•
•
•Verica menyandarkan tubuhnya dibalik pintu kamar setelah ia menutupnya. Air mata yang berusaha ia bendung akhirnya pecah. Gambaran-gambaran ingatan kelam itu berkelebat di kepalanya, seolah semakin membuatnya mengorek luka yang nyatanya tak pernah kering.
Sesak. Astaga rasa sakit itu tetap mengekorinya hingga tempat ini. Apa-apaan ini, mengapa semesta sekejam ini padanya?
Verica membungkam mulutnya menggunakan lengannya. Ia tak ingin orang diluar sana mendengar isakannya. Ia saat ini benar-benar butuh sendirian. Jika saja bisa, jika saja mungkin, Verica ingin mendapatkan obat untuk lukanya yang kini menganga lebar. Meski hanya sesaat Verica membutuhkannya.
~• •~
Selepas makan siang yang terpaksa ia lakukan ia langsung masuk ke kamarnya. Gino yang saat ini hanya mengenakan celana pendek terbaring di atas kasurnya, pikirannya melayang kearah kejadian tadi sore. Entah apa maksudnya itu yang pasti Gino merasakan ada yang tak biasa dari Verica.
Gino mendecih pelan. Kenapa ini? Kenapa ia harus begitu peduli dengan gadis yang hanya akan menjadi bonekanya. Seharusnya ia tak perlu sampai memikirkan apakah kondisi Verica saat ini baik-baik saja atau tidak, seharusnya ia hanya fokus untuk menaklukkan gadis itu saja, seharusnya ia tak perlu repot-repot mencemaskan Verica seperti sekarang.
Shit.
Gino kembali mengenakan kaosnya dan keluar menuju balkon kamarnya sebelum loncat menuju balkon kamar Verica. Gino meneguk ludahnya. Tiga ketukan ia layangkan di pintu kaca yang membatasinya.
Tak ada jawaban.
"Ver?" panggil Gino pelan.
Tak ada jawaban.
"Gue masuk ya?" Tanpa menunggu jawabannya ia langsung menggeser pintu kaca itu.
Gelap. Hening. Gino mencari saklar lampu dan menyalakannya. Lengang.
"Ver?" Gino menyibak selimut di atas kasur. Hanya ada bantal beserta guling.
Gino menyugar rambutnya. Ia melirik jam di dinding kamar gadis itu untuk mendapati bahwa lima belas menit lagi pukul sepuluh malam. Gino mendesah pelan.
Sementara itu, Derfin menghentikan sejenak mengerjakan tugasnya. Lagi-lagi diliriknya jam diatas nakas. Sudah jam berapa ini? Dan sudah keberapa kalinya Derfin bolak-balik ke kamar Verica atau tanya pada Bi Ijah tentang keberadaan Verica. Namun sama saja.
“Waduh Den, Non Verica belum pulang,” jawab Bi Ijah sekenanya.
Derfin mengempaskan tubuhnya ke sofa sambil mengusap wajahnya. Selepas pulang sekolah tadi, Verica memang pamit untuk kerja kelompok ke rumah temannya. Bahkan, anehnya Verica bersikeras untuk tak diantar Derfin karena katanya sudah diberi tahu alamat rumah temannya secara detail jadi tinggal menyebutkannya pada taxi. Verica juga bilang katanya tak akan pulang terlalu malam. Tapi apa ini? Jam bahkan sudah melewati pukul Sembilan.Derfin tahu, ini ada yang tak beres. Maka dari itu, ia membuat kebohongan kecil pada Arista, ia mengatakan bahwa Verica sedang tertidur di kamarnya.
"Astaga... Lo dimana Ver?" batinnya.
Derfin mengembuskan napasnya sebelum kembali mengontak Verica, lagi-lagi tidak aktif. Derfin menjadi semakin gusar. Degup jantungnya mulai tak teratur lantaran memikirkan bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Verica. Derfin juga sudah meneggak dua cangkir kopi untuk mengenyahkan kecamuk aneh yang baru-baru ini terjadi padanya. Namun, rasanya itu seperti hal tak berguna karena kecamuk itu menyerangnya lagi dan lagi.
Derfin memejamkan matanya sesat sebelum memilih untuk kembali ke kamarnya. Saat hendak menaiki tangga, dirinya justru bertemu dengan Alen yang sedang menuruni tangga sambil membawa gelas kosong.
“Any problem?” tanya Alen langsung karena melihat air muka diwajah Derfin.
“No. I’m fine.” Derfin bermaksud ingin melanjutkan langkahnya.
“Maybe a movie can help? I can’t sleep too.”
Maka disinlah Derfin sekarang. Sambil ditemani beberapa camilan, Derfin dan Alen menyaksikan salah satu film genre rom-com hasil dari pilihan Alen. Alen benar, cara ini dapat menenangkan Derfin sesaat, hitung-hitung sambil menunggu Verica pulang sebab, kalau saja Derfin tahu alamat rumah temannya itu sudah sejak tadi ia menyeret Verica untuk segera pulang.
Lagi, gelegak tawa tertahan tercipta dari Alen. Sementara Derfin hanya memandang lurus kearah layar plasma dengan pikiran terbagi-bagi. Namun, tiba-tiba tawa Alen terhenti, gadis itu menoleh kearah sepupunya itu. “Fin,” panggilnya.
Derfin ikut menoleh menghadap gadis itu. Wajahnya menyiratkan untuk gadis itu melanjutkan kalimatnya.
“Do you like her?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Twin Boy
Teen Fiction[COMPLETED] Apa yang kamu pikirkan pertama kali saat melihat Gino Zeoland Wiratmaja? - Nakal? - Urakan? - Playboy? - Ganteng? Dan bagaimana pendapatmu pertama kali saat melihat sosok Derfin Zeoland Wiratmaja? - Pinter? - Baik? - Rajin? - Ganteng? Da...