4. Janji Sebuah Harapan

518 110 31
                                    

"Apakah ... aku memang tak boleh memaafkanmu?" tanyanya dengan penuh kecemasan dan ketakutan.

Aku tercekat dan membisu, tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Apa aku memang harus membencimu?!" tanyanya setengah putus asa.

Saat ia mendongak, barulah aku bisa melihat wajahnya yang berurai air mata. Seakan ia kesakitan, tersiksa oleh keputusasaan dan kebingungan. Kurapatkan geligiku. Aku tak memahami maksud kata-katanya sama sekali. Namun perasaannya sampai padaku, membuatku ingin menangis juga.

"Kumohon, jawablah," ia mengusap air matanya. Tapi tangisannya lebih deras daripada yang ia duga. Sambil terisak ia meneruskan, "Orang-orang, bahkan ibuku sendiri. Mereka semua bilang kamu pantas dibenci dan tak bisa dimaafkan. Tapi aku ... aku ..."

"Apakah kamu ingin memaafkanku?" selaku.

Ia mengangguk lemah, membuatku kehilangan suara. "Aku tidak bisa membenci seseorang yang menyakitiku karena punya alasan yang kuat. Mungkin sebenarnya aku bersyukur, bisa membantumu mengatasi rasa lapar."

Terpanalah aku dibuatnya. Tidak pernah ada seorang pun yang bersimpati padaku selain Master. Haru menyesakkan dadaku. Tak peduli sebesar apa rasa sakit yang kuberikan padanya, dengan ringan ia memaafkanku.

"Kau tidak dendam padaku?!"

Ia menggeleng. "Dendam pun, darahku yang sudah kau ambil takkan pernah kembali. Apalagi ..." matanya menatapku lekat, seolah-olah mencoba menilai. "Aku mendengar kebenaran tentang dirimu. Bagaimana bisa aku tetap marah?"

Terbersit penasaran dalam hatiku. "Apa maksudmu kebenaran tentang diriku?"

Menyadari apa yang tadi ia katakan, anak itu membuang muka. Tampak jelas tak ingin mengungkit-ungkit soal itu lagi. Aku merasakan debaran, nyaris yakin betul itu adalah kebenaran yang ingin kutahu. Tentang apa diriku ini sebenarnya.

Belum sempat aku mendesaknya untuk menjawab, dia sudah bertanya, "Siapa namamu yang sebenarnya, Peri Senja?"

Seharusnya aku sadar dia sedang mencoba mengalihkan perhatianku. Tetapi aku terlanjur teralih dengan pertanyaannya.

"Wiglitth," sahutku. "Namaku Wiglitth," aku tersenyum.

Matanya berbinar. "Apa aku boleh memanggilmu Wiglitth?"

"Tentu."

Tiba-tiba tangannya terulur, membuatku memandangnya bingung. Ragu, aku menjabat tangannya. Dengan riang ia berkata, "Namaku Ruffilovge Finn. Salam kenal, Wiglitth."

Sungguh malam yang ajaib. Beberapa saat yang lalu, hatiku masih terasa sakit karena sikap Master. Nyatanya sekarang rasa pedih itu terobati. Hanya karena ada seseorang yang memanggil namaku sambil tersenyum tulus. Dan orang itu adalah gadis kecil yang sudah kusakiti.

Ruffilovge mengajakku berjalan-jalan keluar. Kami mengendap-endap keluar melalui pintu belakang, lalu celingukan ke kanan dan kiri. Ada beberapa polisi berjaga dalam setiap jarak tertentu.

"Apa mereka berjaga karena aku?" tanyaku.

"Ya, mereka takut Peri Senja kabur terus ke kota, katanya."

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang