EPILOG

100 19 12
                                    

Gadis kecil berusia delapan tahun itu duduk di kursi rotan sembari mengayunkan kakinya. Dari teras rumahnya, ketika ia menengadah, ia bisa melihat langit yang mulai gelap dan arakan awan mendung. Hujan akan turun, pikirnya. Matanya menerawang jauh, dengan tatapan gelisah dan bimbang.

Senja keemasan merayap perlahan di ufuk barat, tetapi ia masih duduk sendiri di sana. Menunggu sang ayah pulang dan bersama-sama masuk ke dalam rumah. Selama ini dia jarang sekali keluar rumah, apalagi setelah matahari terbenam. Kegelapan malam memberinya perasaan tak enak. Ia menyadari, malam bukanlah dunianya.

Namun hari esok, mungkin takdir akan berkata lain.

Rasanya seakan ada seseorang yang memerhatikannya dari kejauhan. Tidak nyaman, gadis itu menoleh ke kanan-kiri. Halaman rumahnya yang luas dan sepi menambah perasaan tak nyaman itu. Pandangannya beralih ke arah pintu pagar besi yang menjulang tinggi. Di balik jeruji, ada sosok seorang pria berdiri.

Dengan perasaan berdebar, gadis itu berlari menuju pagar. Berharap sosok yang dilihatnya adalah sang ayah. Tetapi ketika semakin dekat dan jelas, harapannya luntur. Seketika langkahnya terhenti, tepat di depan pagar.

Di seberangnya-terhalang jeruji besi-berdiri seorang pria yang berpakaian serba hitam, sekelam rambutnya yang disisir rapi ke belakang. Matanya yang beriris bulu gagak menatap gadis bersayap capung itu intens.

"Siapa?" tanya anak kecil itu merasa was-was dan curiga.

"Aku Vladio, gadis muda," sahut pria berjubah hitam itu. "Dan kau? Siapa namamu?"

"... Wiglitth," sang gadis menjawab skeptis. Sejenak ia ragu, tetapi akhirnya ia berani bertanya, "Apa Paman penculik?"

Vladio terkejut. "Kenapa kau mengira begitu?"

"Karena Paman menatapku dari tadi. Kenapa?" tanya Wiglitth lagi.

Tak ada jawaban. Pria bernama Vladio itu memilih memerhatikan anak yang menatapnya penuh rasa curiga sekaligus takut dan ingin tahu.

"Maukah kamu mengizinkanku masuk?" tanya Vladio.

Wiglitth melangkah mundur, mulai berpikir pria di hadapannya memang penculik. "Tapi Ayah melarangku membuka pintu untuk orang asing, apalagi saat ia sedang pergi."

"Aku bukan orang asing," sahut Vladio cepat. "Ayahmu itu adalah adikku."

Mata Wiglitth melebar. "Benarkah?" Wiglitth mendekati pagar dan memandang orang yang asing baginya itu dengan tertarik dan teliti. "Ayah tidak pernah bilang punya saudara. Kalian juga tidak mirip."

Sekilas, terbersit kesedihan pada mata Vladio. "Aku ini hanya kakak angkatnya saja. Tapi bagiku, dia adalah saudaraku yang sebenarnya. Hubungan kami yang sangat erat bahkan melebihi ikatan darah."

"Nah," Vladio melanjutkan, "Apa keponakanku ini mau bermurah hati membukakan pintu?"

Tanpa pertimbangan apa pun, Wiglitth membuka gerendel gerbang dan membiarkan Vladio melangkah masuk. Tak pernah ia membayangkan memiliki seorang paman sebelumnya. Tetapi sekarang pamannya itu berdiri di depannya, tanpa terhalang jeruji besi lagi.

Tangan Vladio menyentuh sayap Wiglitth yang mengepak pelan di belakang punggungnya. Pria itu mengelusnya lembut.

"Sayapmu indah."

Wiglitth terpaku. "Paman tidak takut?"

Alih-alih menjawab, Vladio tersenyum dan membungkukkan badannya ke arah Wiglitth. Gadis itu masih terpaku, bahkan tak menjauh ketika merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kulit lehernya. Lamunannya seketika buyar saat taring Vladio menghujam kulit, menghantarkan sengatan dan rasa sakit ke seluruh tubuhnya.

Pekikannya melengking keras dan lama, sebelum akhirnya hilang bersama kesadarannya. Tubuh mungil itu jatuh ke rerumputan, dengan bersimbah darah yang berasal dari lehernya. Di depan kepalanya, Vladio berdiri menjulang dengan tatapan sedingin es.

"VLADIOOO!!!"

Tubuh pria itu terpental saat sebuah tinju melayang padanya. Pria lain baru saja masuk ke halaman, dengan wajah dipenuhi keringat dan mata berkilat penuh amarah.

Vladio mengukir senyumnya. "Ferryn," ucapnya tenang. Ia berdiri dan merapikan jubahnya, lalu melangkah melalui pintu pagar.

"Takkan kubiarkan kau kabur setelah melukai keluargaku lagi!" geram Ferryn.

Vladio terkekeh. Ia menoleh pada adiknya dan tersenyum penuh misteri. "Aku juga keluargamu, kalau kau lupa," ujarnya. "Daripada itu, kenapa tidak kau coba selamatkan saja keluargamu itu? Kalau mau balas dendam, aku menunggumu kapan pun kau siap. Kebetulan, aku juga punya perhitungan denganmu sejak tiga puluh tahun yang lalu."

Angin berhembus sedikit kencang, mengibarkan ekor jubah Vladio. Setelah melempar senyum sinis, pria itu melangkah dengan tegap meninggalkan halaman penuh darah itu. Sementara Ferryn memandang kepergian kakaknya dengan tatapan sulit diartikan.

Ferryn menggendong Wiglitth ke dalam rumah, ke laboratoriumnya di bawah tanah. Dibaringkannya tubuh anak itu di atas pembaringan. Saat memeriksa bekas taring pada leher Wiglitth, Ferryn tahu tak ada yang bisa dilakukan. Racun Draculin sudah menyebar dan luka itu tak akan pernah menutup.

Air mata membasahi wajah letih Ferryn. Ia menggenggam tangan gadis kecil yang berada di ambang kematian itu erat. Sekarang adalah saat menggunakan salah satu benda penemuannya untuk menyelamatkan keluarga yang ia sayangi. Ferryn tahu dirinya tak punya pilihan.

"Maafkan aku, Wiglitth ..." bisiknya.

Saat jarum suntik masuk ke dalam tubuh gadis itu melalui luka di lehernya, senja berakhir sepenuhnya dan kegelapan malam berkuasa di puncaknya. Warna merah darah yang pekat pada rerumputan di halaman depan mulai mengering, sebagaimana kilau keemasan di ufuk barat yang sirna.

Wiglitth sang Peri Senja tak pernah tahu bahwa hari esok takkan pernah sama lagi dengan hari ini. Namun, biarlah takdir yang menuntunnya pada kebenaran.

-PS-

A/N

YEAY!!! 🎊 🎊 🎊

Akhirnya—ah masih ada satu part.

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang