11. Alasan Untuk Melukai

249 61 24
                                    

"Apa kamu tahu tentang eksperimen yang dilakukan Ferryn demi menciptakanmu?" tanya iblis itu sebagai pembuka cerita.

"Ya. Akhir-akhir ini. Dari manusia normal temanku," sahutku menerawang, terkenang pada Ruffi dan Licht. Aku bertanya-tanya sedang apa mereka sekarang dan apakah mereka merindukanku seperti aku mengingat mereka. Kusadari, hatiku sudah benar-benar tertaut pada mereka.

"Kau berteman dengan manusia?!" Vladio terdengar marah. "Mereka itu pembohong. Ferryn dan juga teman manusiamu itu membohongimu! Semua kasih sayang mereka yang palsu tak lebih dari rasa ingin tahu mereka yang lain."

Aku menatapnya sengit. "Bagaimana bisa kau memutuskan seenaknya begitu? Kau bahkan belum pernah bertemu temanku!"

Terduduk lemas, matanya hanya bisa memandangku penuh kepiluan.

"Aku tahu," bisiknya. "Aku tahu karena kita ini sama."

Tak mengerti kenapa ia selalu mengatakan kami ini sama, aku bertanya, "Kau juga makhluk transgenik sepertiku?"

Dia tersenyum pahit. Sesaat, ia tak lagi semengerikan tadi. Jejak bengis di wajahnya tergantikan kerut lelah dan sendu. Pandangannya yang lurus padaku seakan melihat ke tempat yang jauh. Mungkin yang tampak di matanya bukanlah aku, melainkan kilas balik masa lalunya.

"Vladio Cragith adalah namaku," ia memulai setelah mengembuskan napas panjang, seakan berpikir dua kali sebelum bercerita padaku.

Aku tersentak. Mana mungkin aku lupa nama itu. Cragith, nama belakang Master.

"Aku hanya anak angkat di keluarga itu," Vladio melanjutkan. "Orang tua angkatku bernama Gregio dan Dimaria Cragith, pasangan jenius di bidang genetika. Keduanya diakui oleh dunia berkat penemuan mereka yang berhasil membuktikan bahwa makhluk ajaib dalam dongeng tak lebih dari hasil rekayasa genetika.

"Dengan adanya Ferryn dan kedua orang tua kami, hidupku terasa lengkap dan bahagia. Dunia selalu ingin tahu tentang diriku. Kuanggap perkataan ayah dan ibuku tentang mereka yang menyayangiku adalah kebenaran. Kupikir, aku beruntung. Meski aku tahu aku hanyalah hasil eksperimen, tapi aku menerima semua yang kubutuhkan. Kasih sayang, kecukupan hidup, dan hari-hari penuh tawa."

"Namun semuanya berubah ketika saingan Cragith yang pendengki mencelakaiku di depan Ferryn. Dia berkata aku adalah eksperimen yang gagal. Seandainya aku berhasil, seharusnya aku seperti vampir-vampir dalam dongeng. Teman ayahku yang lain menyergahnya, 'Tenang saja. Mungin dia memang vampir sungguhan. Anak serigala pasti akan menjadi serigala pula, bukan?'. Kata-kata yang telah memicu keingin tahuan Ferryn dan mengubah segalanya."

Tiba-tiba aku merasakan de ja vu. Rasanya aku pernah mendengar kata-kata itu. Kucoba mengingat-ingat lagi dan aku terperanjat. Itu kata-kata tetangga dalam dongeng Master. Aku bertanya-tanya maksud Master sebenarnya menceritakan kisah itu. Mungkinkah yang diceritakan itu adalah kisah Master sendiri bersama Vladio?

Mengabaikan kebingunganku, Vladio melanjutkan. "Ferryn ingin membuktikan kebenarannya. Dia mengajakku untuk menelaah dokumen-dokumen tentang eksperimenku. Tentu saja tanpa sepengetahuan orang tua kami."

"Mantra penyegel..." gumamku tanpa sadar. Tapi Vladio mendengarnya dan memicingkan mata padaku. Buru-buru aku mengalihkan fokusnya, "Apakah sebelumnya kau tidak tahu apa-apa tentang dokumen eksperimen itu?"

"Yaah, aku memang tidak tahu," akunya jujur. "Aku terlalu percaya pada orang tuaku sehingga tak pernah tahu mereka hanya memanfaatkanku. Semua yang mereka katakan padaku adalah kebohongan, kecuali asal-usulku. Aku membongkar semuanya saat membaca dokumen penelitian."

"Aku hanyalah pemuas rasa ingin tahu mereka. Saat aku tahu semua kebenarannya, aku kehilangan kendaliku dan membunuh semuanya. Kupikir aku dirasuki iblis. Saat aku tersadar, darah mengisi rongga mulutku dan mengotori seluruh pakaianku. Gregio dan Dimaria terbujur kaku dan dingin. Lalu tatapan Ferryn.... Aku ingat ketakutannya saat itu.

"Aku memutuskan untuk lari, lari sejauh-jauhnya dari masa laluku yang hanya dipenuhi kebohongan. Tak ingin sama sekali aku bertemu Ferryn. Aku takut... seandainya aku kehilangan diriku lagi dan menyakitinya."

Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal. Mungkin ini bentuk emosinya ketika mengingat pengkhianatan keluarganya, ketika ketakutan menguasainya. Mungkin ini alasannya menginginkan pembalasan dendam.

Atensinya beralih padaku. Vladio Cragith menatapku lekat. "Kau tahu sekarang kan, para ilmuwan bodoh itu hanya memanfaatkan kita!"

Aku tak merespons, tetap memandangnya lurus tanpa suara. Kesal, dicekiknya leherku sampai rongga dadaku dipenuhi rasa sesak. Namun aku tak memalingkan mataku. Saat ini aku bukan lagi aku yang dulu yang hanya bisa mengasihani diri sendiri. Ada seseorang yang jauh lebih menyedihkan dariku.

"Kau mengasihaniku?!" desisnya marah.

Ingin aku menjawabnya, menjelaskan kalau yang kurasakan bukan sekedar rasa kasihan. Tapi bagaimana bisa aku melakukan itu sementara nyawaku saja ada di ujung tanduk.

"Menangislah! Merontalah! Memohonlah!" bentaknya gila, seakan sudah kehilangan seluruh kewarasannya.

Aku tak bergeming. Sekilas ia tampak seperti psikopat. Bukan, bukan itu sebenarnya. Entah mengapa, aku tak lagi merasa dia seperti iblis. Di mataku, Vladio Cragith tak lebih dari sosok terbuang yang menyedihkan, sama sepertiku. Sosok orang tua yang sepanjang waktunya dipenuhi kebahagiaan semu dan kesedihan.

Pening mulai terasa karena otakku butuh oksigen secepatnya. Pandanganku mengabur seiring rasa sakit cengkeramannya. Alih-alih melawan, aku memutuskan untuk pasrah pada akhir hidupku. Kuangkat tanganku dan kurengkuh ia ke dalam pelukanku.

"Ap..." dia hendak memberontak, tapi niatnya urung. Leherku terbebas dari tangannya, sayangnya sudah terlambat. Kesadaranku hampir ditelan kegelapan seluruhnya. Yang kurasakan untuk terakhir kalinya adalah air mata Vladio yang membasahi pundakku dan isak tangisnya.

-PS-

Aku terbangun. Kukira aku akan terbangun di atas kasur dalam keadaan yang hangat dan nyaman. Tapi saat kesadaranku perlahan pulih, yang kurasakan pertama kali adalah sakit seakan ada tali yang melilit tubuhku.

Benar saja. Aku terkejut bukan main ketika mendapati diriku terbangun dalam keadaan duduk dan terikat. Rasa sakit yang teramat sangat menyerang sayapku. Ah, sayapku yang indah namun rapuh, mungkin tak lama lagi ia akan luluh hancur menjadi serpihan.

"Kita akan pergi ke kota," ujar sebuah suara yang tak asing untukku. Vladio.

Aku segera berontak, berusaha melepaskan diri dari ikatanku Sia-sia saja.

"Jangan melawan dan cukup ikut denganku." Dia berdiri dan menyeretku keluar gua bersamanya. Aku memekik tetapi tubuhku yang terasa lemah dan lelah tak kuasa melawannya.

Dinginnya hawa malam segera menerjang kami. Aku terpaku dan berhenti melawan, menatap pemandangan di luar gua dengan takjub. Rasanya sudah seabad lamanya aku tak pernah melihat langit bertabur bintang yang kurindukan. Pepohonan yang digelitik angin bagaikan bayangan yang menari. Sudah sepuluh tahun aku hidup di alam bebas. Kurasa karena itulah aku merasa nyaman begitu tiba di luar.

"Ferryn adalah biang masalah yang menimpaku waktu itu, orang yang telah membuatku sangat menderita. Malam ini aku akan membalaskan dendamku padanya. Tidak, aku akan membalaskan dendam kita."

Aku tercekat. Tidak, aku tak pernah menginginkan ini.

"... ngan!" pekikku lemah.

"Hm?"

"Jangan seenaknya melibatkanku dalam rencana balas dendammu!" teriakku sekuat tenaga seraya mengangkat kaki demi menendangnya.

Dengan cekatan, ia berkelit dan menendang tulang keringku sampai aku tersungkur jatuh. Aku mendongak dan bersitatap dengan wajah yang diterangi bulan itu.

Tatapannya dingin. Begitu pula seringaiannya. Bulu kudukku merinding. Sosok itu sama persis dengan yang dulu.

"Jangan salah paham," ucapnya sedingin es. "Kau ini tak punya pilihan. Cukup ikut dan jadi umpanku. Tak lama lagi, orang yang sudah menyengsarakan kita akan menderita."

Pandanganku nanar  Dia lebih kuat dan cerdas dariku. Apakah aku memang tak bisa apa-apa?

****TbC

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang