[BAB 10]

572 41 2
                                    






“Gino, sini aku suapin siomaynya.” Clarista memotong siomay di piring menjadi lebih kecil sebelum ia masukkan ke mulut Gino.

“Uluh-uluh…Kamu mau adek suapin juga, Bang?” ucap Arha genit sambil mepet-mepet ke Kavian di sebelahnya.

“Anjir. Najis banget,” tukas Kavian langsun sambil menjauhi Arha. Dan laki-laki itu tertawa melihat reaksi Kavian.

Dari meja yang berjarak dua meja dari meja dimana Gino dan yang lainnya duduk, Verica, Alea, dan Shiffa memperhatikan adegan tersebut.

“Pst. Gue denger semalem abis putus sama si Vita tadi pagi langsung nembak si Nenek lampir. Sumpah ya playboy abis tuh cowok,” bisik Shiffa sambil mengaduk-aduk lemon tea miliknya.

“Halah. Gitu-gitu lo juga doyan, kan?” balas Alea langsung.
Shiffa hanya terkekeh sambil melayangkan jarinya yang dibentuk angka dua.

“Kok bisa sih?” gumam Verica pelan sambil mulai menajamkan matanya untuk menilai sosok Gino dari atas hingga bawah, perasaan biasa saja, seperti cowok pada umumnya. Tapi kenapa kok banyak cewek pada nempel ya?

Dan disaat Verica masih melayangkan pandanannya, seperti mendapat radar, tiba-tiba Gino menoleh ke arahnya. Anehnya, ada perasaan tidak tenang yang tiba-tiba saja muncul dalam diri Verica. Kemudian, laki-laki itu mengeluarkan seringaiannya seolah merasa menang karena berhasil menangkap basah ia diperhatikan oleh Verica. Ditengah Verica yang tiba-tiba merasa sedikit panik seolah pencuri yang tertangkap, Derfin muncul dihadapannya yang akhirnya seolah  dapat menjadi benteng anatara dirinya dengan Gino.

Tanpa Verica sadari, ternyata Shiffa sudah terperangah dengan kehadiran Derfin disisi lain Alea yang saat ini sibuk menyadarkan temannya satu itu. Bukan hanya mereka, pandangan para siswi yang saat ini berada di kantin menjadi terbagi dua antara Derfin atau Gino.

“Ver, gue bisa minta waktunya bentar?”

Gadis itu mengangguk sebelum mengikuti langkah Derfin.

Dan siapa sangka, kala itu kernyitan tiba-tiba muncul di dahi Gino.

~• •~

Derfin menghentikan langkahnya begitu sampai di daerah koridor yang masih sekitaran kantin.

“Mau ngomongin apa?” tanya Verica kemudian.

“Uhm, jadi gini.” Derfin menggaruk tengkuknya. Ada rasa aneh yang menggerogoti dirinya yang membuat lidahnya seakan tak ingin mengungkapkan kata-kata selanjutnya. “Entar gue kan mau ada pendalaman materi buat persiapan OSN. Nah, abis itu mau ada rapat OSIS buat bahas event sekolah.”

Verica tak berkomentar untuk membiarkan Derfin leluasa berbicara.
“Pak Yatno juga katanya gak bisa soalnya mau jemput Papa. Terus, lo juga kan gak mungkin naik angkutan umum, takutnya entar malah lo nyasar. Jadi…” Derfin menggantungkan kalimatnya. Sementara Verica mengangkat alisnya agar Derfin segera melanjutkan kalimatnya.

“Ya, kalau lo gak keberatan pulangnya rada telat, lo bisa bareng gue, gimana?” Pada akhirnya Derfin menyeselesaikan kalimatnya.

“Lo bisa bareng gue!”

Saat itu juga Derfin yang berhadapan dengan Verica reflek langsung menoleh ke arah suara yang sangat taka sin bagi mereka. Suara yang hanya memiliki kemungkinan 0,001% mengatakan kalimat tersebut.

Dan, Gino berdiri di seberang sana dengan seringannya.

“Lo bisa ikut gue,” ulang Gino ketika tiba dihadapan Verica dan Gino. Tanpa sempat Verica melakukan protes, Gino sudah terlebih dulu mendekati gadis itu. “Itu kan yang lo mau. Udah gue bilang lo gak bakal bisa mundur lagi,” bisik Gino di telinga Verica.

“Verica tetep pulang bareng gue!” tukas Derfin tiba-tiba. Bahkan tanpa laki-laki itu sadari tangannya sudah terkepal di balik saku celananya.

Gino memundurkan tubuhnya dari Verica dan menatap Derfin sangsi. Seringai itu juga tetap terukir di bibir Gino. “Anak teladan macam lo gak perlu repot-repot ngurusin hal yang bisa bikin masa depan lo keruh,” ucap Gino pelan namun tajam dan menghunus bagi pendengarnya.

Kemudian, Derfin hanya bisa melihat bagaimana Verica tiba-tiba ditarik oleh Gino.

~• •~

“Gino! Gin, Gino! Lepasin.”

Laki-laki itu tetap bergeming. Berbanding terbalik dengan Verica yang harus berkali-kali menundukkan wajah saat lewat di depan gerombolan murid-murid yang langsung menjadi penonton dadakan melihat pemandangan itu.

Claresta yang ikut melihat pemandangan itu langsung mengepalkan tangannya. Gigi-giginya bergemeletuk. Ada yang menabuh genderang perang padanya di siang bolong begini. Matanya memicing ke anak baru yang tak bukan adalah Verica.

"Lepas!"

Gino melepaskan pergelangan tangan Verica setelah sampai di depan kelas Verica. Wajah Verica bersungut-sungut berbanding terbalik dengan wajah Gino yang saat ini tersenyum menang.

"Gue ke kelas dulu ya. Kalau udah pulang tunggubdi kelas nanti gue jemput," ucap Gino sambil tersenyum lebar di depan wajah Verica.

Laki-laki itu kemudian mendekati telinga gadis itu. "Jangan harap lo lari dari gue."

Kemudian Gino mengacak pelan poni Verica sembari menyunggingkan senyum sebelum melengang pergi seenaknya.

Verica melongo di tempatnya. Bukan hanya dia saja. Keempat teman Gino yang menyaksikan itu sudah tepuk jidat, lagi-lagi sahabatnya berulah. Sementara Shiffa sudah hampir pingsan, tubuhnya saat ini di topang oleh Alea yang berdiri di sebelahnya, membayangkan betapa beruntungnya dia jika berada di posisi Verica. Sementara Clarista menghentakkan kakinya ke keramik sebelum pergi disusul dua 'dayang-dayangnya'.

Rupanya permainan baru benar-benar dimulai.

——

Charming Twin Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang