[BAB 22]

494 32 0
                                    










Derfin yang sedang duduk di salah satu sudut kafe ditemani secangkir espresso terhenyak kala mendengar dentingan ponsel di atas mejanya. Setelah membaca pesan yang tertera di layar ponselnya, segera Derfin menyesap cepat isi cangkirnya hingga tinggal menyisakan ampas kehitaman yang kontras dengan warna putih cangkir itu.

Setelahnya Derfin segera bangkit dari kursinya dan menuju ke kasir. Derfin harus mengantri dua orang lagi, sekitar lima menit, hingga tiba gilirannya. Sesudah melakukan transaksi dan mendapatkan struk ditambah salam dari si penjaga kasir, Derfin melangkah keluar. Untungnya rumah sakit ini terbilang cukup lengkap dari segi fasilitas, sehingga Derfin tak perlu repot-repot keluar rumah sakit lagi untuk mencari restoran.

Di resto tersebut, Derfin memesan dua sandwich tuna dibungkus. Kurang lebih tiga puluh menit, pesanannya siap dan Derfin kembali diminta melakukan transaksi. Derfin menyerahkan dua lembar seratus ribu rupiah pada penjaga kasir.

Lagi, setelah menerima struk beserta uang kembaliannya. Derfin berlalu menuju lift.

Sementara disisi lain, Verica sedang duduk di bangku yang membelakangi jendela, menghadap tempat tidur pasien. Punggungnya terasa hangat oleh mentari pagi. Sudah sepuluh menit berlalu ia hanya duduk diam disini demi mengiyakan permintaan Gino. Lantas, atas dasar apa dia memintanya untuk tetap disini dan mengorbankan perutnya yang kelaparan hanya untuk duduk diam tidak jelas begini.

Gino juga, ia tetap mengunci mulutnya semenjak pernyataan beberapa menit lalu, yang berakhir dengan momen canggung menyekik mereka sampai sekarang. Sejujurnya Gino juga bosan jika hanya diam-diam begini, tapi Gino sedari tadi masih sangsi untuk buka mulut. Lebih tepatnya, bingung memilih topik apa yang akan dibicarakan.

"Uhm." Gino berdehem sambil memainkan jemrinya yang berada diatas perutnya. "Ver―"

Verica mendongak menatap Gino meminta melanjutkan ucapannya, tapi cowok itu justru mengalihkan pandangannya kearah pintu. Otomatis, Verica ikut menggulirkan bola matanya kearah yang dipandang Gino. Disana, terdapat keempat teman Gino yang menatap kearah Gino dari sela-sela kaca pintu sambil cengar-cengir.

Astaga... Jadi sedari tadi mereka diawasi? Bahkan mereka rela harus bertumpuk-tumpuk demi melihat Gino dan Verica yang sedari tadi toh hanya diam-diaman. Sampai-sampai belingsatan kala Verica hampir keluar tadi. Mereka kocar-kacir cari tempat persembunyian teraman sebelum kembali melanjutkan pengintaian saat tahu Verica batal keluar.

Gino mendengus pelan sambil memberikan tatapan tajam, menyuruh keempat temannya enyah dari sana sekarang juga. Meski dengan rasa terpaksa yang tampak dari raut wajah mereka, terutama Riko si tukang kepo, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu juga.

Hening kembali menyergap ruangan itu. Detik-detik kembali terlepas sia-sia.

"Kenapa?" Akhirnya giliran Verica yang buka mulut karena dari sikapnya seolah Gino tak akan melanjutkan ucapannya.

"Gue―"

Interupsi kembali hadir, seolah semesta tak membiarkan mereka untuk memotong tembok es diantara keduanya. Derfin memasukki ruangan sambil membawa seplastik besar berisi kardus makanan. Tanpa ucapan permisi, Derfin duduk di sofa sebelah Verica yang hanya dibatasi meja berukuran kecil.

"Nih, punya lo. Semoga lo suka." Derfin menyodorkan tumpukkan pertama kardus itu yang langsung disambut hangat oleh Verica.

"Thanks," balas Verica seraya tersenyum simpul.

Keduanya segera membuka kardus yang berisi sandwich tuna, kepulan uap putih masih membumbung mengantarkan aroma sedap ke hidung-hidung ketiga manusia disana. Melihat bagaimana saus mayonnaise dan aroma cincangan daging tuna membuat Verica tak bisa menahan gejolak dalam perutnya lagi. "Mari," ucap Verica sambil bersiap menyantap seporsi roti isi tersebut diikuti dengan Derfin.

"Punya gue mana?" Mendengar pertanyaan yang keluar tanpa permisi menyentak keduanya untuk menyadari bahwa masih ada manusia lagi dalam ruangan itu. Sejenak, mereka kembali memundurkan sandwich itu yang sudah tiga centi dari mulut mereka.

"Tadi katanya kenyang. Sampek sarapan lo aja gak lo habisin," tukas Derfin sambil mengarahkan pandangannya pada meja di sebelah Gino yang diatasnya terdapat bubur dan beberapa lauk serta seporsi sayur yang semuanya hanya dimakan seperempat bagian.

"Gue gak doyan makanan rumah sakit, hambar semua."

"Yang nyuruh sakit siapa? Ini kan konsekuensi yang lo ambil sendiri―"

Sebelum pertikaian kembali berlanjut dan berujung pada bocornya informasi bahwa Gino terbaring disini karena ditusuk, Verica segera meghentikan ucapan Derfin. "Nih." Verica menyodorkan setengah potongan sandwich itu dihadapan Gino.

Keduanya hening menatap Verica. Hingga detik berikutnya Derfin segera menyergah, "Jangan, entar lo laper."

"Gak usah deh. Gue udah gak laper," celetuk Gino.

Verica memutar bola matanya, cowok itu egonya tinggi sekali. "Udah ambil aja." Belum sempat Gino membantah, suara perutnya yang seperti diberi toa memekakkan telinga ketiganya. Gino hanya bisa memejamkan matanya menerima egonya kembali dikalahkan.

"Tapi, Ver—"

"Udah gapapa, lagian gue udah gak begitu laper," balas Verica meyakinkan Derfin.

"Ehm—gak usah. Lo makan bagian gue aja." Derfin dengan ogah-ogahan menyodorkan bagian miliknya.

Gino bengong menatap dua porsi setengah sandwich dihadapannya. "Cepet ambil, pegel gue," sentak Verica.

"Boleh... suapin?" ucap Gino sambil nyengir.

"Jangan ngelunjak bego," tukas Derfin.

~• •~


Sore itu, Arista masuk ke kamar anak laki-lakinya untuk mengambil beberapa kebutuhan yang diperlukan Gino selama di rumah sakit. Ia menyusun barang-barang itu ke dalam tas berwarna biru tua yang ia letakkan di atas kasur.

Setelah beberapa saat berkutat dengan potongan-potongan baju, mata perempuan yang berusia mendekati kepala lima itu menangkap sekotak kardus yang ada di dasar lemari berwsrna putih itu.

Sembari mengernyitkan dahinya, Arista memindahkan kotak yang ternyata agak berat itu ke atas kasur yang ditutupi sprei kelabu. Begitu membuka kotak kardus itu mata Arista langsung membesar. Bola matanya bergetar seirama dengan jemari tangan kanannya yang gemetar demi meraih tumpukkan benda-benda yang ada disana.

Medali Perak Kejuaraan Karate Tingkat SMA, Juara I Lomba Band Kategori Umum, Peraih Juara I Kategori Alat Musik Drum.

Dan masih banyak lagi tumpukan medali, piala, bahkan piagam yang lecek. Seketika itu juga tubuh Arista luruh bersamaan air matanya yang mulai mengaliri pipinya. Ribuan rasa bersalah menghantamnya tanpa ampun. Rasanya sungguh menyesakkan. Jadi, selama ini... ia yang mentup mata dari anak laki-lakinya itu. Ia sendiri yang menjatuhkan Gino ke jurang itu.

"Ris, ayo— Kamu kenapa?" Randy yang baru saja datang untuk mengajak istrinya segera berangkat ke rumah sakit langsung melangkahkan kakinya menuju Arista yang sudah meringkuk di atas lantai keramik sembari memegang benda berkilau di tangan kanannya.

"G-Gino..." lirih Arista, matanya yang benar-benar basah menatap Randy. Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya.

Randy menatap isi kardus itu. Saat itu juga, seketika ribuan belati seolah menghantamnya. Yang mereka sadari saat itu adalah mereka sendiri yang mendorong Gino ke jurang itu tanpa memberikan kesempatan Gino untuk memohon pengampunan.



——

Charming Twin Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang