•
•
•Saat itu, matahari benar-benar hampir tenggelam kala Verica tiba bersama Gino di halaman rumah laki-laki itu. Perjalanan pulang kali ini, dadanya benar-benar bergemuruh sampai-sampai deru mesin motor Gino seolah bisa terkalahkan.
Gino menggandeng pergelangan tangan Verica menuju teras rumahnya. Selepas kalimat itu meluncur dari bibir Verica, gadis itu benar-benar mengunci mulutnya. Ia benar-benar tak tahu bagaimana harus menghadapi Gino yang kini mengetahui apa isi hatinya.
"Eh, Den Gino udah pulang. Itu Den ada yang nyari, katanya temennya Den Gino gitu." Bi Ijah dengan serbet yang ia sampirkan si bahunya menghampiri Gino yang baru saja membuka pintu rumahnya.
Kemunculan Bi Ijah yang tiba-tiba sontak saja membuat Verica melepaskan tangan Gino dari pergelangannya. Ia belum siap jika orang-orang dirumah ini mengetahui hubungannya dengan Gino kini telah berubah.
Sementara itu, Gino melangkahkan kakinya menuju bagian ruang tamu. Laki-laki itu mengernyit mendapati laki-laki dengan kaos polo berwarna putih duduk membelakanginya, menatap belakang taman yang ada di hadapannya.
Mendengar suara ketukan sepatu Gino yang beradu dengan lantai laki-laki itu bangkit dari duduknya dan membalikkan badan demi mendapati Gino yang berdiri di belakangnya. "Gino! Apa kabar bro!" Laki-laki itu langsung menghambur ke arah Gino sembari memeluknya singkat.
Saat itu juga. Saat dimana Verica baru saja akan mengumpulkan puing-puing hatinya yang telah hancur berserakan, kekejaman semesta kembali menghunus tepat di hatinya. Bola mata gadis itu bergetar, mulutnya sedikit terbuka seolah tak memercayai apa yang ada di hadapannya.
Tubuhnya mematung. Jantung yang sedari tadi berdetak seolah mencelus begitu saja. Oksigen di sekelilingnya seperti direnggut, sesak. Perih. Nyeri dari luka yang ternyata sudah bernanah itu kembali lagi.
"Calsen?" tanya Gino tak percaya dengan laki-laki di hadapannya. "Kok lo tiba-tiba di Indo?" sambung Gino, bola matanya menatap kawan lamanya itu tak percaya.
"Bisa dong. Hehehe," laki-laki itu terkekeh sambil nyengir.
"Derfin man...na...." Suara Calsen seketika hilang begitu saja.
Sekali lagi, mata cokelat Verica beradu dengan mata biru laki-laki yang mengajarkannya apa itu cinta sekaligus laki-laki yang juga mengajarkannya seberapa nyeri rasanya dihianati.
"Ver...?" pangil Calsen dari bibirnya yang mulai terasa kelu. Calsen hanya ingin memastikan bahwa indera oenglihatannya hanya salah tangkap. Takdir semesta nyatanya benar-benar tak bisa ditebak. Disaat ia akan berusaha mencari Verica, gadis itu kini justru sudah ada di hadapannya.
Mendengar itu Gino seketika menoleh ke belakang punggungnya. Saat itu juga matanya menangkap bola mata Verica yang bergetar menatap lekat laki-laki di hadapannya. Otaknya berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi, namun nihil. Ia tak dapat menemukan sebab gadis yang kini telah menjadi miliknya itu mematung di tempatnya bak melihat hantu.
"V-Verica?" panggil Calsen lagi, kini laki-laki itu bergerak mendekati gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu.
Merasakan sebuah ancaman yang mulai masuk ke zona amannya sontak saja membuat kaki gadis itu mundur beberapa langkah, sembari menggigit bibirnya yang mulai bergetar gadis itu berlari. Verica kembali melewati pintu rumah itu, berpapasan dengan Derfin yang saat itu baru selesai memarkir mobilnya. Verica tak peduli, bahkan panggilan dari laki-lakinitu tak ia hiraukan.
Saat ini yang ada di pikirannya hanyalah pergi, menjauh, sebisa mungkin laki-laki itu benar-benar tak kembali ke peredaranya. Seiring waktu, air mata mulai melelehi pipinya.
"Ver, please! Kasih aku kesempatan buat jelasin," teriak Calsen di belakangnya. Namun, Verica tetap memacu langkahnya. Tubuhnya yang lelah ia paksakan untuk terus berlari menjauhi sahabat sekaligus mantan kekasihnya itu. Ya, itulah kesalahan yang Verica sadari, ketika kau berpacaran dengan sahabatmu sendiri saat itu juga seharusnya kau siap untuk kehilangan dua orang yang oaling kau sayangi, sahabat juga kekasihmu.
Verica terus berjalan membelah jalanan kompleks yang dingin. Bola matanya menangkap sebuah tempat tepat di sebelah minimarket. Sontak saja Verica menyelinap ke belokan kecil itu. Tubuhnya berjongkok di sebelah tempat pembuangan sampah. Ia tak peduli, yang saat ini ada di kepalanya adalah ia butuh tempat untuk tak bertemu lagi dengan Calsen.
"Ver!" Seru Calsen. Laki-laki itu menoleh ke sana kemari, namun Verica hilang bak ditelan angin. Ia mengesah pelan sebelum melanjutkan langkahnya berbelok ke salah satu jalan blok lain.
Dari salah satu celah Verica bisa melihat punggung Calsen yang mulai menghilang. Saat itu, oksigen seolah kembali padanya. Ia menghela napas lega. Verica menggigit bibir sembari menepuk-nepuk dadanya, berharap tangisnya segera berhenti.
Namun, saat itu tiba-tiba sebuah tangan terulur. Tangan itu menutup kedua mata Verica yang saat ini benar-benar basah. Gadis itu sedikit terkejut sebelum sebuah suara menenangkan kekalutannya.
"Ssst. Gino bakal jagain Verica, jadi jangan lari lagi, ya?" bisik laki-laki itu. Salah satu tangannya terulur menutup mata Verica.
Gelap. Saat itu tubuhnya kembali merasakan semilir angin yang menggelitik tubuhnya. Seiring dengan itu, tangisnya mulai mereda. Gino menurunkan telapak tangannya yang basah oleh air mata gadis itu.
Saat itu, mata kemerahan bertemu dengan iris mata Gino. Verica meneguk ludahnya sebelum mengangguk. Tanpa diminta, laki-laki itu menghapus jejak air mata di pipinya.
"K-kamu... gak mau tanya sesuatu?" celetuk Verica. Matanya mengerjap, sesunggukan itu masih ia rasakan.
Gino tersenyum simpul. "Gue bakal tunggu sampai lo cerita sendiri, oke?"
Kemudian laki-laki itu menggandeng tangan Verica. Gino benar-benar membuktikan syarat yang dimintanya. Bahkan laki-laki itu rela menjadi tameng sekaligus orang yang menguatkan langkah Verica saat dirinya mulai limbung. Kali itu, Verica sadar bahwa Gino memang pantas untuk menjadi alasannya bertahan.
——
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Twin Boy
Teen Fiction[COMPLETED] Apa yang kamu pikirkan pertama kali saat melihat Gino Zeoland Wiratmaja? - Nakal? - Urakan? - Playboy? - Ganteng? Dan bagaimana pendapatmu pertama kali saat melihat sosok Derfin Zeoland Wiratmaja? - Pinter? - Baik? - Rajin? - Ganteng? Da...