[BAB 8]

703 53 6
                                    










Sambil menyedot es jeruk di gelasnya, diam-diam Gino mengamati dari sela-sela pundak Ervan dan Riko yang duduk membelakangi seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda yang saat ini sedang menerima pesanan bakso miliknya. Seringaian muncul di wajah Gino.

“Lo ngapain senyum-senyum? Lagi sakit lo?” celetuk Ervan mulai ngeri melihat wajah Gino dihadapannya.

“Gak, kebetulan cuaca lagi bagus aja bikin mood gue bagus,” jawab Gino asal.

Mendapat jawaban seperti itu sontak membuat yang lain bengong, bahkan Riko hampir saja tersedak porsi kedua siomaynya. Sejak kapan seorang Gino peduli soal cuaca?

“Kayaknya otak lo beneran geser gara-gara ketimpuk bola kemarin,” komentar Arha dengan sedikit iba melihat keadaan temannya itu.

Gino mengamati Verica yang mulai menyendokkan suapan pertamanya. So, Let see. Apa lo masih bisa main-main sama gue setelah ini.

Beberapa menit sebelumnya, Gino telah memasukkan beberapa sendok sambal dari cabai rawit merah yang sekiranya cukup untuk membuat gadis yang tak terbiasa makanan pedas melet-melet mencari air sana-sini bak ikan dikeluarkan dari air.

Gadis itu tampak memejamkan matanya beberapa detik. Mampus lo. Namun, hal selanjutnya yang terjadi justru diluar kepala Gino. Gadis itu menyendokkan untuk kedua, ketiga, bahkan untuk kesekian kalinya sambil beberapa kali hanya mendesis ringan. Terlihat menikmatinya. Dan saat itu juga, Gino tersedak es jeruknya sambil terbatuk-batuk yang lagi-lagi membuat Arha, Kavian, Riko, dan Ervan menoleh serempak ke cowok itu dan langsung menepuk-nepuk punggungnya.

“No, sadar No.” Kemudian Arha berkomat kamit dan langsung mendorong sesuatu dari punggung Gino.

“Gue bukan kesurupan bego!” sentak Gino pada Arha dalam sela-sela batuknya.

“Lah, abis lo bengong aja dari tadi gue pikirnya kesurupan,” balas Arha polos.

“Eh No. Lo ada rahasia dari kita ya?” tembak Ervan masih sambil mengelus tengkuk Gino agar reda batuknya.

Gino mendehem singkat selepas mendengar pertanyaan dari mulut Ervan. “Gak. Cuaca tiba-tiba jadi jelek. Au’ah. Gue duluan.” Kemudian Gino meninggalkan tempat itu begitu saja.
Dan yang lain pun akhirnya melempar pandangan saling curiga.




~• •~




“Lo lagi sakit, Ver?” pertanyaan itu meluncur dari Derfin begitu cewek yang masih berseragam dengan rambut kuncir kuda yang saat ini awut-awutan kembali dari kamar mandi kafe untuk kedua kalinya.

“Kayaknya aku salah makan deh. Jangan-jangan gara-gara makan bakso tadi,” gumam Verica pelan yang terduduk lemas di kursinya.

“Hah? Kok bisa?” tanya Derfin tampak khawatir. Laki-laki itu menutup laptopnya agar tak menghalanginya untuk berbicara dengan Verica.

“Iya. Tadi aku makan bakso. Perasaan aku, tadi gak pesen yang pedes tapi datangnya justru pedes. Yah, gara-gara aku juga kangen masakan pedes jadi aku makan aja. Tapi mungkin perut aku belum kuat kali ya?” ucap Verica dengan sisa tenaganya.

“Yaudah, mending sekarang kita pulang aja. Nanti di jalan gue cariin obat di apotek.” Derfin langsung bangkit dari duduknya dan membereskan barang-barangnya diatas meja.

“Eh. Gak usah segitunya. Nanti aku istirahat sebentar mungkin juga udah ilang,” sergah Verica agar tak merepotkan Derfin yang harus repot beli obat ke apotek hanya karena perutnya yang sedang tak bersahabat.

“Udah. Lo jangan ngeyel sama gue,” tukas Derfin yang langsung membuat Verica bungkam dan memilih menuruti kemauan Derfin. “Lo masih bisa dibuat jalan?”

“Masih.”

Pelan, Derfin meniti Verica menuju mobilnya. Pikirannya sedikit terpantik mendengar penuturan Verica. Apa mungkin mereka?

Duga Derfin yang mengarah pada para―sebut saja―haters yang terkadang terlalu kejam. Entahlah, itu hanya sebatas praduga Derfin saja.




~• •~




“Udah enakan belum?” Derfin datang sambil menggenggam secangkir teh dan duduk di pinggiran kasur Verica.

“Iya, udah. Thanks udah nolongin aku.” Senyum tersungging dari bibir Verica sambil menerima secangkir the hangat dari tangan Derfin.

My pleasure. Yaudah gue balik ke kamar ya. Nanti kalo ada apa-apa jangan sungkan panggil gue atau Bi Ijah ya. Good Night.” Derfin kemudian bangkit dari kasur Verica.

“Thanks, night.”

Selepas Derfin meninggalkan ruangan itu, Verica menyesap pelan teh hangat di genggamannya. Rencananya setelah menghabiskan secangkir teh tersebut ia akan segera tidur agar besok tak kesiangan. Tidak lucu kan, baru saja masuk sekolah satu kali keesokannya sudah mencatatkan masalah.

Kurang lebih tiga puluh menit, cangkir tersebut baru benar-benar kosong. Verica sudah membaringkan diri diatas bantalnya dan bersiap menarik selimutnya tatkala tiba-tiba suara seperti kerikil yang menghantam kaca berulang kali terdengar. Merasa terusik, Verica terpaksa bangkit dari kasurnya dan mengecek sendiri hal apa yan menimbulkan suara tersebut.

Verica merangsek menuju balkon dan membuka pintu geser dan saat itu ia langsung menemukan sosok Gino yang masih sambil menyulut benda silinder di mulutnya membentuk seringai di mulutnya. Dan otak Verica langsung dapat menangkap maksud dari seringai itu.

“Masih mau nantangin gue?” tanya Gino tajam sambil membumbunkan asap putih ke udara.

Verica menyingkirkan rambutnya yang menghalangi wajah. Kemudian tawa kecil berderai.

"Ngapain lo ketawa-tawa, hah?!" tukas Gino.

Tawa Verica berhenti. Matanya kini justru menatap dalam manik mata Gino. "Segitu takutnya sih kamu sama aku, hm?"

Raut wajah Gino berubah, menatap gadis itu tak percaya. Harga dirinya benar-benar tercoreng. "What?! Takut? Sinting lo. Yakali gue takut cuma sama cewek kaya lo," hardik Gino. Rahangnya mengeras.

Verica mengembuskan napasnya. "Aku kesini baik-baik, ya. Tapi sepertinya kedatangan aku justru mengancam seseorang, right?"

Mendengar itu emosi Gino benar-benar tersulut. Ia menarik wajah gadis yang berada di balkon sebelahnya yang jarakanya benar-benar dekat dengan balkon kamarnya. Mata elang Gino mengunci tajam mata kecokelatan Verica.

"Cukup lo tinggal disini. Jangan ganggu gue. Dan jangan sok tahu soal gue, ngerti?" ucap Gino dalam. Tangan kanannya menarik bahkan hampir menjambak rambut Verica yang terurai demi memangkas jarak di antara mereka.

Namun, Verica bak rusa yang tak ada takut-takutnya meski singa di hadapannya sudah mengeluarkan taringnya. "Aku gak setuju."

"Gue gak minta persetujuan lo," balas Gino semakin mengeratkan tangannya di tengkuk Verica.

"Dan aku gak minta pendapatmu," balas Verica dalam.

"Beri gue alasan," ucap Gino. Matanya mencari-cari jawaban dari manik mata Verica. Apa yang diinginkan gadis sinting itu darinya.

"Kamu," tukas Verica.

Dahi Gino semaki mengerut. Jawaban Verica benar-benar tak masuk dengan akalnya. Emosinya semakin menjadi-jadi, serasa ada api yang membakar tubuhnya.

"Kamu kesepian. Bantah kalau salah." Mata cokelat Verica tak takut menatap mata Gino yang benar-benar menyiratkan kemelut emosinya.

Gino menelan ludahnya. Tangan kirinya yang bebas mengepal kuat. Ia kemudian menyentakkan tangan kanannya kuat, melepaskan tengkuk Verica.

Laki-laki itu segera berjalan membelakangi Verica yang jemarinya menahan tubuhnya di besi pinggiran balkon.

"Lo udah buat pilihan yang salah. Sekarang, lo gak bakal gue biarin mundur," tukas Gino sebelum masuk ke kamarnya dan membanting pintu kacanya kuat.


——

Charming Twin Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang