[BAB 12]

566 42 1
                                    

Hai, hai gue balik lagi !
Jadi gini, jujur aja gue seneng banget melihat buah karya gue ini bisa berkembang dengan baik.

Dan jujur aja, gue nulis ini pun juga butuh perjuangan, entah memikirkan alur, koreksi, dll.

Dan mungkin bisa jadi karya ini bisa menginspirasi pembaca. Gue seneng kalau bisa jadi bagian untuk pemacu inspirasi kalian untuk berkarya.

Tapi, terinspirasi itu ada batasnya. Intinya, bagi kalian kaum plagiat. Cerita ini murni dari pemikiran gue sendiri, jadi mohon, jadilah pembaca yang bijak.

Jadi mohon bantuannya buat para pembaca, jika nemuin cerita yang sama kayak ini, lapor ke author.

Nanti, bakalan author pertimbangin kok, alesan alesan dia kenapa. Jadi gak main semprot.

Tapi kalo udah kelewatan ya...
Ps. Author ini orangnya menyesuaikan kondisi kok, kamu baik—aku baik. Dan sebaliknya.

Oke, itu adalah curahan hati penulis #lol.
So, happy reading guys








Ada yang berbeda dengan suasana SMA Purna Harapan saat itu. Dominasi pembicaraan kali ini bukan hanya oleh para siswi saja, bahkan para siswa juga ikut bergabung karena topik universal ini. Ya, apa lagi kalau bukan tentang desas-desus ‘penyerangan’ yang makin santer terdengar.

Asap putih membumbung tinggi dari mulut Gino. Kali ini, laki-laki itu ditemani keempat teman dekatnya beserta beberapa anak lain dari kelas dua belas dan sebelas mulai gencar menyusun barikade pertahanan sekaligus yang dapat melumpuhkan musuh saat itu juga.

Dan, laki-laki itu mengakhiri pembicaraannya seiring dengan telinganya mendengar sebuah deruan beberapa motor yang mulai mendekat. Gino melemparkan punting rokoknya dan menginjaknya sampai tak menyisakan bara api. Then, the show will begin.

Kalau boleh dibilang, Gino mengakui kebolehan timing yang mereka buat, pas saat jam pulang berlangsung yang pasti akan memakan lebih banyak korban. Namun karena desas-desus itu tak hanya sampai di telinga para murid, maka tepat setelah bel pulang berbunyi, pengumuman penting dari pusat langsung menyahut, mereka mengabarkan untuk sementara menutup akses keluar masuk sekolah terkait dengan penyerangan itu.

Beberapa murid ada yang pasrah menunggu dalam kelas, namun ada juga yang takut-takut mengintip dari arah jendela dan koridor lantai dua yang menghadap ke jalanan. Sementara itu, kali ini Gino sudah bersiap di posisinya beserta yang lainnya. Pasukan garis depan, pertahanan, serta penyerang jarak jauh sudah tertata rapi dan tinggal menunggu waktu.

Beberapa detik berlalu. Gino menelan ludahnya sementara matanya menatap tajam ke depan. Geerombolan anak berseragam yang datang mengendarai motornya itu semakin terlihat jelas. Perguliran detik seakan terasa cepat, hingga akhirnya, BAM!

Kejadian itu dimulai. Riuh redam mengisi jalanan yang kala itu tergantikan oleh lautan manusia dan lemparan-lemparan batu sebesar kepalan tangan. Beberapa tongkat juga ada yang melayang. Bimo masih berjaga di tengah barisan sambil mengarahkan serangan.

Laki-laki itu mengeluarkan seringainya tatkala pandangannya berserobok denganGino yang kala itu juga menjadi pemimpin pasukannya.

“WOI! MAJU! Barisan dua tutup barisan depan!” teriak Gino lantang yang tanpa jawaban meski hanya sekadar anggukan tapi langsung dilaksanakan tanpa protes. Seakan tanggap, sedari awal para pedagang yang seolah dapat mengendus kejadian ini langsung menutup toko dan menyembunyikan barang dagangannya agar tidak ikut kena amuk masa.

Charming Twin Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang