Seharian ini aku hanya termenung, benar-benar kehilangan fokus dengan segala hal. Sampai-sampai Arima terus memandangku dengan tatapan cemas. Oke, salahkan kak Dani, dia yang bertanggung jawab dengan segala lamunanku hari ini. Salahkan segala tingkah anehnya yang manis pahit kemarin (walaupun kebanyakan pahitnya sih).
"Kamu aneh deh hari ini mi"
Ucapnya khawatir.
Aku langsung memutar kepala ke arah Arima. Saat ini aku dan Arima tengah berada di warung bakso mang Dadang, langganan kami yang terletak tak jauh dari sekolah.
"Gue baik-baik aja kok ma" ucapku sedikit ragu.
"Aih, bohong ih"
Arima memanyunkan bibirnya, matanya lalu melirik ke arah mangkok baksoku yang masih penuh.
"Tuh buktinya baksonya masih penuh" lanjutnya lagi.
Aku hanya cengar-cengir bego. Iya sih, wajar Arima curiga. Soalnya bakso adalah makanan favoritku. Setiap menghabiskan satu mangkok bakso, aku hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit. Dan sudah berlalu 30 menit sejak bakso ini dihidangkan. Tanpa sadar aku menghela nafas, hebat sekali pengaruh kak Dani. Bahkan dia bisa mengalihkan perhatianku dari makanan favoritku ini.
"Tuh kan ngela nafas, cerita dong mi kalau ada masalah"
Arima masih memandangku dengan tatapan khawatir. Duh Arima perhatian banget deh. Kalau aku cowok nih, udah dari dulu deh ku ajak jadian. Tiba-tiba aku teringat si ketua kelas lemot dan pemalu yang sudah dari dulu pdkt dengan Arima tapi belum juga nyatain perasaannya.
"Ngg.. Jadi gimana hubungan lo ama Revan ma?"
Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya sih aku pengen jujur dengan Arima tentang kegalauan dan kebingungan yang sedang melandaku. Tapi secara nih ya, topiknya adalah kak Dani, si berandalan tak punya hati, walaupun kemarin dia sedikit menunjukkan hatinya.
Arima menopang dagu, wajahnya terlihat kecewa
"Pengalihan pembicaraan" keluhnya.
Aku lagi-lagi cuma bisa cengar-cengir bego, rasanya memang susah banget deh nyembunyiin sesuatu dari Arima. Oke, aku menyerah.
Aku menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan
"Gini ma, gue ngerasa kak Dani rada aneh deh"
Arima menghernyitkan dahinya "aneh gimana?"
"Ya aneh, kadang-kadang galak, kadang-kadang baik" ucapku. Entahlah, sebenarnya aku sedikit bingung untuk mendeskripsikan diri kak Dani akhir-akhir ini.
"Baik gimana?"
"Ya.. Dia sering tiba-tiba perhatian gitu"
"Mungkin dia suka ama lo kali"
Rhea dan Keyla tiba-tiba nyerocos serentak sambil duduk tepat di sampingku dan Arima. Aku memutar bola mata kesal, nih bocah-bocah berasa kayak jelangkung deh, datang tak di jemput pulang tak di antar.
"Apa sih lo pada, main nimbrung aja" ucapku ketus.
Rhea justru tertawa sambil menoel bahuku
"Iih si Naomi, galak amat"
Aku hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. Udah lah ya, males juga harus ngeladenin nih anak.
"Rim, nggak apakan kalau kita gabung di meja kalian?. Udah penuh soalnya"
Tanya Keyla meminta izin. Arima hanya menjawab dengan anggukan.
"Nah Naomi, silahkan lanjutin cerita lo" perintah Rhea dengan mimik wajah serius.
"Males gue cerita ama lo pada, ember" jawabku malas.
Arima terkikik geli sementara Rhea dan Keyla memanyunkan bibirnya sebal.
Aku mengetuk-ngetukkan jariku, mempertimbangkan akan cerita ke mereka atau tidak. Hhh, oke deh, kayaknya aku cerita aja. Hitung-hitung menghilangkan kebingunganku.
"Jadi gini, gue...
Ucapanku terputus saat handphoneku berdering, Keyla dan Rhea serentak mendengus karena merasa terganggu. Aku melirik layar ponsel sambil menghernyitkan alis bingung, kayaknya aku nggak kenal deh nih nomor.
"Halo" sapaku.
Terdengar suara berisik di seberang sana
"Ini lo kan mi?"
Aku menghernyit, kayaknya aku kenal deh suara ini.
"Ini.. Emon..
"Mi mi, lo harus cepat kesini. Ini bener-bener gawat, pokoknya gawat segawat-gawatnya dan..
"Ish emon, pelan-pelan dong ngomongnya" selaku.
Ini si emon kebiasaan, ngomong nggak pakai rem.
"Oke maaf mi, tapi ini darurat mi, super emergency"
"Maksudnya?"
"Dani mi, Dani"
"Kak dani? Kenapa?"
"Dani Masuk rumah sakit mi, dia digebuki kumpulan preman dari kompleks sekolah lo. Ini gue dan Era lagi ngantarin dia ke rumah sakit" kali ini suara Emon semakin histeris.
Seketika jantungku mencelos. Bayangan kondisi kak Dani yang babak belur membuat keringat dingin bercucuran deras membasahi keningku.
"Di.. rumah..sakit mana?" tanyaku terbata, mencoba mengumpulkan energiku yang terasa hilang seketika.
"Di rumah sakit cipta bunda sebelum.."
Aku langsung mematikan handphoneku sebelum Emon menyelesaikan ucapannya. Dengan tergesa-gesa aku menyambar tas ku.
"Kak Dani kenapa mi? Kok bawa-bawa rumah sakit?"
Aku tak mempedulikan pertanyaan Arima dan tatapan bingung Rhea dan Keyla. Dengan cepat aku mengeluarkan uangku, meletakkannya di meja dan bergegas berlari meninggalkan warung bakso. Aku terus berlari dan menyetop taksi walaupun sayup-sayup aku mendengar Arima meneriakkan namaku.
"Pak, ke rumah sakit cipta bunda" ucapku dengan suara yang sedikit gemetar.Aku harus bergegas, rasanya pikiran buruk semakin menguasai pikiranku. Bagaimana kalau kak Dani harus masuk ke ruang ICU karena luka berat? Atau bagaimana kalau dia harus koma karena pukulan benda keras yang mungkin saja di bawa para preman itu? Ah ya ampun, rasanya segala imajinasi buruk langsung memenuhi otakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil and Me
Fiksi Remaja"lu budeg atau IQ lu jongkok sih?. lo kan gua suruh pajang boneka teddy bear. Kok lo malah majang boneka hiu ama dinosaurus sih? lo pikir ada yang mau masuk toko kalau pajangannya gitu?" "Lo bisa ngeliat gak sih? Yang nyari boneka anak cowok, lha lo...