BAB 7 Sebuah Perhatian

118 31 5
                                    

Kini siang berganti malam, suara kicauan burung digantikan dengan suara cicak yang berdecak. Sesekali deburan ombak terdengar kuat hingga ke tempat penginapan.

Tempat penginapan sederhana yang bernuansa tradisional. Dindingnya berasal dari anyaman bambu yang dianyam. Atapnya dari damen padi yang disusun rapat. Sangat rapat. Hingga ketika turun hujan, air tidak masuk kedalam ruangan.

Terlihat seorang gadis sedang berklekaran di atas kasur. Rintikan hujan di Gunung Kidul membuatnya betah melamun disana. Tangan kanannya memutar-mutar android yang berada di kanan tubuhnya dengan pandangan mata kosong ke arah atap.

Kejadian yang tidak pernah terpikir olehnya, jika ia baru saja menghabiskan waktu satu hari penuhnya dengan cowok yang ia juluki sebagai pembawa sial. Tertawa bersama dalam gendongan, membuat otak Febby dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang racau.

Kegelisahan terjadi sedetik berikutnya. Ia putar tubuhnya ke kanan lalu kembali ke kiri hingga kini tubuhnya kembali pada posisi semula. Cowok itu merasuki sebagian dari otaknya.

"Febby, lo enggak boleh gelisah. Febby enggak boleh ngerasain yang aneh-aneh. Udah cukup hidup lo kebanyakan drama. Jangan ditambah-tambah." Ucap Febby meyakinkan diri. Ia tidak ingin rasa itu menghampiri dirinya. Jangan sampai. Atau ia akan termakan omongan sendiri.

Dering telepon menyeruak dalam ruangan.

Lampu menyala di layar android itu. Dilihatnya Dinda yang sedang meneleponnya. Ia baru ingat bahwa selama di pantai, ia sama sekali tidak berbarengan dengan sahabatnya itu. Segera ia menggeser gambar gagang telepon di layar. Kemudian menempelkannya ke telinga.

Dinda: Hallo Feb.

Febby: Din, lo di kamar nomor berapa? Gue seharian enggak ketemu lo. Gue kangen tahu.

Febby memulai. Tidak peduli siapa yang menelepon duluan dan dengan tujuan apa meneleponnya.

Dinda: Ih, Febby. Yang nelpon siapa yang ngomong siapa.

Kesal Dinda yang berada di seberang.

Febby: Hahaha, oke-oke. Maafin kek. Lo kesini dong. Ke kamar 26. Gue mau curhat.

Dinda: gue juga mau curhat nih. Oke, tunggu disitu. Jangan kemana-mana

Panggilan terputus.

Febby menghela napas sembari menunggu sahabatnya yang hendak menemuinya. Dinda memang sahabat terbaik Febby selama ia tidak tinggal berbarengan dengan ayahnya. Segala kesedihan yang menjerat Febby lambat laun sirna ketika Dinda mulai datang dalam kehidupannya. Menjadi penasihat dan tempat mencurahkan segala kepedihan hidupnya.

Hidup Febby memang rumit. Ia memang memiliki ibu yang ia panggil Mama. Namun, ia sering kali ditinggal oleh ibunya untuk bekerja. Sehingga ia harus hidup berdua dengan Bi Inem yang sebenarnya sering sekali mengajaknya berantem.

Febby hanya menjalani hidupnya dengan bangun tidur, bersekolah, pulang, makan, belajar, belajar, belajar, dan tidur. Ya, Febby merupakan pelajar pandai. Namun, bukan berarti ia kutu buku. Ia lebih suka belajar dalam kondisi se-enjoy mungkin. Tak pernah mengekang diri untuk terus belajar.

Pelajaran favoritnya adalah Matematika. Pelajaran yang orang bilang merupakan Hell of lesson. Tapi bagi Febby matematika merupakan surganya pelajaran. Dimana logika dan penalaran yang dipakai, bukan sekedar menghafal materi.

Tok..tok..tok...

Sebuah anyaman pintu bergerak-gerak dan menimbulkan suara. Menandakan ada seseorang dibalik pintu tersebut. Febby yang awalnya duduk di kasurnya kini meraih sendal dibawah kasur dan berlari kecil ke arah pintu tersebut.

F & GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang