[BAB 6]

836 53 3
                                    











Suara sepatu yang berdecitan sedari tadi sudah tak terdengar lagi. Gino membaringkan tubuhnya sambil memegangi botol air mineralnya di atas lapangan basket mini di halaman belakang rumah Ervan.  Napasnya memburu, tak jauh beda dari keempat orang disekitarnya.

Seperti rutinitas biasanya, mereka mengadakan tanding basket kecil-kecilan di rumah Ervan dan bagi mereka yang menang, mereka dapat membuat tim yang kalah langsung drop mood, mengunci diri di pojokkan kamar sambil meringkuk, meratapi nasib. Oke, selanjutnya berlebihan, tapi paling tidak dapat menjadikan mereka badut lelucon atau pesuruh yang membuat mereka seharian dapat misuh-misuh bak orang PMS.

Seperti yang Arha dan Kavian lakukan kali ini. Menjadi pelayan setia bagi majikannya alias Gino dan Ervan. Sementara Riko? Oh, laki-laki itu cari aman. Ia hanya menjadi wasit, jadi ia terbebas dari masa hukuman di lain sisi juga tak dapat menikmati pelayanan gratis dari teman-temannya. Setidaknya itu lebih baik, pikir Riko.

“Kencengan dikit kipasnya,” celetuk Gino sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya.

“Iya-iya! Jadi cowok bawel amat lo,” gerutu Arha sambil mempercepat gerakan tangannya yang sudah pegal.

Ditengah-tengah Gino sedang mengembalikan staminanya, ponsel yang terletak  di sebelahnya berdering menandakan ada pesan masuk. Meihat nama yang tertera pada layar ponselnya membuat Gino memutar bola matanya sebelum mengangkat telepon tersebut dengan malas.

“Halo,” sapa Gino dengan nada jengah.

“Halo, Sayang. Kok angkatnya lama banget, kamu lagi sama temen-temen kamu ya?” suara seorang gadis di seberang sana memenuhi salah satu telinga Gino.

“Hm,” jawab Gino singkat.

“Eh sayang. Jalan yuk! Lagi ada film bagus nih di bioskop, yuk yuk!” ajak gadis di seberang sana antusias.

Gino mendengus sesaat. “Yaudah entar rada sorean deh.”

Kemudian gadis di seberang sana memekik girang seolah Gino bagaikan undian berhadiah yang ia menangkan. Setelahnya, telepon di putus.

“Sama yang mana lagi, Bang?” goda Arha senyum jahilnya terkembang, masih sambil mengipasi Gino. Kasihan.

“Gaya lo, kayak lo lebih bener aja. Udah ah, gue cabut dulu.” Gino kemudian bangkit dan mengambil jaket, helm sebelum pergi menggunakan motornya.

Sementara di sana ada upik abu yang sujud syukur ditinggal majikannya.



~• •~




Gadis dengan rambut sepunggung itu mengedarkan pandangannya dari arah balkon kamarnya. Menatap kerlipan lampu dari area taman belakang serta beberapa rumah di sekitar kompleks. Ia mengembuskan napasnya sesaat sebelum kembali memikirkan keputusannya ini.

Verica tahu bahwa keputusan yang ia buat tak sepenuhnya benar. Namun jika ia tetap bergeming di Paris, rasa menyesakkan itu dapat menyerangnya bertubi-tubi. Ya, lari dari masalah tidaklah benar, Verica tahu itu. But, it damn hard to belive that your special one make your heart break.

Verica meneguk ludahnya sebelum mendengar notifikasi pesan masuk dari ponselnya.

Hey, don’t do this to me. You didn’t know what is the truth. I will give you a reason, trust me, please.

Verica menatap jengah pesan itu sebelum membanting ponselnya ke atas kasur.

Tak berselang lama, suara ketukan pintu terdengar di kamarnya. Dari balik pintu, wajah Derfin yang mengembangkn senyum simpul terlihat. Verica mengerutkan keningnya sekilas meminta keterangan maksud kedatangan Derfin kemari.

Sejak dari kafe tempo hari, Derfin memang merasa ia menjadi lebih nyaman dengan Verica. Tak seperti kebanyakan orang, rasa takut dan cemas Derfin apabila orang yang dikenalnya mengetahui tentang OCD yang dialaminya, dengan Verica rasa takut dan cemas itu seakan menguap untuk sesaat. Aneh, tameng dari diri Derfin yang biasa ia pasang seakan lenyap.

Derfin mengangkat dua buah ice cream yang ia bawa. Verica tersenyum sebelum menerima uluran salah satu cup ice cream rasa vanilla.Dan hal yang Verica lakukan selanjutnya adalah menonton film thriller dari salah satu DVD koleksi Derfin.

Kondisi ruang keluarga di lantai satu malam itu cukup sepi sehingga tak menganggu keduanya untuk melebur ke dalam film yang mereka tonton lebih jauh. Verica menyendokkan ice cream di genggamannya disela-sela fokusnya sambil sesekali mengerutkan keningnya untuk menelaah hal apa yang akan selanjutnya terjadi pada si tokoh utama. Hal tersebut tak jauh beda dengan yang dilakukan Derfin yang berada di sebelah Verica.

“Gue gak nyangka lo bakal milih film ini, padalah gue udah siapin film-film rom-com atau genre yang lebih ringan buat jaga-jaga.” Derfin berbisik pelan agar tak menganggu suara dari film.

Kepala Verica tertoleh untuk memperlihatkan alisnya yang terangkat sambil menatap Derfin. “ Kok gitu?” Verica menyendokkan ice cream ke mulutnya.

Derfin menggaruk tengkuknya. “Ya,, gue pikir cewek gak terlalu suka sama konflik yang terlalu ribet, palingan juga konflik romansa aja,” celetuk Derfin asal.

Verica tak bisa menahan kekehannya kala itu. “Gak semua cewek kayak gitu kali, bahkan dulu nih kalau di sekolah aku tiap akhir tahun ajaran angkatan aku ada tradisi buat nonton bareng gitu, nah justru yang cewek banyakan minta genre thriller kalau gak horor."

“Asyik juga tuh.” Derfin manggut-manggut sebelum kembali lagi memfokuskan diri pada film.

Verica menyendokkan suapan terakhir ice cream-nya. Film yang mereka tonton pun sudah mencapai bagian akhir dimana si tokoh utama pria berhasil mengungkapkan siapa dalang dibalik teror yang menewaskan orang-orang disekitarnya. Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Kali itu terdengar suara pintu terbuka sebelum disusul sosok Randy yang menenteng jas dan tas kerjanya, hari itu laki-laki itu terpaksa lembur untuk mengejar deadline untuk menyiapkan beberapa berkas sebelum diserahkan pada pemegang saham perusahaan.

“Ini pada belum tidur?” tanya Randy sambil melepas sepatunya.

“Belum. Baru aja selesai nonton film,”jawab Derfin.

Tak lama, suara pintu garasi yang terbuka kemudian tertutup disusul dengan derap langkah kaki terdengar. Suara itu membawa sosok Gino yang masih mengenakan jaket diatas kaus yang dikenakannya melintas begitu saja, seolah hanya ada benda-benda saja disana.

Melihat itu, Randy hanya memejamkan matanya sambil mendengus sesaat sebelum pamit untuk kembali ke kamar sebelum disusul Derfin dan Verica karena memang sudah larut.

Sampai di kamarnya, Verica hendak menutup pintu kaca geser menuju balkkon kamarnya agar udara dingin tak masuk, namun ia justru terdiam sesaat. Indera penciumannya menangkap bau tak asing baginya. Maka untuk menyelidiki dari mana bau itu berasal, ia melangkahkan kakinya menuju balkon. Dan, Verica mengernyitkan dahinya begitu menemukan Gino sedang menghisap benda itu dari balkon Gino yang bersebelahan dengan balkon miliknya.

“Masih ada ya orang yang mengharap sesuatu dari benda mati.”

Gino tertoleh ke samping demi melihat sosok Verica yang ikut bertengger pada pembatas balkon. Gino malas menanggapi lebih jauh, maka ia memilih untuk bungkam dan menghisap kembali benda silinder itu. Membumbungkan asap putih untuk menyatu dengan udara.

“Lagi ada masalah?” Verica menoleh menatap Gino.

“Gak ada sangkut pautnya sama lo,” ucap Gino singkat dan kembali lagi mengisap benda yang tinggal setengah itu.

Verica terkekeh pelan. “Harus ya punya masalah dulu sama kamu baru bisa berurusan sama kamu. Ribet ya kalau orang lain mau jadi teman kamu, gimana mau jadi peduli kalau temenan aja susah.”

Gino terhenyak sesaat, kepalanya kembali teralih pada Verica. “Jangan sok tahu kalau lo gak paham.” Gino mendesis sambil memandang lekat mata Verica. “Oh dan satu lagi, jangan coba ngusik gue lagi.”

Verica hanya mengembuskan napas pelan, bahkan raut wajahnya santai tak terlihat terganggu dengan tatapan menghunus Gino. “Oke, yaudah aku ke kamar duluan. Good night!” Verica menyunggingkan senyum tipisnya.

“Oh ya, tapi aku gak janji untuk nurutin permintaan kamu dalam jangka panjang.” Dan setelah itu Verica baru benar-benar menghilang di dalam kamarnya.

Malam itu tanpa sepengetahuan Verica, kata-katanya itu menjadi teman malam Gino meski ia sudah coba menepisnya.


——

Charming Twin Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang