•
•
•Derfin mengetuk pelan pintu kamar Verica. Perasaannya selama ini benar, ada yang tidak beres dengan gadis itu. Insiden tadi sore pun seolah mengamini dugaannya. Laki-laki itu meneguk salivanya, rasanya kali ini gadis itu sudah benar-benar jauh dari rengkuhannya.
"Ya?" Verica membuka pintu kamarnya. Suaranya serak, matanya yang bengkak tak mampu disembunyikan cahaya kamarnya yang remang-remang.
"Boleh gue masuk?" tanya Derfin ragu.
Verica mengangguk kemudian menyilakan laki-laki itu untuk masuk. Derfin duduk di kasurnya sementara Verica melangkah ke kursi meja belajar yang ada di hadapan laki-laki itu.
"Ada apa Fin?" tanya Verica dengan suaranya yang parau.
Derfin mengembuskan napasnya. "Harusnya gue yang tanya, lo kenapa? Kan gue udah bilang kalau ada masalah lo bisa cerita ke gue," balas Derfin meski di lubuk hatinya ia tersenyum kecut lantaran meyadari bahwa ia bukan lagi orang kepercayaan gadis itu. Ia bukan lagi orang yang dicari gadis itu ketika meminta perlindungan.
"Maaf..." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Kenapa sesulit ini untuk berbagi cerita kepada Derfin?
Derfin mengembuskan napasnya. "Lo gak salah, Ver. Mungkin gue aja yang gak peka sama lo," gumam Derfin. Sorot mata laki-laki itu meredup.
Laki-laki itu bangkit dari duduknya. "Yaudah, lo istirahat, Ver. Maaf kalau gue ganggu," ucap Derfin. Laki-laki itu kemudian melangkah mendekati pintu keluar dari kamar itu.
"Calsen mantan aku, Fin."
Gerakan Derfin yang akan memutar kenop pintu berhenti. Perlahan, laki-laki itu menoleh demi mendapati Verica yang menundukkan wajahnya.
Derfin perlahan menghampiri gadis itu. Ia berjongkok untuk menyejajarkan pandangannya. "Maaf... aku gak bermaksud..." Kali ini, bibir Derfin rasanya kelu. Rasanya, ia terlalu egois untuk memaksa gadis dihadapannya mengorek lagi lukanya demi memberinya sebuah jawaban.
"Ini bukan salah kamu kok," balas Verica sembari menyunggingkan senyum masam.
Derfin mengusap pelan punggung tangan Verica. Mata cokelatnya menatap teduh gadis di hadapannya. "Sekarang, kemanapun Verica melangkah, Derfin bakal ada di belakang Verica. Gue bakal ada di sisi lo, sebelum lo jatuh ke jurang, gue bakal tarik, karena Derfin sayang sama Verica. Dan Derfin gak bakal biarin siapapun nyakitin orang yang Derfin sayang..."
Saat ini, Verica masih terduduk di kursi meja belajarnya. Derfin sudah meninggalkannya bermenit-menit yang lalu. Didalam cahaya kamarnya yang remang-remang, ditengah atmosfer kamarnya yang hening. Kepalanya bagai kaset rusak memutar kembali ucapan Derfin.
Verica meneguk ludahnya. Kata-kata itu... tak mungkin ia bisa melupakannya. Kembaran laki-laki itu, Gino, juga mengatakan hal yang sama. Dan mirisnya lagi, kali ini Derfin hanya dikalahkan oleh waktu.
~• •~
"Lo yakin gapapa?" tanya Gino yang masih duduk di atas motornya.
Verica mengangguk yakin. "Oke, gue tunggu diluar ya," ucap Gino sembari mengacak pelan poni Verica membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya.
Kemudian Verica mendorong pelan pintu kafe bernuansa coklat itu. Alunan petikkan lembut menyambut indera pendengaran Verica begitu melangkahkan kaki lebih dalam ke kafe. Iris matanya ia gulirkan menyapu seisi kafe sebelum akhirnya menemukan sesosok laki-laki yang duduk di dekat jendela mengamati lalu lintas kota yang lumayan macet sambil meikmati secangkir kopi hitamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Twin Boy
Teen Fiction[COMPLETED] Apa yang kamu pikirkan pertama kali saat melihat Gino Zeoland Wiratmaja? - Nakal? - Urakan? - Playboy? - Ganteng? Dan bagaimana pendapatmu pertama kali saat melihat sosok Derfin Zeoland Wiratmaja? - Pinter? - Baik? - Rajin? - Ganteng? Da...