BAB 1 Misfortune

247 72 39
                                    

Sebuah tangan melayang menuju wajah pria itu. Kedua tangan pria itu menutup wajahnya. Namun, belum sempat tangan itu mengenai paras pria itu, Febby memberhentikan tangannya ketika melihat luka yang berselimut darah di tangan kiri pria itu. Tatapan Febby mengarah ke goresan luka dengan darah yang tak kunjung berhenti. Mengalir deras begitu saja.

"Tangan lo..." Kepanikan terlihat jelas di wajah Febby. Suaranya memelan perlahan.

"Tenang aja, ini enggak sebera..." Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan meraih tangan kiri pria itu. Tatapan tajam dan penuh iba terlihat jelas di paras gadis itu. Segera ia mengambil kotak P3K yang terletak di tasnya.

"Eh..eh.. jangan pegang-pegang tangan gue." Sahut pria berbaju Pegawai Negeri Sipil itu sesekali menarik tangannya.

"Lo bisa diem enggak. Atau malah gue bikin lebih parah." Tangan Febby dengan lihai membersihkan luka. Tampak peluh menetes di balik sisi keningnya. Menandakan gadis itu benar-benar emosi melebihi batas.

"Pokoknya lo harus ganti rugi semuanya. Termasuk sepeda motor gue, luka di lutut gue, sama nih... Jidat gue." Sembari menunjuk dahinya yang ternodai darah. Melanjutkan kembali proses pengobatannya.

Pria itu mengabaikan ucapan Febby dan memilih diam dan memperhatikan sepeda motor miliknya yang turut terluka parah sepertinya.

Suara dering ponsel menghapus ketegangan yang sempat terjadi beberapa detik silam. Segera pria itu meraih android yang berada di dalam saku bajunya. Pria itu berusaha menjauh mencari tempat sepi agar suara telepon terdengar jelas. Tampak pria itu mengangguk-anggukan kepala sesekali mengiyakan setiap percakapan yang ada.

Setelah menutup telepon, pria itu langsung meraih tasnya yang tergeletak di pinggir jalan lalu menaiki sepeda motor andalannya. Pria itu menyalakan sepeda motornya dan berniat untuk pergi.

Dengan sigap Febby berlari tepat di depan sepeda motor itu dengan posisi kedua tangan terbuka. Menghalangi pria itu supaya tidak pergi tanpa tanggung jawab.

"Lo mau kemana? Ganti rugi dulu baru lo boleh pergi." Pinta Febby dengan pandangan mengarah telak ke pria itu.

"Gue ada urusan penting. Minggiirrr." Tlakson sepeda motor di nyalakan keras-keras supaya gadis itu bisa minggir dari hadapan pria itu. Suara gas yang juga turut menyerbunya membuat Febby mengurungkan niat untuk menghalangi pria itu.
Febby memundurkan tubuhnya dengan tatapan tak percaya. Segera sepeda motor itu menghilang bersama dengan pemiliknya ditelan ribuan pengendara yang memadati kota Solo.

Melihat sikap pria itu, membuat Febby tak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang Pegawai Negeri Sipil memiliki sikap seperti dia. Bukankah yang harusnya ia lakukan itu meminta maaf dan bersikap berwibawa layaknya pegawai yang lainnya.

Febby mendengus kesal. Ia memilih untuk meraih tas punggungnya dan mengamati kondisi sepeda matic favoritnya yang kini kehilangan salah satu spionnya. Febby menghembuskan nafas beratnya lalu menepuk jok sepeda itu.

Kalo bukan karena makhluk tadi. Ini sepeda enggak mungkin jadi butut kayak gini

Batin Febby dengan sejuta rasa penyesalan karena membiarkan pria itu lolos begitu saja.

Tiba-tiba Febby teringat dengan Dinda yang tadi sempat menemuinya di lokasi. Pandangan mata Febby mengitari seluruh sudut jalan. Tak menemukan gadis berseragam sepertinya itu.

Segera ia meraih ponsel dari dalam tasnya. Mengirim barisan kalimat di layar kosong androidnya.

To: Dinda Galaksi

Din.. lo dimana. Kok ngilang sih. Ini udah sore. Cepet muncul di lokasi semula. Lo pikir nyari Batang hidung lo di tempat kayak gini gampang? Lo sama kuntilanak kan beda tipis. hahaha... Cepet balik. Keburu Maghrib.!!!

Send

Lima menit menunggu Febby tak kunjung mendapat balasan pesan dari Dinda. Pikirannya mulai menebak-nebak dengan apa yang terjadi pada Dinda.

Lalu ia menscrool down daftar kontak yang ada di dalam androidnya. Hingga ibu jarinya berhenti pada sebaris nama Dinda Galaksi yang telah terpampang di layar. Ditekannya tombol call.

Terdengar suara dengan instrumen yang sama secara bergantian dan seirama.

Tak ada jawaban dari Dinda dan tak ada vocal dari gadis itu. Mengetahui tak ada hasilnya, ia memilih untuk kembali ke rumahnya sebelum mamanya memarahinya karena pulang ke sorean dengan kondisi fisik yang tidak karuan baik dirinya maupun sepeda motornya.

***

Dimasukinya sebuah gerbang besar bermotifkan ukiran dengan Pak Yono, sopir sekaligus penjaga rumah yang saat ini sedang menutup pintu gerbang.

Dilihatnya mobil Avanza putih terparkir rapi di garasi.

Duhh.. Mama udah pulang lagi

Gumam Febby dalam hati. Segera ia menutup luka di dahinya dengan poni panjangnya. Lalu membersihkan debu jalanan yang masih melekat erat di roknya.

Ditariknya nafas panjang-panjang dan dihembuskannya perlahan.
Dimasukinya pintu itu dengan pelan. Tanpa suara. Berharap mamanya tidak mengetahui kepulangannya.

Febby berjalan berjinjit sembari pandangan matanya mengitari seluruh ruangan memastikan tidak ada mamanya di ruangan seluas itu.

Langkahnya kini menuju ke sebuah tangga besar yang menjuntai tinggi menuju kamarnya di lantai dua. Sebelum kaki itu meraih tangga. Sebuah tangan menepuk bahu gadis itu dan seketika itu juga, gadis berambut lurus itu membalikan tubuhnya dengan sepasang mata yang membulat.

"Non, ngapain ngendap-ngendap kayak gitu. Mau maling yaa?" Sebelah tangan Bi Inem memegang bahunya dan sisi lainnya menunjuk tajam ke arah wajah Febby.

"Diihhh.. maling. Memangnya ini rumah, rumah siapa?" Tanya balik Febby berkacak pinggang.

"Rumah Nyonya Rani." Jawab Bi Inem seenak jidat.

"Nyonya Rani siapanya Febby?" Kali ini Bi Inem benar-benar mengajak ia bermain tebak jawab yang entah kapan selesainya.

"Mamanya Non Febby." Bi Inem mengucapkannya dengan menggaruk kening kanannya.

"Jadi ini rumah juga milik Febby dong. Lagian buat apa Febby maling perabotan rumah ini. Toh semua barang yang disini juga milik Febby." Febby memutarkan bola matanya. Berhasil menang atas perdebatan sengit dengan pembantunya.

Pembantu itu menungging senyum sinis ke arah Febby. Seolah memiliki ide di dalam otaknya.

"Kok Non Febby baru pulang? Hayoo... Tak bilangin ke Nyonya loh ya pulang malem-malem" dengan mata berbinar tanpa dosa, Bi Inem menatap cerdik Febby dengan sesekali mengangkat sepasang alisnya berulang-ulang.

"Jangan... Jangan... Jangan!!" Panik Febby mendengar perkataan pembantunya. Di keluarkannya selembar kertas berwarna hijau bertuliskan Dua Puluh Ribu Rupiah dari saku seragamnya.

"Nihh.. buat tutup mulut." Sambil menyodorkan uang itu ke hadapan Bi Inem. Segara di raihnya uang tersebut lalu memasukan uang itu kedalam kantong saku rok panjangnya.

"Siapp non. Tak jamin enggak bakal bilang ke Nyonya. He he he." Bi Inem seperti biasa mampu menutup mulutnya asal ada tip sebagai jaminannya.

Febby menepuk bahu Bi Inem tanda berterimakasih atas kerja sama yang merugikan ini. Terutama bagi Febby yang harus berulang-ulang mengeluarkan satu dua peser uang sakunya.

F & GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang