BAB 3 Dia? Haruskah?

159 57 24
                                    

Tampak para pelajar bersenandung ria kesana kemari. Dengan baju identitas mereka masing-masing mereka mengayuh sepeda ontel dengan santai. Sesekali seorang pelajar yang usil, menendang bagian sisi sepeda ontel milik temannya hingga ia jatuh tersungkur ke tanah. Itulah masa SMA. Tidak lengkap tanpa kejahilan siswa cowok maupun kecentilan siswi cewek.

Dua hari berlalu. Dinda yang berjalan disampingnya lebih memilih sekolah dibanding membiarkan dirinya terpuruk dengan urusan cinta yang absurd. Mereka berjalan berdampingan. Tidak jalan kaki. Tidak pula naik sepeda motor. Karena sepeda motornya terlanjur hancur akibat kecelakaan itu.

Di pinggir jalan terdapat beberapa penjual jajanan pasar khas Solo. Jadi bisa dipastikan tidak ada murid yang akan kelaparan saat mereka masuk sekolah. Bagaimana tidak, harganya yang murah membuat banyak siswa tidak bisa berhenti jajan di tempat tersebut. Dengan uang kertas bergambar Pangeran Pattimura, sudah bisa mendapatkan sebiji putu ayu berukuran sedang.

Febby mengayuh sepedanya pelan. Menikmati keasrian tanaman hijau di sebelah kanan jalanan.

"Ya Tuhan... Seger banget udaranya. Ini di kota loh, kok bisa hawanya adem-adem semriwing gini." Ucap Dinda sambil menengadahkan kepalanya. Menikmati dedaunan yang beramai-ramai jatuh di wajahnya.

"Nggak usah lebay deh lo." Timpal Febby sambil tetap menatap keramaian kota.

"Siapa yang lebay, ini tuh mensyukuri nikmat Tuhan. Enggak kayak lo yang bisanya cuma ngomentari omongan gue mulu." Balas Dinda yang seolah sudah hafal kebiasaan sahabatnya itu.

Febby yang tidak terima segera melempar Dinda dengan segumpal daun yang tersaring di keranjang depan setangnya. Dindapun melakukan demikian.

Mereka kini telah sampai di depan gapura yang bertuliskan Tut Wuri Handayani.

"Feb, kemaren gue dapat info dari anak-anak katanya bakal ada guru baru loh," ujar Dinda memberi tahu. "Katanya sih ganteng gurunya." Ucapnya kembali.

Febby tidak menggubris omongan Dinda dan memilih melanjutkan perjalanan menuju lingkungan sekolah.

Tiba-tiba Febby memberhentikan sepedanya. Tatapannya tajam kearah depan. Tangannya kini memegang erat setang sepeda itu.

Dinda yang heran melihat sahabatnya langsung mengikuti kemana arah mata Febby melihat. Dinda tercengang melihat sosok pria tampan dengan gestur tubuh tinggi sedang berdiri di depan pos satpam.

"Ya Tuhan... Itu yang katanya bakal jadi guru kita. Gila ganteng banget woyy." Dinda histeris. "Din ayo kesana." Pinta Dinda.

"Enggak ah."

"Lo enggak mau parkirin sepeda lo." Febby tampak kikuk dengan ucapan Dinda. Karena yang dia omongkan benar. Namun, Febby tak kehabisan akal.

"Gue parkir luar aja."

Dinda mengernyitkan dahi. Lagi-lagi keheranan dengan tingkah sahabatnya yang masih pagi tapi sudah aneh. Mungkin dia lupa minum obat.

Febby melajukan sepedanya. Sedangkan Dinda memarkirkan sepeda di parkiran sekolah.

"Kok, bisa sih dia disini. Udah pembawa sial, kemaren juga enggak mau tanggung jawab lagi." Febby berbicara sendiri setelah beres memarkirkan sepedanya. Febby berjalan menuju lingkungan sekolah. Mata Febby terbelalak melihat Dinda sedang mengobrol dengan cowok itu. Melihat itu, Febby segera mempercepat langkahnya berpura-pura tak mengenal cowok itu dan menghindar dari Dinda. Langkahnya semakin cepat hingga bisa dibilang berlari.

Namun,

"Febby, sini-sini!" Perintah Dinda sambil melambai-lambaikan tangannya menyuruhku untuk mendekatinya. Cowok itu menatap Febby mendelik. Seolah-olah pernah melihat gadis tersebut. Febby mendekat dan berpura-pura tak pernah bertemu cowok tersebut. Dengan gaya sesantai mungkin Febby memulai pembicaraan.

F & GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang