilat Nayla menyambar handphone mahal itu. Wajahnya berubah lesu begitu melihat nama yang tertera di layar. Dia pun mengangkat dengan suara malas.

"Ya, Mam."

"Kamu dimana, sayang?" Mami mertua Nayla yang menelpon.

"Di rumah."

"Sama Rezer?"

"Nggak."

"Loh, dia kemana malem-malem gini?" Suara Mami terdengar nggak suka saat mendengar anaknya nggak di rumah nemenin istrinya padahal udah malem.

"Nggak tau." Jawab Nayla singkat.

"Ya udah kamu hati-hati ya sayang di rumah. Biar nanti Mami telpon Rezer suruh dia pulang."

Nayla langsung teringat sesuatu. Gimana kalo Mami nelpon Rezer terus Rezer cerita semuanya? Kan nggak enak...

"Eh, nggak usah, Mam. Nayla lupa kalo tadi Rezer pamitan mau ke rumah temennya, ada ngerjain tugas apa gitu dari kampus." Alibi palsu.

"Beneran?" Jelas Mami nggak percaya.

"Iya bener. Mami tenang aja, Nayla nggak papa kok di rumah. Palingan Ez bentar lagi pulang. Lagian kan ada Satpam, tiga lagi, jadi aman lah."

Mami terdengar menghela nafas, lega mungkin. "Ya, udah. Tapi kamu tetep harus hati-hati di sana. Rezernya ditelponin suruh cepet pulang."

"Oke, Mam."

"Malem, Sayang."

"Night, Mam."

Klik, telpon diputus. Wajah Nayla kembali manyun. Dia pengen banget nelpon Rezer, tapi di kondisi kayak gini, dia tau persis kalo itu nggak akan buat masalah selesai. Rezer perlu diberi waktu untuk menenangkan pikiran.

***

Married? OH NO!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang