•
•
•
Saat ini Derfin menatap kembarannya yang terkulai lemas diatas tempat tidur rumah sakit dengan tubuh yang dililiti selang-selang. Sudah semalaman Gino tak membuka kelopak matanya. Tadi Derfin sudah menelepon Arista dan Randy, dan katanya mereka akan langsung mengambil penerbangan secepatnya, kemungkinan sampai pada tengah hari.
Matahari menelisik dari balik tirai, sedikit memberikan kehangatan pada ruangan yang diisi oleh suara napas Gino dari balik masker oksigennya. Derfin menarik salah satu kursi kearah sebelah tempat tidur Gino. Memberi sedikit suara decitan yang memenuhi setiap sudut ruangan.
Setelah mendudukkan tubuhnya, mata Defin segera melekatkan pandangan pada wajah tenang Gino. Mengamati setiap jengkal gestur wajah Gino. Hening, suara detak jarum jam sedikit memberi hiburan.
Derfin akhirnya memejamkan matanya untuk kemudian dibukanya lagi. Helaan napasnya mengambang ke udara.
"Lo tahu kan, No? Kalau gue benci sesuatu yang gak pada tempatnya."
Derfin tersenyum kecut.
"Jadi, seharusnya lo tahu kalau lo harus tetap pada tempatnya, lo harus tetap ada di peredaran mata gue. Karena gue benci mengakui kalau gue bakal kehilangan orang yang gue sayang."
~• •~
Gino mengerjapkan matanya beberapa kali karena terpapar oleh sesuatu yang sangat menyilaukan. Hangat. Ah, rupanya matahari yang tengah berada di peraduannya. Kemudian Gino merasakan sesuatu menjilati mata kakinya, dingin. Gino menunduk, rupanya riak ombak.
Gino menelengkan kepalanya ke segala arah. Ini... Pantai?
Tapi, selama Gino menyapukan pandangannya ke sekitar, tak ada seorang pun yang ia temui. Gino melangkah perlahan di bibir pantai, meninggalkan cekungan di pasir pantai sebelum dihapus kembali oleh air laut.
Gino menghela napasnya, sambil berjalan-jalan menikmati sepoi-sepoi angin pantai yang mengacak-acak jambulnya. Hingga selang beberapa menit, angin laut menyapa telinganya dengan sebuah suara. Gino menghentikkan langkahnya. Seperti sebuah... tawa seseorang.
Gino mendongak, mengalihkan pandangannya dari buih-buih air laut yang membasahi kakinya. Matanya menyipit untuk mempertajam pandangannya. Yang tertangkap oleh mata Gino ialah sebuah rambut panjang hitam legam tergerai yang menutupi sebuah punggung.
Gino kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hanya ada pantai pasir putih yang sangat sepi. Tidak ada orang lain disana selain Gino dan sesosok yang Gino harap ialah manusia.
Gino melangkah perlahan menghampiri sesosok tersebut yang sedang duduk-duduk di sebuah gugusan batu menghadap matahari yang sudah hampir tertelan oleh ombak dilautan. Menyisakan nuansa hangat dengan sisa semburat oranye memenuhi langit bersih tak tersaput awan.
Gino berdehem pelan saat sudah berada di belakang sesosok itu. Menyadari keberadaan Gino, sesosok tersebut menoleh. Saat itu juga, bola mata cokelatnya membesar. Mulutnya setengah terbuka.
Sesosok gadis yang dimata Gino seperti malaikat itu tersenyum lembut kearahnya. Wajahnya yang cerah terpapar oleh sinar hangat sang surya. Garis wajah yang sudah terlihat berbeda dari goresan wajah terakhir yang terpatri dalam diri Gino. Tapi, Gino masih ingat matanya, mata yang selalu membuat api didalam diri Gino padam.
Gino meneguk salivanya untuk membasahi kerongkongannya yang kering. "Ver?"
Senyum semakin merekah dari bibir merah mudah gadis itu. Sontak mata Gino melebar melihat respon gadis itu. Mulutnya sedikit terbuka menampilkan dereta gigi putihnya. Sungguh, otaknya tak sanggup mencerna hal apa yang sedang dialamiya saat ini.
"Gino? Dari tadi kamu kemana aja?" Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Khas Verica saat mengomelinya. Tapi, di mata Gino saat ini rasanya ada yang lain dari gadis itu. Gadis itu, mampu menggetarkan detak jantungnya.
"A-aku..." ucap Gino lirih. Ia benar-benar memaksakan pita suaranya untuk bersuara. Namun, sebentuk kalimatpun tak mampu ia selesaikan.
Tiba-tiba saja senyum gadis itu meredup. "Waktu kita gak banyak, Gin. Aku mau bilang, tugas kamu udah selesai, Gin."
Gino yang berdiri di hadapan gadis itu mengerutkan dahinya, ia benar-benar tak paham dengan ucapan Verica saat ini, apa mungkin gadis itu melantur?
Seolah tak peduli dengan kebingungan Gino, gadis yang betul-betul menyerupai Verica itu melanjutkan ucapannya. "Kamu gak perlu ngelindungin aku lagi, ya?"
Mendengar itu entah mengapa degup jantung Gino makin tak beraturan. Napasnya memburu. Bibirnya bergetar. Ada apa?
Tiba-tiba saja gadis itu melangkah menjauh. Gaun putihnya yang menjuntai menyapu pasir pantai. Melihat itu, sontak saja Gino langsung menyusul langkah Verica. Tangannya berusaha mencekal pergelangan tangan Verica.
"J-jangan tinggalin gue Ver... cuma lo yang gue punya," lirih Gino, wajahnya tertunduk menatap pasri pantai yang berwarna sedikit jingga.
Beberapa detik hanya diisi deburan ombak yang menabrak batu karang.
"Bukan aku yang ninggalin kamu... Tapi Gino yang pergi," tukas Verica kemudian menyentak tangan Gino.
Gino membeku di tempatnya. Jantungnya serasa berhenti memompa darahnya. Hidungnya pun berhenti memasok oksigen ke paru-parunya.
~• •~
"200 juole, all clear?" tanya dokter dari balik masker hijau yang dikenakannya.
"Clear!" jawab serentak beberapa perawat yang berada dalam ruangan itu.
Selanjutnya, dokter segera menekan tombol shock sambil menempelkan alat defibrillator yang membuat tubuh Gino kejang sesaat sebelum kemudian terkulai lemas kembali. Setelahnya segera dokter tersebut memeriksa defibrillator paddle, dilanjutkan memeriksa keadaan denyut nadi Gino.
Dokter tersebut menghela napasnya sesaat sebelum melakukan CPR pada Gino. Sementara diluar ruangan tersebut, doa'a-do'a sedang dipanjatkan. Berharap Gino bisa segera melewati masa kritisnya dan kembali membuka matanya.
"No, gue belum mau kehilangan lo," ucap Riko sambil sesunggukan sendiri. Segera saja laki-laki itu mendapat sentilan di dahinya.
"Gino gak bakalan kemana-mana!" Arha menyentak Riko disebelahnya sebelum pandangannya kembali lagi teralih pada Gino. "Gue tau Gino bukan orang selemah itu. Dia cuma kecapekkan aja makanya mau istirahat bentar. Mungkin beberapa hari dari sekarang dia bakalan balik lagi gabung kita dikatin, bakalan cari cewek baru lagi, bakalan ngelakuin banyak hal lagi kayak biasanya," gumam Arha sambil tersenyum kecut menatap Gino.
——
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Twin Boy
Teen Fiction[COMPLETED] Apa yang kamu pikirkan pertama kali saat melihat Gino Zeoland Wiratmaja? - Nakal? - Urakan? - Playboy? - Ganteng? Dan bagaimana pendapatmu pertama kali saat melihat sosok Derfin Zeoland Wiratmaja? - Pinter? - Baik? - Rajin? - Ganteng? Da...